Laman

Selamat Datang...

Berbagi isi hati dan pemikiran...
Berbagi asa untuk mencapainya bersama untuk sebuah kemajuan...

Minggu, 14 Desember 2008

Perginya Kader Kami

Apa artinya seorang kader, yaitu orang yang diharapkan kelak akan menjaga kelangsungan hidup sebuah organisasi? Apa makna diri seorang kader, bagi orang yang mengharapkan? Bukankah kita berharap ia eksis, baik ketika dibutuhkan ataupun tidak. Ia ada karena ia mencintai keberadaannya bersama kita. Itulah kader harapan. Namun, apa makna keberadaannya? Jangan mengelak. Kita bahkan sering tidak mempedulikan dan seolah lupa kalau ia ada dan juga memiliki harapan pada kita.
Kategorisasi Sosial dan Prasangka
Ketika bertemu seseorang, kita tak akan pernah lepas dari menilai orang itu. Ini adalah hukum alam. Ketika kita ”menggodok” seorang kader dengan tugas-tugas, kita tidak akan pernah tidak menilai kinerjanya. Sayang sekali, kebanyakan dari para pengkader hanya melihat dari sisi kinerja untuk menentukan apakah seorang kader layak diharapkan atau tidak. Kita mulai memposisi-posisikan mereka dalam suatu struktur organisasi khayalan; si A akan di sini dan si B akan di situ, dan sebagainya. Kita meyakini dalam hati si A akan terus bertahan karena kaderisasi kita. Namun, ketika kita memiliki perasaan bahwa si B ”kurang” berguna, mungkin yang muncul dalam hati adalah perasaan meremehkan, ”Kalau dia, tidak di sini pun tidak mengapa. Masih ada yang lain.”
Ketika kita sudah menilai dan meyakini penilaian kita, tak lama lagi kita akan mulai mengelompokkan kader-kader, kader yang diharapkan (kelompokku) dan kader yang tidak diharapkan (bukan kelompokku). Inilah yang dinamakan kategorisasi sosial, yang sering menjadi kesalahan utama kita dalam hubungan kita dengan manusia.
Ketika kategorisasi ini merebak, hubungan antarindividu tidak akan harmonis. Kategorisasi ini bermain di ranah pikiran kita dan tidak salah jika akhirnya ia akan mempengaruhi sebagian besar perasaan dan perilaku kita sebagai pengkader. Kategorisasi ini dapat muncul dari evaluasi kita terhadap individu, terutama ketika, mungkin secara tidak sadar, kita menekankan adanya kesamaan. Kesamaan itu dapat berupa kesamaan fisik (berjilbab atau tidak, berjilbab besar atau tidak, penampilannya lumayan seperti kita atau tidak dan sebagainya), kesamaan budaya (yang satu ini riskan sekali menimbulkan konflik, apakah ia orang yang keras, atau mudah diatur, dia agak kasar, dia pendiam, tempat asal kami sama, dan sebagainya), kesamaan pandangan, pemahaman dan ideologi.
Perbedaan adalah suatu kepastian, seperti dalam firman Allah SWT:
”Hai, manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling kenal-mengenal...” dalam QS Al Hujurat: 13.
Perbedaan budaya setiap individu akan memunculkan perbedaan perilaku yang seharusnya dapat diterima sebagai suatu kekayaan. Sayang, bagi sebagian orang dari kita, perbedaan ini sulit diterima karena mungkin menyangkut kepentingan tertentu. Padahal, ketika Islam telah di-Ridhai Allah SWT sebagai agama dan ditetapkan pula bahwa setiap muslim adalah bersaudara, setiap perbedaan seharusnya melebur dalam satu substansi bahwa kita semua adalah hamba Allah yang hidup untuk menyembah kepada-Nya. Kita bergerak bersama-sama di jalan Allah.
Namun, banyak dari kita yang masih tidak dapat menerima perilaku yang kurang mengenakkan dari seorang kader karena kita tidak berusaha memahami bagaimana budaya yang membentuknya demikian. Mungkin dalam suatu kasus, kita tak dapat menerima perilaku kader yang keras, sok tahu, atau terlalu percaya diri dan berani, yang membuat kita tidak suka padanya. Perasaan tidak suka itu menumbuhkan streotipe pada diri kader. Padahal, yang mungkin penting adalah bagaimana kita pengkader membimbingnya agar dapat beradaptasi dengan budaya mayoritas tanpa membuat dirinya benar-benar kehilangan identitas, bukannya semakin mempermasalahkan masalah remeh soal ketidaknyamanan perilaku sehingga kita melupakan pentingnya persatuan dan kesatuan dalam tubuh organisasi.
Kebencian menuju Ketidakadilan
Pikiran negatif, seperti yang dikelaskan di atas, akan mempermudah kita berprasangka pada diri kader. Allah SWT memperingatkan kita dalam QS Al Hujurat: 12.
”Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangkan itu adalah dosa...”
Prasangka adalah persepsi negatif pada orang lain dan prasangka dapat menimbulkan sikap negatif pada orang itu sebagai wujud ketiadaan toleransi. Allah SWT kembali memperingatkan kita dalam QS Al Maidah: 8.
”... Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa...”
Adil tidak hanya berarti kuantitas yang diberikan sama, tetapi juga kualitas. Ketika dua orang sama-sama salah, jangan sampai pada orang yang kita sukai kita memarahinya ”baik-baik”, tetapi pada orang yang kita tidak suka, kita marah sesuka kita lantaran kebencian kita padanya. Niat ”ucapan tegas” kita bukan lagi untuk mengingatkan dan meluruskan dia, tetapi mungkin untuk membuatnya benar-benar jatuh, malu, meminta maaf, dan tahu diri.
Ketika kita marah, setanlah yang menguasai pikiran, hati, dan perilaku kita. Ketika kemarahan kita difasilitasi pula dengan kedudukan kita sebagai senior, sebagai orang yang ”berhak menasihati”, sebagai orang yang ”dihormati” dalam organisasi, semakin mungkin ucapan yang keluar semakin pedas dan menyakitkan. Ketika kita menganggap diri benar dan kita marah, kebenaran tidak akan digubris. Ketika marah, kepentingan berada jauh di depan masalah itu sendiri. Ketika kita marah, bahkan firman Allah dan hadist-hadist nabi yang selama ini kita pelajari seolah belum pernah diketahui. Marah benar-benar menutup mata hati.
Kader Juga Manusia: Punya Hati dan Harapan
Mahasuci Allah yang Maha Membolak-balikkan Hati. Kader adalah anugrah bagi sebuah organisasi, terutama organisasi yang bergerak demi dakwah di jalan-Nya. Tanpa kader, dakwah akan mati; tetapi dakwah tak akan mati karena para penerus perjuangan akan selalu ada, berapapun banyaknya.
Masalah besar yang dihadapi seluruh organisasi dakwah adalah kita kehabisan kader. Mungkin bukan habis dalam arti jumlah atau kuantitas (setiap lowongan dalam struktur syukur masih dapat terisi) walaupun mungkin ada pula yang memang miskin kader, tetapi habis dalam kualitas. Satu istilah yang akrab di telinga para pengkader tentunya: Seleksi Alam.
Dakwah memang berat, hanya segelintir orang yang bersedia dengan kesabaran dan keikhlasan berkecimpung di dalamnya. Jumlah kita sedikit, tetapi malaikat-malaikat Allah SWT akan selalu mengiringi perjuangan orang-orang yang beriman.
Seberapa banyak dari para pengkader yang sadar bahwa kader dakwah adalah manusia pilihan yang diseleksi oleh Allah? Allah-lah yang berhak menyeleksi dan memberi petunjuk pada kawan-kawan baru harapan kita, para kader, yang awalnya datang kepada kita dengan berbagai motivasi yang mungkin kata ”dakwah” tidak pernah ada di kamus hidup mereka. Mereka mungkin datang dengan motivasi ingin mendapatkan pengalaman organisasi, mendapat teman baru, mengembangkan potensi diri dalam berkreasi, bergabung karena ajakan teman, ingin belajar lebih banyak tentang Islam dan sebagainya. Mereka punya harapan, dan pengkader juga punya harapan. Kita sama-sama manusia. Jangan sangka hanya kita yang kecewa pada mereka ketika harapan kita tidak tercapai. Mereka juga punya rasa kecewa pada kita ketika harapan mereka tidak tercapai. Jangan sangka hanya kita yang merasa kader mulai menjauh. Mereka juga punya mata, telinga dan hati untuk merasa bahwa ada sebagian dari kita yang memandang mereka sebelah mata, kehangatan yang tidak sama pada setiap kader, kedekatan yang tidak sama, pemberian kesempatan terlibat yang tidak sama. Itu cukup menjatuhkan harga diri dan kepercayaan diri kader untuk tetap bertahan dalam organisasi.
Apakah mereka akan berteriak menyuarakan frustasi mereka? Kebanyakan tidak. Mungkin mereka akan menangis diam-diam atau kemudian mereka akan mundur teratur tidak mengaktifkan diri lagi dan di masa selanjutnya mereka bilang, ”Aku pergi.” Mereka mungkin belum merasakan indah dan beratnya dakwah yang sebenarnya, mereka sudah merasakan beratnya untuk ada bersama dengan kita.
Ketika kader kita pergi karena begitu banyak sebab, mungkin saat itulah kita menyadari bahwa jumlah pejuang dakwah kita begitu sedikit. Satu per satu terseleksi karena berbagai sebab. Mahasuci Allah yang Maha Membolak-balikkan Hati.
Ketika kader kita pergi, mungkinkah kita cenderung memaklumi, ”Oh, dia memang tidak ingin fokus di sini.” Ketika kita membentuk lagi kepengurusan, mungkin ada yang bilang, ”Si A tidak mau ikut lagi.” Lalu kita hanya bilang, ”Dakwah memang tidak bisa dipaksakan, menjalankannya juga tidak bisa dipaksakan.”
Ketika kader kita pergi, mungkinkah kita menganggap mereka pergi lebih karena alasan situasional? Pernahkah kita memikirkan bahwa alasan mereka pergi adalah kita? Kita takut mengakui bahwa kita berbuat salah pada orang ”di bawah kita”. Seberapa banyak permintaan maaf kita kepada mereka? Apakah hanya di Hari Idul Fitri? Di akhir kepengurusan?
Karena dakwah adalah bermanfaat. Karena dakwah bukan untuk dipaksakan...
Ketika kader kita pergi... Jangan sampai ada cerita pendek yang berjudul ”Perginya Kader Kami” kelak. (6-12-08/16:55).

Minggu, 07 Desember 2008

Be a Good Adventurer!!!


AKSI bukan sinonim dari demonstrasi yang biasa dilakukan mahasiswa. AKSI adalah singkatan dari Ajang Keakraban Psikologi, acara tahunan yang diselenggarakan oleh Sie. Kerohanian Islam Psikologi (SKRIPSI), Fak. Psikologi, Universitas Diponegoro. AKSI tahun ini dilaksanakan tanggal 29 dan 30 November 2008 di Tuntang (Kab. Semarang atau Salatiga, ya?) dan untuk pertama kalinya aku jadi panitia, yang sayangnya “tak jelas ada di mana”. Namun, ada baiknya ternyata. Pertama kalinya aku menjadi fasilitator untuk salah satu kelompok peserta. Ugh… jadi kakak akhirnya.

Aku termasuk orang yang betah duduk dalam ruangan dan mendengar ceramah atau presentasi materi. Berikut ini, aku mau cerita sedikit mengenai salah satu materi favoritku di hari pertama yang berjudul How to be a Good Adventurer.

Hidup adalah panggung sandiwara, sehingga pertanyaan yang tepat adalah How to be a Good Actor/ Actrees. Rasanya, menganggap hidup bagaikan petualangan adalah hanya milik orang-orang yang gila tantangan, bersemangat dan cinta perjuangan yang dengannya ia menemukan makna kehidupan yang dijalaninya. Apakah kita adalah petualang sejati?

Materi ini memang ditujukan kepada mahasiswa, sebagai salah satu jenis dari banyak jenis petualang di dunia. Beberapa tahun kuliah, sebenarnya kita sedang bertualang, lho. Hanya saja banyak yang tidak sadar. Banyak yang menyerah di tengah perjalanan. Andaikan kita hidup sebagai pelaut di tengah samudra, tentu tidak mau berhenti di tengah laut, kan? Apapun keadaannya, kita bertekad pulang ke darat.

Menyerah, operasionalnya adalah berkata, “Saya tidak bisa.” Petualang yang menyerah, cobalah cek kembali apa isi pikiran Anda. Karena pikiran adalah tempat semua informasi mengenai dunia disimpan. Petualang yang menyerah, cobalah cek kembali informasi apa saja yang Anda terima.

Pada hari itu, saya mendapat “rumus” bagus yang layak dibagi-bagi.

Jika aku mengubah pikiranku, maka aku akan mengubah keyakinanku.

Jika aku mengubah keyakinanku, maka aku akan mengubah harapanku.

Jika aku mengubah harapanku, maka aku akan mengubah sikapku.

Jika aku mengubah sikapku, maka aku akan mengubah tingkah lakuku.

Jika aku mengubah tingkah lakuku, maka aku akan mengubah kinerjaku.

Jika aku mengubah kinerjaku, maka aku akan mengubah nasibku.

Jika aku mengubah nasibku, maka aku akan mengubah hidupku.

Dunia sebagai fakta, objektifnya adalah sama bagi siapa saja. Yang menjadikannya berbeda adalah bagaimana kita memberi makna fakta tersebut dalam pikiran kita. Dalam psikologi, fungsi jiwa terdiri atas tiga bagian: kognitif (pikiran), afektif (perasaan), dan konatif (perilaku), yang ketiganya adalah satu sistem yang organismik, saling mempengaruhi satu sama lain.

Satu hal yang kita yakini di sini adalah bahwa manusia memiliki kemampuan untuk mengatur kehidupannya sendiri, memiliki mimpi yang ingin dicapai, dan sesungguhnya dapat ia capai. Inilah hal pertama yang dapat kita lakukan: mengubah cara pandang kita, pikiran-pikiran kita tentang suatu kejadian. Ketika berpikir akan menyerah (negatif), jangan biarkan diri tenggelam dalam pikiran negatif itu. Untuk beberapa hal, sesuatu dapat kita kendalikan, kendalikan pikiran kita untuk tetap berpikir positif: Aku bisa!

Pikiran kita akan mempengaruhi keyakinan-keyakinan diri. Keyakinan muncul karena suatu hal yang diulang-ulang dialami atau dipikirkan dan tertanam dalam diri. Yakin bahwa kita bisa akan mempengaruhi motivasi hidup menjalani hari dan menghadapi masa depan. Motivasi berperilaku muncul karena ada suatu kebutuhan yang ingin diraih dan artinya kita mengharapkan sesuatu.

Harapan menandakan adanya optimisme dalam hidup. Harapan ini akan mempengaruhi sikap kita terhadap suatu peristiwa. Apakah kita suka atau tidak suka, senang atau tidak senang, kita tertantang atau tidak tertantang. Ketika kita memiliki sikap positif, sikap akan menjadi awal sebelum terjadinya perilaku, yang meramalkan apa yang akan kita lakukan.

Sikap yang positif akan mempengaruhi efektifitas perilaku kita dalam upaya mencapai suatu tujuan. Efektifitas ini dapat dilihat dalam suatu kinerja: bagaimana kita memimpin diri, merencanakan dan mengatur setiap waktu untuk fokus pada apa yang ingin diraih. Jika sedikit demi sedikit akan menjadi bukit, maka perilaku-perilaku kecil kita yang positif dan efektif, yang dimulai sejak saat ini akan mempengaruhi pencapaian. Pencapaian adalah nasib yang kita rencanakan di masa lalu.

Kumpulan nasib, nasib, dan nasib, di mana saja, kapan saja, apapun yang terjadi adalah nasib. Nasib adalah kenyataan hidup. Karena itulah, nasib akan mempengaruhi hidup yang kita jalani, akhir seperti apa yang akan kita dapatkan.

Apakah Tuhan tak memiliki andil dalam rumus ini? Tentu saja, Tuhan bahkan memiliki andil yang sangat besar.

Ada satu nasihat yang sangat indah dari seorang sahabat…

Ketika kehidupan memberimu SERIBU alasan untuk ingin sesuatu, pahamilah bahwa Allah SWT Memiliki SEJUTA pengetahuan akan kebutuhanmu.

Tak semua hal yang kita inginkan tercapai, berapapun usaha yang kita lakukan untuk keinginan itu. Allah SWT-lah yang Maha Mengetahui kebutuhan setiap makhluk-Nya. Ketika hal yang tak diinginkan terjadi atau hal yang diinginkan tak kunjung terjadi, seharusnya tak ada hal yang dapat mencegah kita dari terus-menerus mencari hikmah dari setiap kejadian. Allah SWT Mahatahu, lalu kenapa kita berprasangka buruk kepada kehidupan atau bahkan kepada-Nya?

Awali hari ini dengan rasa syukur, nikmati setiap detik dengan istiqomah (tetap di jalan yang benar) dan akhiri kelelahan hari dengan senyum dan ikhlas.

Ketika orang lain meremehkan usaha kita, ketahuilah bahwa Allah SWT tidak menyia-nyiakan apa yang kita usahakan. Ketika orang lain tidak memberi penghargaan yang kita harapkan, cukupkanlah Allah SWT sebagai saksi dan tujuan hidup kita, karena ialah sebaik-baiknya Pemberi Balasan.

Apakah Anda masih mahasiswa K3? Kos, Kampus, Kantin? Berpikirlah bahwa kau dapat meraih lebih dari itu, teman…

Apakah Anda masih mahasiswa Nasakom(Nasib Satu Koma)? Berpikirlah bahwa kau juga dapat meraih prestasi yang lebih baik dan lebih baik lagi.

Ayo Mahasiswa, kita avant-garde perjuangan bangsa menuju masa depan bangsa yang bahagia!

Hidup bagaikan sandiwara, bolehlah… Sandiwara perjuangan meraih pulau impian tentunya. Badai pasti berlalu. (2-12-08/21:50).

Peran Psikologi Islami dalam Moralitas Pemimpin

Siapa yang tidak tahu bahwa bangsa kita sedang krisis kepemimpinan? Ya, kita semua tahu. Semuanya terlihat dari kehidupan rakyat yang masih morat-marit, kemiskinan di mana-mana, masalah, masalah dan masalah, tetapi kita cukup merangkumnya dalam dua kata: krisis multidimensi. Tidak hanya krisis keuangan, bahkan yang terjadi adalah krisis besar dalam perilaku manusia Indonesia atau dekadensi moral. Indonesia yang seperti ini, lihatlah bagaimana para pemimpin memimpin bangsa. Kita malah semakin geleng-geleng. Para pemimpin bahkan tak dapat memimpin diri mereka dengan memiliki moral yang terpuji.

Hal di ataslah yang menjadi pembahasan utama dalam Temu Ilmiah Nasional Psikologi Islami ke-III yang diadakan oleh Asosiasi Psikologi Islami (API) berkerjasama dengan Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, Universitas Islam Indonesia pada 22 – 23 November 2008 lalu, di Jogjakarta.

Temu Ilmiah tersebut mendatangkan tiga orang pembicara utama antara lain Prof. Dr. Achmad Mubarok, MA (dari UIN Syarif Hidayatullah), Dr. Soegiharto, SE., M.BA (Mantan Manteri Negara BUMN), dan Fuad Nashori,S.Psi, M.Si, Psikolog (Mantan Ketua Umum API). Makalah yang dibawakan mereka sangat menarik untuk dikritisi, tak heran di akhir acara banyak sekali yang mengajukan pertanyaan tentang apa yang mereka presentasikan. Temu ilmiah ini menarik banyak peminat, tidak hanya dosen psikologi, para pemakalah, tetapi juga ahli hukum dan orang dari perusahaan tertentu. Jelas, masalah kepemimpinan (bangsa) adalah masalah yang dibicarakan secara luas.

Dalam pembahasannya, Pak Achmad Mubarok mengemukakan bahwa pemimpin yang bermoral adalah pemimpin yang dibimbing oleh nurani politik. Dalam perspektif Psikologi Islami, perangkat kejiwaan manusia terdiri dari akal, hati (qalbu), nurani (mata hati), syahwat (penggerak tingkah laku), dan hawa nafsu (bersifat destruktif). Kelima hal tersebut dipimpin oleh hati. Maka, jika seseorang berhati baik, maka akhlaknya juga baik. Begitu pula jika hatinya busuk, akhlaknya juga busuk. Hati ini yang akan membimbing nurani.

Nurani politik dijelaskan sebagai keterpanggilan terhadap politik yang memiliki dimensi vertical, yaitu tanggung jawab sebagai khalifah Allah, untuk menegakkan keadilan dan menebarkan kasih sayang. Berbeda sekali dengan banyak politikus yang saat ini berambisi menjadi pemimpin. Yang mereka miliki hanya syahwat politik, atau bahkan hawa nafsu politik. Pemimpin dengan nurani politik tampil karena panggilan, bukan atas perhitungan untung-rugi menjadi pemimpin, bahkan rela menyerahkan kepemimpinan kepada orang lain yang lebih tepat.

Pak Soegiharto mengangkat topik Pengembangan Moralitas Pemimpin dengan meneladani Rasulullah Muhammad SAW dan para sahabat. Yang menarik dari pembahasannya adalah beliau menghubungkan karakter Nabi dan para sahabat dengan karakter pemimpin yang diteorikan oleh para ahli Barat dan semuanya dipenuhi oleh Rasulullah. Beliau mengingatkan agar kita tidak memilih pemimpin sembarangan, tetapi lihat dulu kemampuannya. Apakah dia amanahfathonah (cerdas), tabligh (berani) dan shiddiq (jujur)? Juga beliau menjelaskan konsep AVIRA (adaptive, visioner, innovative, responsible, actuation) yang berdasarkan pada IQ, SQ, dan EQ yang merupakan fondasi pemimpin sukses. (bertanggung jawab),

Yang terakhir, Pak Fuad Nashori mengemukakan konsep yang cukup debatable mengenai Kepemimpinan dan Pemaafan. Pemaafan adalah kemampuan menghapus luka-luka atau hutang emosi dalam hati karena perbuatan orang lain. Pemimpin adalah orang yang memiliki wewenang untuk menjatuhkan hukuman, tetapi mampu memaafkan adalah kemampuan lain yang tidak boleh hilang dalam diri seorang pemimpin. Jika pemimpin dipenuhi amarah, mungkin karena pihak oposisi yang menunjukkan perilaku berseberangan, maka yang dapat terjadi adalah perilaku-perilaku destruktif yang akan menyebabkan lebih banyak orang lagi yang menderita. Membalas perilaku buruk orang lain dengan perilaku yang setimpal adalah hak orang yang dizhalimi. Tetapi, memaafkan dan berbuat baik pada orang tersebut adalah perbuaatan yang mulia di sisi Allah. Pemaafan adalah salah satu moral pemimpin.

Topik tentang kepemimpinan tepat sekali diangkat, berhubungan sebentar lagi Indonesia akan mengadakan Pemilu. Pemimpin adalah memiliki peran yang penting bagi keberadaan suatu negara. Pemimpin yang buruk akan membawa negara pada keterpurukan, maka dari itu kritislah dalam memilih pemimpin.

“Friends, I (don’t) trust you all…”

Anda orang yang bersemangat. Anda memiliki need of achievement tinggi. Anda hidup dalam persaingan dan kedisiplinan. Anda dibesarkan dalam perjuangan meraih posisi yang tinggi di atas orang lain. Anda pun sadar bahwa berorientasi pada tujuan adalah salah satu ciri orang yang memiliki “masa depan”. Anda ingin semuanya berjalan sesuai rencana yang Anda buat. Semua yang “baik” ada dalam diri Anda. Anda begitu percaya diri. Ketika orang lain salut dan mengatakan bahwa Anda lah si nomor satu, dalam hati terbesit, “Ya, itulah hasil dari kerja keras saya.”

Namun, jangan lupa bahwa yang kita inginkan belum tentu terjadi. Juga, yang kita tidak inginkan, mungkin saja terjadi.

Melanjutkan bahasan tentang kelompok pada artikel sebelumnya mengenai social loafing, social loafing adalah penyakit yang menggerogoti efektivitas kelompok kita secara internal dan dengan cara kerja yang sangat mungkin untuk tidak disadari. Pada bahasan itu, kita menekankan pada sosok anggota kelompok dengan motivasi kerja rendah berdasarkan Collective Effort Model (CEM) karena beberapa hal, seperti: 1) tidak percaya bahwa kerja keras mereka akan menghasilkan kinerja lebih, 2) tidak percaya bahwa hasil kerja mereka akan diakui dan dihargai, dan 3) tidak merasa bahwa penghargaan yang mereka peroleh benar-benar berharga dan diinginkan. Orang yang demikian berpotensi memiliki social loafing tinggi, sehingga mereka mengalami pengurangan motivasi dan usaha ketika bekerja secara kolektif dalam kelompok. Mereka tampak bekerja keras, tetapi yang sebenarnya mereka mengeluarkan usaha yang lebih sedikit dan menggantungkan diri pada orang lain yang mereka anggap lebih berkompeten.

CEM hanyalah salah satu teori yang berusaha menjelaskan perilaku social loafing. Jika kita cermati, teori ini tampak mengatribusikan secara internal perilaku social loafing. Padahal, ada banyak hal yang mempengaruhi terbentuknya suatu perilaku, salah satunya adalah sebab eksternal. Akhirnya, teori ini mengarahkan kita pada bagaimana cara mengurangi social loafingsocial loafing akan paling lemah terjadi, salah satunya, adalah ketika kita memperkirakan teman sekerja kita bekerja buruk. yang tinggi dalam kelompok. CEM juga memperkirakan bahwa

Jika kita berpikir dengan sudut pandang yang bertolak belakang, mungkinkah social loafing akan paling tinggi terjadi ketika kita memperkirakan teman sekerja kita bekerja baik, bahkan sangat baik? Sangat baik sampai tidak mempedulikan rekannya? Secara teori, itu mungkin sekali.

Inilah susahnya menjadi orang yang terlalu “sempurna” seperti yang telah disebutkan di awal tulisan. Orang yang terlalu “bekerja keras”, terlalu, terlalu, terlalu, dan terlalu. Ia ingin berprestasi, juga mengetahui bahwa ia memiliki kemampuan lebih di atas rekan-rekannya. Karena ia lah orang yang (mungkin) akan menjadi sandaran dan tempat bergantung rekan-rekannya yang biasa-biasa saja serta sebagai perencana gerak kelompok untuk mencapai tujuan(nya). Maka, kemungkinan besar, ia yang akan menjadi pemimpin dalam kelompok itu. Menurut French dan Raven (dalam Sarlito, 1999), orang yang demikianlah yang akan menjadi pemimpin karena sifat-sifat pribadinya, yaitu memiliki kemampuan lebih dibandingkan orang lain.

Jika kita berpikir lebih jauh lagi, orang-orang dengan karakter seperti ini, yang memungkinkan memiliki social loafing yang sangat rendah, mungkin saja dapat menyebabkan kinerja kelompok sangat tidak efektif. Perpaduan antara orang yang sangat tinggi dan sangat rendah social loafing-nya akan menghancurkan kelompok. Maka, perpaduan antara orang yang sangat tinggi kemampuan dan sangat rendah kemampuan juga dapat menghancurkan kelompok. Kecuali jika satu hal terjadi.

Memiliki kemampuan lebih daripada orang lain bukan bencana bagi diri kita. Hanya, bagaimanakah kita menggunakan kemampuan itu untuk mencapai tujuan bersama sebagai kelompok. Perkiraan akan kinerja rekan yang buruk dan kesangsian kita atas mereka adalah wajar sebagai hal yang akan merendahkan tingkat social loafing kita sehingga motivasi kita untuk sedikit berkorban usaha yang lebih keras demi tercapainya tujuan. Namun, keharmonisan dalam kelompok hanya dapat terjadi jika kita dengan kemampuan kita mampu mempercayai teman kita dengan kemampuan personalnya sendiri.

Jika kita mampu mempercayai teman kita dengan segala kekurangan dan kemampuannya, maukah kita sedikit mengalah? Maukah kita memberi mereka kesempatan berkarya dan sedikit mengesampingkan kepentingan berambisi kita? Mahatma Gandhi berkata, “Jika Anda tidak memiliki karakter untuk kalah, orang-orang tidak akan menaruh kepercayaan pada Anda.

Kalah berarti tidak menang; tidak melebihi (orang lain). Memiliki karakter kalah adalah keterampilan sosial yang sulit dimiliki sebagian besar dari kita yang memiliki kemampuan lebih daripada orang lain. Mengapa? Karena kita sebagai manusia memiliki kebutuhan untuk menghargai diri dan dihargai oleh orang lain berdasarkan kemampuan yang dimiliki sebagai modal untuk mengaktualisasikan diri.

Abraham Maslow mengemukakan bahwa manusia berperilaku karena suatu kebutuhan yang dapat digambarkan secara hierarkis, yang kemudian dikenal sebagai teori hierarki kebutuhan. Kebutuhan akan self-esteem (menghargai diri dan dihargai orang lain) ada pada hierarki yang keempat sebagai kebutuhan karena kekurangan, sedangkan kebutuhan aktualisasi diri (menjadi seseorang yang seharusnya sesuai dengan potensinya) ada pada hierarki puncak sebagai kebutuhan berkembang.

Berdasarkan teori tersebut, ketika kita masih dihinggapi perasaan bangga diri dan kesombongan (menghargai diri terlalu tinggi) dalam mengaktualisasikan diri, sebenarnya kita belumlah sampai pada puncak prestasi. Ketika kita masih membutuhkan penghargaan orang lain, maka kita belum mampu mewujudkan (secara maksimal) potensi diri kita. Untuk mengalahkan kebutuhan akan self-esteem ini, yang kita butuhkan adalah keikhlasan memiliki karakter untuk kalah. Dengan cara inilah kita mampu menyelaraskan diri secara sosial di dalam kelompok.

Kemampuan menyelaraskan diri, mengasumsikan diri setara dengan orang lain, akan membuat suatu kelompok menjadi amat berbakat, produktif, dan sukses. Robert Sternberg (dalam Goleman, 2004) mengemukakan bahwa apabila orang bersatu untuk bekerja dalam suatu kelompok, masing-masing membawa bakatnya sendiri-sendiri. Sebuah kelompok “tidak mungkin” lebih cerdas daripada jumlah keseluruhan kelebihan individual ini, tetapi kelompok dapat lebih bodoh apa bila proses internal tidak memungkinkan orang untuk saling mengisi bakat-bakatnya. Hasil penelitiannya yang mengejutkan adalah orang yang terlampau berhasrat untuk ambil bagian justru menjadi penghambat kelompoknya, sehingga menurunkan kinerja kelompok secara keseluruhan; mereka yang amat bernafsu itu terlampau mengurusi ini itu atau menguasai. Orang yang demikian agaknya kurang memiliki kemampuan untuk mengenali apa yang pas dan apa yang tidak dalam hubungan saling memberi-dan-menerima.

Kemampuan kita bukanlah hambatan. Kemampuan kita yang lebih dari orang lain merupakan sumber bantuan yang sangat berharga, hanya dalam kelompok yang harmonis. Untuk mencapai kelompok yang harmonis, maukah kita sedikit merendah, menerima dan mempercayai rekan-rekan kita? Kemampuan orang lain yang kita sadari, cukup di dalam hati saja, lebih rendah daripada kita yakinlah bukan merupakan ancaman bagi tercapainya tujuan dan kesuksesan kita. Ketika yakin, ucapkanlah, “Friends, I trust you all.” (af/16-11-08/01.30)

Referensi:

Alwisol. 2007. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press.

Baron, Robert dan Donn Byrne. 2005. Psikologi Sosial Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Goleman, Daniel. 2004. Emotional Intelligence. Jakarta: Gramedia.

Sarwono, Sarlito. 1999. Psikologi Sosial: Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan. Jakarta: Balai Pustaka.

Sabtu, 15 November 2008

Social Loafing?

Oleh: Aftina Nurul Husna

Digariskannya manusia sebagai makhluk sosial memunculkan konsekuensi terbentuknya kelompok-kelompok manusia. Dalam kelompok-kelompoknya, manusia berinteraksi satu sama lain di mana didalamnya ada hubungan saling tergantung atau interdependency untuk memenuhi kebutuhan pribadinya sendiri. Maka, manusia tidak dapat murni sebagai makhluk sosial karena manusia juga digariskan sebagai makhluk individual.

Selama perjalanan hidup kita, kita merupakan individu yang menjadi anggota dari banyak kelompok, mulai dari yang sederhana sampai yang kompleks, dari yang formal samapi yang informal, dari yang jangka pendek sampai yang jangka panjang, dari yang kohesif sampai yang tidak kohesif dan sebagainya (Sarwono, 1999). Kelompok-kelompok tersebut ternyata memiliki dampak yang kuat terhadap bagaimana kita berpikir dan bertindak. Sebenarnya, cara berpikir dan bertingkah laku inilah yang menjadi acuan kita menggolongkan individu-individu sebagai in-group atau out-group. Persepsi terhadap in-group dan out-group inilah yang pula menentukan pola perilaku kita. Sebagai contoh adalah pola perilaku individualistik atau kolektivistik (Triandis, 1994).

Mengenai individualistik atau kolektivistik, saya jadi teringat kuliah Psikologi Lintas Budaya terakhir di bulan Oktober. Saat itu kami mengukur diri kami sendiri: individualis atau kolektivis, dan hasilnya cukup mencengangkan. Kami yang kebanyakan orang Jawa ternyata banyak yang berjiwa individualistik. Zaman rupanya telah berubah.

Kemudian dosen kami menanyakan bagaimana kami membangun kelompok selama ini (banyak tugas kami yang dikerjakan berkelompok). Memang, ada kesulitan mengorganisasi orang-orang, tetapi metode bagi-bagi tugas (jatah mencari bahan) menurutku cukup kolektivistik daripada tugas itu hanya dikerjakan satu atau dua orang sendirian. Apa jawab dosenku? Sama saja, itu individualistik juga. Karena setiap orang hanya akan memikirkan jatahnya sendiri. Memikirkan tugasku sudah selesai dan kalau ada masalah, asal itu bukan di bagian di mana ia mengerjakan itu, itu bukan masalahnya.

Di luar pembahasan individualistik-kolektivistik itu, kalau membicarakan suka duka membangun kelompok, ada banyak sekali carita yang intinya kelompok kerja ideal memang sukar diraih.

Yang pertama, masalah kepemimpinan yang tidak jelas; tidak ada yang berinisiatif memulai di awal dengan mengumpulkan kelompok ketika tugas baru saja diberikan.

Yang kedua, kesan “tugas tidak penting” sehingga pengerjaan berlarut-larut. Biasanya, dekat-dekat hari H baru mulai “sibuk”.

Yang ketiga, ada saja anggota yang pasif, tidak datang di pertemuan, dan beberapa waktu setelahnya bertanya, “Tugasku apa?” Apakah ini individualistik?

Yang keempat, ada saja anggota yang tidak berjalan berdasarkan instruksi yang diberikan. Pada akhirnya, ada saja orang yang harus berkorban bekerja lebih banyak.

Yang kelima, ada juga yang merasa tidak adil ketika bagiannya “diserobot” yang lain. Karena dia bekerja sampai lembur, tapi hasil kerjanya kurang memuaskan dan diperbaiki yang lain.

Yang keenam, masalah gender Entah kenapa, laki-laki suka sekali mengandalkan rekannya yang perempuan dalam pengerjaan tugas. Aku senyum-senyum saja ketika pernah mendengar cerita tentang ini. “Waktu ada tugas, aku nggak ngapa-ngapain, lho. Kalau sama “X”, “Y”, “Z” (mereka perempuan) tugas tahu-tahu sudah selesai.” Apa laki-laki memang begitu?

Yang terakhir, kenapa, selalu saja, ada orang yang “tidak bekerja” atau bekerja di bawah level yang sebenarnya bisa ia lampaui.

Ada teori dalam psikologi sosial yang membuat mataku terbelalak dan tiba-tiba ada jawaban untuk semua pertanyaan tentang kelompok ini. Jadi, ini sebenarnya yang terjadi dalam kelompok: Social Loafing (Baron dan Byrne, 2005).

Ternyata, cara kerja bagi-bagi tugas dan menggabungkannya menjadi satu di akhir adalah cukup umum terjadi. Pola ini disebut additive task. Seperti yang telah diungkapkan di atas, dalam tugas-tugas seperti ini memang terjadi beberapa orang yang bekerja lebih keras sedangkan yang lainnya masa bodoh, melakukan lebih sedikit dari bagian mereka dan lebih sedikit dari bagian yang mungkin akan mereka kerjakan kalau bekerka sendiri. Yang seperti ini disebut social loafing, pengurangan motivasi dan usaha ketika individu bekerja secara kolektif dalam kelompok dibandingkan ketika bekerja secara individual.

Social loafing ternyata tidak tampak terjadi dalam budaya kolektivitas, seperti yang ada di banyak negara Asia, budaya di mana kebaikan-kebaikan kolektif lebih dihargai daripada prestasi atau keberhasilan individual. Faktor budaya ternyata sangat mempengaruhi perilaku kita. Ketika kita sebagai orang Jawa, atau orang dari budaya timur, seperti kasus di kelas lintas budaya tadi, ternyata tidak lagi kolektivistik, social loafing akan menjadi makanan sehari-hari suatu kelompok.

Social loafing tentu saja sangat merugikan kinerja suatu kelompok. Bekerja bersama-sama belum tentu berhasil maksimal. Maka, bagaimana mengatasinya? Namun sebelum kita membahas bagaimana mengatasinya, kita perlu mengetahui bagaimana social loafing dapat terjadi.

Karau dan Williams mengemukakan model usaha kolektif (collective effort model/CEM). Social loafing dapat dipahami lewat teori motivasi individual (expectance-valence theory) pada situasi yang melibatkan kelompok. Teori ini menyebutkan bahwa individu akan bekerja keras pada tugas yang diberikan hanya pada kondisi-kondisi berikut:

  1. Mereka percaya bahwa kerja keras akan menghasilkan kinerja yang lebih baik (pengharapan/expectancy).

  2. Mereka percaya bahwa kinerja yang lebih baik akan diakui dan dihargai (instrumentalis/instrumentality).

  3. Penghargaan yang diperoleh adalah sesuatu yang mereka anggap berharga dan diinginkan (valensi/valence).

Namun, dalam kelompok, hubungan tersebut tampak lebih lemah daripada kalau bekerja sendiri. Pertimbangannya demikian:

  1. Faktor pengharapan. Keyakinan bahwa usaha yang meningkat akan menghasilkan kinerja yang lebih baik. Dalam kelompok, seseorang mungkin menyadari bahwa ada faktor-faktor lain di samping usaha mereka sendiri yang menentukan kenerja kelompok, seperti besar usaha yang dikerahkan anggota lain.

  2. Faktor instrumentalis.Keyakinan bahwa kinerja yang baik akan diakui dan dihargai. Dalam kelompok, seseorang mungkin menyadari bahwa hasil baik akan dibagi kesemua anggota kelompok dan bahwa, sebagai konsekuensinya, mereka mungkin tidak mendapatkan pembagian yang adil sesuai usaha mereka.

Lebih banyak terdapat ketidakpastian antara seberapa keras orang bekerja dan hasil yang mereka terima yang membuat orang tersebut mengalami social loafing.

CEM memperkirakan bahwa social loafing paling lemah ketika:

  1. Individu bekerja dalam kelompok kecil daripada kelompok besar.

  2. Individu bekerja dalam tugas yang secara intrinsik menarik atau penting bagi mereka.

  3. Individu bekerja dengan orang-orang yang dihargai (teman-teman, rekan tim, saudara, dsb).

  4. Individu mempersepsikan bahwa kontribusi mereka pada kelompok adalah unik dan penting.

  5. Individu memperkirakan rekan mereka bekerja secara buruk.

  6. Individu datang dari budaya yang menekankan pada usaha dan hasil individual daripada kelompok.

Social loafing paling mungkin terjadi dalam kondisi di mana kontribusi individual tidak dapat dievaluasi, ketika orang-orang mengerjakan tugas yang mereka anggap membosankan atau tidak memberi aspirasi, atau bekerja dengan orang-orang yang tidak terlalu mereka hargai atau mereka kenal.

Cara nyata mengurangi social loafing adalah dengan membuat hasil akhir atau usaha dari setiap anggota dapat diidentifikasi. Dalam kondisi ini, orang-orang tidak dapat bersantai dan membiarkan orang lain bekerja.

Kedua, dengan meningkatkan komitmen anggota kelompok pada kinerja tugas yang sukses. Tekanan untuk bekerja keras kemudian akan membatasi social loafing.

Ketiga, dengan meningkatkan kejelasan akan arti penting atau nilai dari suatu tugas.

Keempat, social loafing menurun ketika individu memandang kontribusi mereka pada tugas adalah unil, bukan sekadar meramainkan kontribusi orang lain.

Selalu ada solusi untuk masalah-masalah keseharian kita. Ketika kita tahu bahwa fenomena “Kelompok Tidak Efektif” ternyata punya pemecahannya... Ayo, sikapi ketidakefektifan kelompok kita selama ini dengan kepala dingin. Jangan jadi panas karena ulah rekan-rekan kita. Buang-buang energi saja. Semoga pemaparan Social Loafing ini bermanfaat.


Referensi:

Baron, Robert dan Donn Byrne. 2005. Psikologi Sosial Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Sarwono, Sarlito. 1999. Psikologi Sosial: Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan. Jakarta: Balai Pustaka.


Triandis, Harry. 1994. Culture and Social Behavior. NewYork: McGraw-Hill, Inc.


Depresi, Homicide dan Suicide

Oleh: Aftina Nurul Husna

Sama-sama –cide.Belum tahukah apa arti kedua kata itu? Berdasarkan kamus bahasa Inggris, homicide berarti pembunuhan, sedangkan suicide berarti bunuh diri. Sama-sama membunuh yang disengaja hanya saja yang dibunuh berbeda. Homicide adalah membunuh orang lain, sedangkan suicide adalah membunuh diri sendiri.

Adalah mengerikan sekali membayangkan aksi bunuh diri yang bahkan dilakukan pula oleh anak-anak yang sering kita pikir mereka belum mengenal kata susah. Lebih mengerikan lagi ketika ibu yang bunuh diri turut membawa anak mereka “ikut” dengan mereka dengan membunuh mereka. Atau yang lebih-lebih mengerikan lagi, ibu yang membunuh anak-anaknya karena takut anak-anaknya tidak memiliki masa depan sementara.

Para ahli psikologi mengatakan bahwa bunuh diri bukanlah suatu gangguan psikologis, tetapi sering merupakan ciri dari gangguan psikologis yang mendasarinya. Tentu saja, salah satu ciri gangguan psikologis yang mendasarinya adalah depresi, yaitu bentuk unipolar dari gangguan mood. Depresi terjadi ketika kutub emosional mengarah ke bawah, dicirikan sebagai berikut:

  1. Perubahan pada Kondisi Emosional

Perubahan mood, terus-menerus merasa terpuruk, sedih, muram, menangis, mudah tersinggung, gelisah atau kehilanga kesabaran.

  1. Perubahan dalam Motivasi

Perasaan tidak memiliki motivasi hidup, menurunnya partisipasi sosial, hilangnya minat pada aktivitas yang menyenangkan, dan gagal merespon pujian.

  1. Perubahan dalam Fungsi dan Perilaku Motorik

Begarak atau berbicara perlahan (tidak bersemangat), perubahan kebiasaan tidur, perubahan selera makan, perubahan berat badan (berambah maupun berkurang) dan kurang efektif dalam beraktivitas.

  1. Perubahan Kognitif

Sulit berpikir jernih, berpikiran negatif mengenai diri dan masa depan, merasa bersalah atau menyesal karena kesalahan di masa lalu, berkurangnya harga diri, dan berpikir akan kematian dan bunuh diri.

Jelas sekali depresi mengubah pola pikir seseorang sehingga ia berkeinginan mengakhiri hidupnya. Tetapi, mengapa seseorang menjadi depresi? Mengapa orang depresi membunuh dirinya sendiri? Mengapa selain membunuh dirinya, orang itu juga membunuh orang-orang yang dicintainya seperti anak?

Mengapa seseorang menjadi depresi?

Jawabannya ada di sekitar kita, kita saksikan, dan mungkin juga kita alami. Kesulitan hidup. Peristiwa hidup yang penuh tekanan yang mengakibatkan orang tersebut mengalami stress. Tetapi tidak semua kesulitan hidup, peristiwa hidup yang penuh tekanan dan stress berimplikasi pada depresi. Ada faktor-faktor seperti keterampilan mengatasi stress, bawaan genetis, dan ketersediaan dukungan sosial yang mempengaruhi terjadinya depresi.

Ada pula jawaban yang diberikan oleh para ahli psikologi humanisme, yaitu depresi dipicu oleh ketidakmampuan mengisi keberadaannya hidup di dunia dengan makna sehingga dunia dianggap sebagai tempat yang menjemukan. Ada pula peran hilangnya self-esteem ketika kita mengalami peristiwa-peristiwa menyakitkan atau kehilangan.

Sementara itu, jawaban yang diberikan para ahli psikologi kognitif adalah depresi diakibatkan oleh pikiran-pikiran negatif yang ditujukan pada diri, lingkungan, dunia, dan masa depan, serta pesimisme.

Mengapa orang yang depresi membunuh dirinya sendiri?.

Jawaban adalah mereka yang depresi kehilangan harapan mengenai masalah-masalah mereka dan tidak melihat jalan keluar lain bagi masalah itu selain bunuh diri. Orang yang memikirkan bunuh diri ketika stres mungkin memiliki keterampilan memecahkan masalah dan kurang dapat menemukan cara-cara alternatif untuk menanggulangi stres yang menyebabkan mereka depresi.

Dan yang terakhir, mengapa orang yang bunuh diri itu juga membunuh orang-orang yang dicintainya, seperti anak-anak mereka?

Adalah kemiskinan yang menjadi penyebab seseorang ibu selain membunuh dirinya juga membunuh anak-anaknya. Tidak mampu saya menguraikan kasus demi kasus itu di sini, tetapi silakan cari artikel-artikel tentang itu di mana saja. Hati kita tentu teriris-iris menyaksikan betapa kemiskinan begitu membuat seseorang putus asa. Ada yang terjun ke sumur, membakar diri, menenggak racun, sambil turut membawa anak tersayang mereka.

Inilah kejahatan ganda. Tidak hanya menzalimi diri sendiri, tetapi juga menzalimi orang lain. Mulai dari titik ini (sebenarnya dari titik-titik yang lebih awal juga), kita harus meluaskan pandangan kita sebagai orang yang beriman kepada Allah SWT. Kita perlu membuka kitab suci perdoman hidup kita yang universal, Al Quran, di samping kita juga mengkaji buku-buku psikologi.

Fenomena homicide dan suicide ini dapat ditelaah lewat sudut pandang psikologi perkembangan manusia dewasa. Adalah peristiwa normatif (dialami sebagian besar orang pada waktu kehidupan tertentu) sebagai tugas perkembangan bagi orang dewasa untuk mandiri secara ekonomi, memiliki pekerjaan, menikah, menghidupi keluarga, memiliki anak dan mengasuhnya baik-baik. Kita mengharapkan kebahagiaan hidup, hanya saja tidak semua itu terjadi pada kehidupan manusia. Tugas-tugas perkembangan ini adalah krisis yang harus dihadapi untuk menjadi orang dewasa yang berhasil. Keberhasilan dalam pekerjaan, pernikahan dan mampu membesarkan anak dengan baik adalah harapan setiap orang dewasa (Bacalah Model Krisis Normatif dari Vaillant dan Levinson dalam teori-teori perkembangan psikososial manusia dewasa).

Namun, harapan-harapan ini tidak berhasil dipenuhi oleh semua orang dewasa yang berkeluarga. Tidak mampu bekerja secara layak membuat keluarga dihimpit masalah ekonomi dan kemiskinan. Kemiskinan adalah masalah yang berat di mana seseorang tidak mampu menghidupi dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya. Tak dapat dipungkiri, kemiskinan dan himpitan ekonomi adalah faktor utama terjadinya depresi di Indonesia. Ditambah oleh kesenjangan sosial yang begitu besar antara yang kaya dan yang miskin dan minimnya solidaritas sosial, semua itu memperparah stres, depresi dan keputusasaan yang dialami keluarga miskin.

Krisis ini seharusnya mampu dihadapi dengan mekanisme adaptasi yang baik. Namun, yang mengarahkan orang memutuskan bunuh diri adalah mekanisme adaptasi yang neurotis di mana seseorang menekan kecemasannya dan membangun ketakutan-ketakutan yang irasional. Hal ini dapat dilihat pada kasus yang pernah terjadi beberapa waktu lalu di mana seorang ibu membunuh anak-anaknya karena takut anaknya tak punya masa depan padahal keadaan keluarga tergolong mampu.

Mengapa seorang ibu bunuh diri juga membawa mati anaknya juga dapat ditinjau dari Teori Perkembangan Moral Wanita dari Carol Gilligan. Berdasarkan penelitiannya, Gilligan menyimpulkan bahwa wanita cenderung untuk lebih memikirkan tanggung jawab mereka pada orang-orang tertentu yang dalam kasus homicide dan suicide ini adalah anak-anak mereka. Berdasarkan teori ini, pembunuhan terhadap anak mencerminkan rasa tanggung jawab yang salah seorang ibu pada anaknya. Orang tua adalah yang bertanggung jawab mendidik anak dan mempersiapkan hari depan anak yang cerah. Ketika seorang ibu putus asa dengan keadaan ekonomi keluarga dan khawatir masa depan sang anak, ia mungkin merasa ketakutan menjadi seseorang yang tidak bertanggung jawab membuat anaknya tidak bahagia. Penyelesaiannya cukup tidak “mementingkan diri sendiri” dengan tidak hanya “mengeluarkan” diri sendiri dari tanggung jawab, tetapi juga mengeluarkan objek tanggung jawab mereka dari dunia yang kejam ini.

Fenomena homicide dan suicide ini, juga dapat dijelaskan lewat teori Psikologi Sosial. Tindakan bunuh diri merupakan agresi yang mengarah ke dalam, seperti yang dijelaskan dalam Teori Psikodinamika Klasik. Perilaku agresif bunuh diri ini terjadi karena adanya rangsangan tertentu, menurut Teori Transfer Eksitasi dari Zillman. Sedangkan agresifitas itu sendiri berasal dari rasa frustasi berdasarkan hipotesis frustasi-agresi dari Dollard dan Miller. Dinamikanya demikian:

Kemiskinan dan himpitan ekonomi adalah faktor-faktor yang memicu frustasi di mana kemiskinan dan himpitan ekonomi menghambat seseorang meraih kehidupan yang ideal, keluarga yang mapan dan mampu membesarkan anak dengan baik. Frustasi ini dipendam begitu lama sepanjang kemiskinan berlangsung, menjadi stres dan jika tidak ditanggulangi mengakibatkan orang tersebut mengalami depresi. Namun, ada suatu peristiwa yang memicu frustasi atau depresi ini untuk dilampiaskan dalam wujud perilaku agresif membunuh diri. Peristiwa ini seperti peristiwa-peristiwa yang membuat kemiskinan semakin berat ditanggulangi oleh orang tersebut, contohnya saat ini adalah kenaikan harga-harga kebutuhan pokok dan bahan bakar. Keputusasaan menjadi semakin berat, harapan seolah tidak ada lagi.

Dalam fenomena homicide dan suicide, kedua sudut pandang psikologi perkembangan maupun sosial berhubungan satu sama lain. Dapat ditambahkan pula teori belajar sosial di mana individu membunuh diri karena meniru perilaku bunuh diri individu lainnya yang telah bunuh diri. Tugas kita lah, para ahli psikologi, mahasiswa psikologi, psikolog profesional, para pemuka agama, pemerintah dan siapa saja yang memiliki kepedulian untuk mencegah jangan sampai bunuh diri menjadi tren masyarakat untuk keluar dari masalah yang dihadapi.

Ucapan Martin Seligman, ahli psikologi dari Universitas Pennsylvania, yang dikutip dalam buku Emotinal Intelligence karya Daniel Goleman sangat mempengaruhi saya jauh-jauh hari sebelum tulisan ini ditulis.

“Selama 30 atau 40 tahun terakhir ini, kita menyaksikan meningkatnya individualisme dan lenyapnya keyakinan yang lebih luas terhadap agama, serta terhadap dukungan masyarakat dan keluarga besar. Ini berarti hilangnya sumber yang dapat menopang Anda dari kekalahan dan kegagalan. Sejauh Anda memandang kegagalan sebagai sesuatu yang yang berlangsung terus dan yang Anda perbesar hingga mewarnai apa saja dalam kehidupan Anda, Anda menjadi lebih gampang membiarkan kekalahan-sementara menjadi sumber keputusasaan abadi. Tetapi, seandainya jika Anda memiliki sudut pandang yang lebih luas, lalu Anda kehilangan pekerjaan, Anda hanya akan menganggapnya sebagai kekalahan sementara.”

Ini adalah pernyataan yang baru saja lahir di abad 20. Sejak abad ke-6 ada pernyataan yang universal, yaitu Al Quran yang merupakan pedoman universal hidup manusia yang juga mengungkapkan hal demikian dan sangat relevan dengan kondisi zaman ini.

Lebih jauh lagi sebelum saya membaca pernyataan Martin Seligman, saya membaca ayat berikut:

“Sesungguhnya Tuhan-mu Melapangkan Rezeki kepada siapa yang Dia Kehendaki dan Menyempitkannya; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui dan Maha Melihat akan Hamba-hamba-Nya. Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang Memberi Rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” (QS Al Isra’: 30 – 31).

Sesungguhnya Allah SWT telah memperingatkan manusia akan bahaya kemiskinan dan betapa buruknya perilaku membunuh anak-anak disebabkan kekhawatiran akan kemiskinan dan ketidakmampuan menghidupi mereka karena sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Memberi Rezeki kepada hamba-hamba-Nya.

Ayat ini juga menjelaskan kepada kita bahwa segala peristiwa kehidupan yang berpotensi sebagai stressor adalah telah digariskan. Sebagaimana yang telah ditulis dalam Al Quran:

“Dan sesungguhnya akan Kami Berikan Cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mungucapkan, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un’” (QS Al Baqarah: 155 – 156).

Teori Atribusi yang menjelaskan penyebab depresi sejalan dengan apa yang tertulis dalam Al Quran. Banyak faktor yang berperan dalam depresi, salah satunya adalah kecenderungan pola atribusi untuk menyalahkan diri sendiri (self-defeating) atas peristiwa-peristiwa negatif atau keyataan pahit yang mereka alami. Islam mengajarkan umatnya untuk sabar dalam menghadapi kesulitan hidup, menyerahkan diri hanya kepada Allah SWT, dan tetap menjaga ibadah, terutama shalat.

“Wahai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat, sesungguhnya Allah berserta orang-orang yang sabar.” (QS Al Baqarah: 153).

Pernyataan Seligman sejalan dengan apa yang telah dituliskan dalam Al Quran, betapa pentingnya keyakinan terhadap agama sebagai tempat kita bersandar ketika mengalami kehidupan yang berat. Hanya kepada Allah-lah kita meminta pertolongan (QS Al Fatihah: 5), dan Allah-lah tempat kita bergantung. Keimanan adalah hal penting yang harus kita pegang teguh dan sesungguhnya, ujian kehidupan yang kita alami adalah cara Allah Mengetahui mana hamba-Nya yang tetap menjaga iman dan mana yang menyerah pada godaan setan yang terkutuk, sebagai mana yang dituliskan dalam Al Quran:

“Apakah manusia mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah Menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah Mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia Mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS Al Ankabut: 2 – 3).

Pernyataan tentang pentingnya solidaritas sosial dan dukungan sosial dari masyarakat dan keluarga oleh Seligman, ternyata juga telah dituliskan dalam Al Quran:

“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya menetapi kebenaran dan nasihat-menasihati sepaya menetapi kesabaran.” (QS Al ‘Ashr: 1 – 3).

Manusia memiliki tanggung jawab untuk menjaga memelihara kehidupan, baik dirinya sendiri maupun sesamanya. Waktu hidup di dunia begitu singkat dan sangatlah merugi orang-orang yang membunuh dirinya sendiri, sementara di dunia ia memiliki kesempatan untuk memperbanyak amal untuk akhiratnya. Semua yang dituliskan Al Quran mengajak manusia tidak hanya mengejar kebahagiaan hidup di dunia, tetapi juga kebahagiaan hidup di akhirat karena akhirat adalah tujuan hidup yang sebenarnya. Islam mengajarkan manusia untuk mencari makna kehidupan lewat proses-proses yang dijalaninya baik susah maupun senang, tidak semata mengharapkan hasil di dunia karena hasil yang sebenarnya kita petik di akhirat.

Obat bagi kita yang sedang mengalami hidup yang sulit adalah dengan membangun optimisme. Para pakar psikologi di Barat, seperti Goleman, mengakui pentingnya optimisme, sungguh-sungguhan, motivasi, empati, dan kompetensi sosial dalam menentukan kebahagiaan dan kesuksesan hidup yang tercermin dalam kecerdasan emotional. Jika kita merujuk pada ayat yang menyatakan:

“… sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS Al Insyirah: 6).

Apakah kita masih tetap tidak bersyukur atas nikmat iman yang diberikan Allah pada kita? Apakah kita masih tidak optimis pada kehidupan yang kita jalani? Apakah kita masih hobi mengeluh dan berputus asa? Betapa dengan iman yang kita pegang teguh, Allah menjanjikan kehidupan yang baik di dunia dan akhirat, terbebas dari kesedihan yang mengarahkan kita pada perilaku-perilaku kufur nikmat, karena kita hanya menjadikan Allah tempat memohon pertolongan. Maha Benar Allah atas segala Firman-Nya. Betapa kayanya Al Quran dalam membimbing kita untuk menjalani kehidupan dan perilaku yang diridhai Allah. Seolah dikatakan pada kita lewat Al Quran agar kita menjadi pribadi-pribadi muslim yang bersemangat dan optimis dalam menghadapi kehidupan.(af/6/11/08)

NB: Sangat direkomendasikan bagi pembaca untuk juga membaca referensi.


Referensi:

Al Quran Al Karim

Alwisol. 2007. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press.

Ausyarie, Sukmadjaja dan Rosy Yusuf. 1984. Indeks Al Qur’an. Bandung: Pustaka.

Baron, Robert dan Donn Byrne. 2004. Psikologi Sosial Jilid 1. Jakarta: Erlangga.

_________________________. 2005. Psikologi Sosial Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Echols, John dan Hassan Shadily. 1996. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Goleman, Daniel. 2004. Emotional Intelligence. Jakarta: Gramedia.

Nevid, Jeffrey, Spencer Rathus, dan Beverly Greene. 2005. Psikologi Abnormal Jilid 1. Jakarta: Erlangga.

Papalia, Diane, Sally Olds, dan Ruth Feldman. 2001. Human Development. Boston: McGrawHill.

Santrock, John. 2002. Life-Span Development/ Perkembangan Masa Hidup. Jakarta: Erlangga.


Senin, 03 November 2008

Banjir Kasih Sayang di 1 Syawal

Tak disadari sampai saat itu dan aku bertekad: “Biarkan aku yang membanjiri mereka terlebih dahulu…” Membanjiri apa? Membanjiri kasih sayang. Aku percaya pada konsep memberi lebih baik dari pada membalas, untuk hal ini tentunya. Entah kenapa aku seolah mencipta suatu teori tentang “Memperbaiki Hubungan yang Renggang”. Ketika sadar suatu persahabatan berada dalam kebekuan, ingat… kita yang menyadarinya pertama kalinya bertanggung jawab untuk sekadar mengirim SMS atau email ucapan, “Hai, Teman!”.

Syawal sudah memasuki hari ke-10 ketika aku menulis ini. (Aku geleng-geleng, mungkin kamu juga) Cepat sekali!!! Teringat masa-masa ketika… SMS yang ngadat tak sampai tujuan. Panggilan yang tak tersambung. Pulsa yang terkuras. Tak ada yang dapat membendung banjir kasih sayang. Selain ucapan Selamat Idul Fitri dan mohon maaf lahir batin, ada doa-doa yang begitu menyentuh, ada kalimat-kalimat lucu, dan ada gambar-gambar unik yang sampai ke HP-ku. Tak pegal, kubalas mereka satu-satu, atau ketika tak sanggup lagi aku tersenyum semoga mereka dapat membayangkannya. Tahun ini 56 orang. Lima-puluh-enam orang yang membanjiriku dengan kasih sayang mereka.



Y yang dengannya aku mendambakan Me-Ramadhan-kan Diri said, “Aswb… ku tak berharap berjumpa dengan-Nya di 1 syawal nanti, tapi ku hanya berharap Ia memaafkan kesalahanku sambil tersenyum ketika namaku muncul di inbox-nya… Selamat menyambut Ied sobat! =).” SMS pertama di inbox-ku.Keren, ya. Sebenarnya tidak jelas “nya” di sini. Tapi mungkin saja itu Tuhan. Atau aku?

U plus lil jadi nama boneka kesayanganku said, “Maaf lahir batin juga ya… Semoga setelah Ramadhan nee pergi, ia akan selalu membayangi kita… Sehingga akan terasa Ramadhan selalu…” Amin. Amin. Amin.

M si bunga yang indah said, “ Amin, amin ya 4WI, Ya Robbal’alamin… Iya, sama-sama, aku juga meminta maaf atas segala khilaf lahir batin, ya… Met Idul Fitri… Taqoballahu Minna wa Minkum, Siyamana wa Siyamakum…” Taqoballahu ya Kariiim…

N said, “Sama-sama ya friend.. Ku juga minta maaf atas semua kesalahanku yang disangaja atau nggak… Minal aidhin wal faidhin mohon maaf lahir dan batin…”

Anonim… “Marhaban ya Ramadhan, untuk lisan yang tak terjaga, janjinyang terabaikan, hati yang kadang berprasangka, dan semua khilaf, Tata mohon maaf lahir dan batin juga ia…? Ooo… Tata… Who???

A dari rumahnya yang jauh said, “Setelah 30 hari menjalankan kewajiban. Telah tiba saatnya tuk menyempurnakan hari yang fitrah. A dan seluruh keluarga besar di A mengucapkan minal aidhin walfaidhin, mohon maaf lahir dan batin.“ Hal-hal mengenai keluarga akan jadi humor…

M si Pak Ketu said, “Fajar pagi ini, tersenyum penuh kehangatan. Tak kuasa hari ini menjadi terakhirnya kita berpuasa. Sahabat, tiba saat kita pada cobaan dengan dunia dan waktu sebenarnya. Akankah Ramadhan menjadi succes training pribadi kita?” SMS ini berlanjut… “M sekeluarga ngaturaken agunging samudra pangasami,moga-moga ing ba’da riyaya saged kalebur lan Alloh tansah nampi amal syaum. Taqoballahu minna wa minkum, taqoballahu ya kariim. Met Ied 1429 H.” Hahh… Jawa.

Teman masa kecilku, A said, “Sebelum didahului, sebelum nggak ada sinyal, sebelum jaringan sibuk, sebelum pulsa nggak bisa masuk-masuk, sebelum telepon reject, sebelum SMS pending, sebelum HP low batt, saya mengucapkan ‘Minal aidhin wal faidhin’. Dia yang kesekian… Benar-benar didahului.:P

Mb. A said, “Lenyap tak berarti hilang. Diam tak berarti lupa. Jauh tak berarti putus, karena kita satu ikatan saudara, setitik maaf yang tak pernah terlupakan… Taqoballahu minna wa minkum… Minal aidhin wal faidhin, mohon maaf lahir batin, ya…” Indah sekali. Mengingatkanku pada teman-teman yang entah di mana.

Temanku yang lucu, A said, “Aku nggak pernah merasa setulus ini… Aku nggak pernah ngrasa seenteng ini… Tapi aku selalu ngrasa punya salah ma kamu. Jadi, karena aku lagi tulus n biar dosaku makin enteng, maafin semua kesalahanku, ya…;)” Semoga setiap ketulusan hidup sepanjang hayat.

Si P said, “Meminta maaf tak menjadikan kita hina. Memberi maaf tak menjadikan kita bangga. Saling memaafkan yang menjadikan kita mulia. MINAL AIDHIN WALFAIDHIN 1429 H. Saling memaafkan, ya… R&P”. Tak ada kehinaan orang yang mengakui kekurangan diri.

N said, yang namanya sama seperti teman SMA-ku “Ketika membuka mata esok, takbir telah bekumandang, mengajak diri membuka hati untuk saling bermaafan. Ku mengucapkan selamat Hari Raya Idul Fitri 1429 H. Mohon maaf lahir batin.” Ketika membuka mata, aku berharap datangnya Ramadhan tahun depan.

Dengan segala kerendahan hati, saya dan keluarga mohon maaf atas segala dosa dan khilaf selama ini… Taqoballahu minna wa minkum, taqoballahu ya Kariim, Shiyamana wa shiyamakum. Selamat Idul Fitri 1429 H_Kembali fitrah, keep istiqomah_” Keep your SPIRIT!!!

D said, “

,;*”*;,

*;,¥,;*

__)(__ sebuah pohon dapat tumbuh dari benih yang kecil, rasa benci dapat tumbuh dari kesalahan yang kecil. Sambut Idul Fitri dengan hati yang bersih. Mohon maaf lahir dan batin-A&D-“ Namanya, kutulis dalam hatiku. Thanks, D.

V si anggrek said, “Jika fitri adalah lentera… Izinkan aku menyentuh tabirnya dengan maafmu, agar cahaya-Nya menembus jendela jiwa kita. Hapuskan tiap salahku, tepiskan marah dan egoku. V wanna say, ‘Happy Idul Fitri’.” Teman dari masa SMA.

E said, “Manusia adalah tempat berbuat salah dan dosa. Tiap detik, menit, hari. Berpotensi mengukir dosa, tuk itu E mau ngucapin [Minal aidhin wal faidhin] mohon maaf lahir batin. Met lebaran 1429 H.” Manusia adalah tempat penyesalan membuncah pad akhirnya…

Teman seperjalanan pulang A said, “Ramadhan usai tanda Idul Fitri datang. Diawali dengan kata Bismillah, terucap salam seiring sembah. 10 jari kuhaturkan sebagai izin maaf. Minal aidhin wal faidhin mohon maaf lahir batin.” 10 jari… Thanks sobat.

H, yang namanya nyerempet namaku, said, “No card, no ketupat, no parcel, just SMS represents everuthing… Sins, laugh, tears. Happy Idul Fitri 1429 H… Maaf lahir batin, ya…” Puitis…

A said, We’re just a human, dear… Never be perfect like God… So must forgive each other… Forgive all my mistake… Selamat Idul Fitri 1429 H. Mohon maaf lahir batin.. A- -“

G. A. said, “Bla… bla… bla… Ah,nggak usah basa-basi lagi ah. A sekeluarga mau ucapin ‘Met Idul Fitri, ya’ Mohon maaf lahir dan batin… Semoga ke depan kita jadi yang lebih baik, amin.” Amin, amin, amin. Bersemangatlah!!!

L said, “Temaram senja 30 Ramadhan hantarkan diri menuju hari nan fitri. Ikhlaskan hati, sucikan diri. L sekeluarga ngucapin, ‘minal aidhin wal faidhin’ Mohon maaf lahir dan batin.” Satu hal yang sulit tuk diikhlaskan… Selalu ada satu kemungkinan kita tak menemui Ramadhan tahun depan….4WI…

N said, “Teman, semoga dengan berakhirnya Ramadhan, kita dapat bermuhasabah untuk mendapatkan cinta-Nya, amalan ibadah puasa kita dihiasi dengan kesabaran. Met Idul Fitri. Maafkan segala kesalahanku dan kekhilafanku ya…”

A said, si penyiar “ Karena besok lebaran dan saya benar-benar takut IM3 songong lagi, jadi saya mengucapkanminal aidhin wal faidhin. Mohon maaf lahir batin. Selamat lebaran, ya… A. M. “ Songong itu…apa???(~_~)?

Anonim… said, “Kemarin… (‘;’)angry, (‘:’)bore, (‘-‘)proud, (‘0’)hungry, (‘?’)confuse,

(-.-)sleepy… Sekarang… (u)smile donk ‘Lebaran.datang.kauanD(!)_(la…lala…) Minal aidhin wal faidhin (!)’=)” Binguuuuung…. Lucuuuuu….Lalala…..

R said, “Takbir telah berkumandang, bulan suci penuh bekah telah beranjak, pergi… Tinggalkan diri peuh noda. Mohon maaf atas semua khilaf. Taqoballahu minna wa minkum, shiyamana wa shiyamakum… Moga Ramadhan ini akan jadi awal perubahan kita untuk menjadi lebih baik… [R]” Ramadhan bukanlah akhir perjuangan…

N said, “Walaupun tuyul jadi gondrong, sundel gak lagi bolong, gigi pocong makin kinclong, denderuwo udah jadi bencong… Tapi, mohon maaf lahir batin dong…?Maafin ya… -N-“ SMS-nya Seraaaaaaammmm…..

Dari E. L. B. teman tak terduga pertama! SMS yang rumit. Aksara yang tertangkap Cuma…”Met Lebarn, ya Teman.”s

L Cirebon, “Gema takbir bergemuruh menyambut datangnya hari kemenangan… Mari bersihkan hatiyang fitri… saling membuka pintu maaf atas segala khilaf. MINAL AIDHIN WAL FAIDHIN… MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN. L dan keluarga.”

M yang kocak said, “Metik pepaya pake galah, tolong maafin ya kalau punya salah. Ada udang mendem di kue, jangan sampe ada dendam, ya 8) Taqoballahu minna waminkum, siamana wa siamakum. Mohon maaf lahir batin_ M dan keluarga.” Udang mendem du kue? Dimakan saja, yuuuk!

S said, “Tatasing wulan Ramadhan gumantosing condro, hamung Idul Fitri ingkang hanenuntung nedahaken gesang sykuru. Budhi kupat campur klopo, menawi lepat nyuwn pangapuro. S” Bahasa Jawa!!!! Sulit!!!

R said, “For every bad words I’ve said, for every mistakes I’ve made, For every thoughts I’ve had, for the stupid things I’ve done… I humbly ask you to forgive and forget. Happy Iedul Fitri 1429 H. Mohon maaf lahir dan batin –R-“ Forgive and forget…

A, yang kampung halamannya kembar denganku, said, “Magelang proudly presents… ‘HEPI IED DAY the movie’ Maaf Saya Menyakiti Hati Anda. New Release: 1429 H. Director: Tulus and Ikhlas. Producer: Lahir and Batin. Actors: A and family.” Dia maniak bioskop!!! Filmnya bagus lho…

Dari N, melodi terindah, “Ke angkasa naik bis, bulan puasa udah abis… Beli roti dapat kedondong, berarti udah lebaran dong… Kalo gitu… Minal aidhin wal faidhin, mohon maaf lahir dan batin, yach… Semoga kita semua kembali ke Fitri… amin –N-“ Amin, amin, amin. BTW, Fitri di Sidoarjo lho…

S said, yang semoga ayahnya cepat sembuh, “Ini jujur dari hati yang terdalam… Mohon maaf lahir batin untuk semua salah dan khilaf yang pernah diperbuat. Minal aidhin wal faidhin. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1429 H. S.” Kejujuran itu mengharukan…

R, yang wajahnya menurutku unik banget, said, “Ada buaya sakit ayan, nggak kerasa udah lebaran. Cari kerang sambil mabuk, SMS sekarang sebelum operator sibuk. Ada kurma dimakan buaya, maafin aku lahir batin, yaa. Happy Ied. –R-.” Buaya nggak makan kurma… Maksa banget, ya…

Kak S… yang tak terduga, yang kusayangi seperti boneka, “(ada tulisan Arabnya) Minal aidhin wal faidhin, Mohon Maaf Lahir dan Bathin. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1429 H. *S*” Hidayah selalu ada… Amin.

Mb. D, orang yang paling aku takuti isi hatinya karena aku jarang ikut rapat SS, said, “Thought might be gone forgotten… Words might be left unspoken… But don’t let mistakes stay unforgiven… Minal aidhin wal faidhin… Maafin D lahir batin, ya…” Aku yang salah banyak sama kamu…

L, teman SMA yang lemah lembut, “Begitu banyak kata yang terucap dan sikap yang kuperbuat. Begitu banyak kesalahan yang kuperbuat. Setulus hati, ku mengucap. ‘Taqoballahu minna wa minkum Selamat Idul Fitri 1429 H’ Mohon maaf lahir dan batin.” Tetangga sebelah kampus… Semoga persahabatan kita selamanya.

M dari Kelautan said, “Kelahiran diawali adzan, kematian diakhiri salat. Betapa singkat hidup hanya berjarak adzen dan salat. Izinkan ruh ini kembali suci dari kekhilafan. Mohon maaf lahir dan batin, maafin M juga, ya…” Menyentuh… Amin, ya 4WI, hidup yang singkat ini semoga berakhir di surga-Mu.

D, bersama menuju kampus itu berburu pembicara, “Taqoballahu minna wa minkum… Kemenangan sejati saat kita mampu menahan diri, mampu mempertahankan kualitas iman di hati, tetap istiqomah meski keluar dari bulan suci. Minal aidhin wal faidhin. D dan keluarga.” Jaga kesehatanmu, teman…

Dari Y, said, “Lama kita puasa lapar, haus dan hawa nafsu… Tibalah saat kita kembali fitrah menyongsong hari kemenangan di depan mata… Met Idul Fitri, teman, maafin semua khilafku selama ini, ya… Mohon maaf lahir batin ^-^.“ Y, terima kasih…

Mb M, yang kukenal di perjalanan dengan bis, “Gema takbir berkumandang, alunkan Asma-Nya… Menggetarkan hati bagi jiwa-jiwa yang rindu akan Surga-Nya… Taqoballahu minna wa minkum… Mohon maaf atas segala khilaf… -M dan keluarga-“ Aku berharap, mbak cepat lulus… dan, menjadi muslimah sejati.

H, yang kusuka dia pakai baju berbunga itu, said, “Taqoballahu minna wa minkum, siyamana wa siyamakum… Mohon maaf lahir dan batin… Selamat Idul Fitri 1429 H. ‘Sucikan hati, raih kemenangan hakiki’ –H dan keluarga-“ RAIH!!!!

O, yang jago piano, said, “This day is a HOLY day, means forgive, forget, and get fat. Forgive me, forget my fault, and… eat, eat, eat!_^ Happy Lebaran 1429 H. –O-“ Cocok, aku ingin gemuk!!!

Dari C, kenalan di kelas yang baru, “Taqoballahu minna wa minkum, minal aidhin wal faidhin… Mohon maaf lahir dan batin… Semoga Allah memaafkan, memberi petunjuk, dan merahmati kita… Mempertemukan kita di Jannah-Nya.” Amin, amin, amin. Ya Allah, padahal baru kenal!!! Tak terduga.

Dari, E, sahabat kental sejak TK, said, “Terkadang, aku sejutek Squidward, selicil Plankton, segalak Sandy, sepelit Mr. Crab, sebodoh Patrick, sepolos Spongebob, jadi terimalah maafku yang sebesar Bikini Bottom. E.” Aku merindukanmu, Teman…

R, perikanan said, Congratulation! Anda telah menjalani 30 hari meraih cinta-Nya. Mentari 1 Syawal penuh pintu maaf kini telah terbit. Minal aidhin wal faidhin. Happy Idul Fitri 1429 H.” Tak ada mendung bagi indahnya hari itu…

Anonim… “Ramadhan telah berakhir, mungkin di antara kata, canda dan tawa ada khilaf yang tercipta. Kuharap seuntai maaf penyejuk jiwa, meski tangan tak kuasa menjabat setidaknya kata masih dapat terungkap… Selamat Hari Raya Idul Fitri 1429 H, mohon maaf lahir dan batin ya…”

Dari I, ini dia humornya muncul!!! “Happy Idul Fitri Everyone!!! Maafin I yang banyak salah, sombong, kasar, angkuh, congkak, cerewet, narsis, manis, ngangenin, etc. Minal aidhin before IM3 error! (I yang belum berkeluarga)” Ha… ha… kita emang belum berkeluarga!!!

F, kenalan ngenet bersama di sampin WC yang bau, “Salah satu tanda-tanda kebesaran Allah adalah kemenangan seluruh alam semesta! Dengan mengagungkan namanya, mari kita sambut hari yang fitri ini dengan hati yang ikhlas dan penuh suka cita! –Mohon maaf lahir batin!-

Dari KAMMI KOMBES!!! “Aftina, KAMMI KOMBES mengucapkan: Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1429 H dan mohon maaf lahir batin. Wassalam.” Wah, aku merasa bersalah…

F/M si penggila Jepang, said, “Simple music can make sing, simple things can make you happy, hope that my simple sorry in this moment Idul Fitri make you smile. Taqoballahu minna wa minkum. F_M.” It’s simple to forgive you…

R, yang pergi dari kampus ini… said, “Seiring terbenamnya matahari di akhir Ramadhan, hari-hari pun berlari menepis kerinduan akan datangnya hari nan fitri. R menghaturkan mohon maaf atas segala kekhilafan, Minal aidhin wal faidhin.” Segera menikah, ya… Kamu berhak berbahagia.

V, best friend forever said, “Mengenalmu satu kesyukuran, bercanda denganmu satu kebahagiaan, menyakitimu satu kesalahan, meminta maaf darimu satu permintaan… Taqoballahu minna wa minkum. Mohon maaf lahir dan batin.” Mengenalmu adalah suatu harta bagiku. Thanks for everything.

Kakak dari FK, Mb N, “Sama-sama sayang… afwan jiddan jika ada sikap dan lisan yang kurang berkenan. Mohon dimaafkan.” Terima kasih atas segala pengetahuan yang dibagi bersama.

Mb D.H, semoga selalu bahagia, said, “Assalamualaikum… D.H dan keluarga mengucapkan selamat hari raya idul fitri. Mohon maaf lahir batin… Semoga kita kembali fitroh… Sukron atas segala kebaikannya… “ Jazakillah atas segala pengalaman indah walau hanya melihatnya.

E&E the twins said,”Sang cinta telah berpisah, jiwa damai merangkai makna, berharap hati kembali suci dalam hidup penuh cinta Illahi. Ikhlas hati untuk saling memaafkan. Minal aidhin wal faidhin… E&E-families.” For you two, I must give double.

Dari Sastra, S said, “Jika wajah tak bisa bertatap, tangan tak dapat berjabat, SMS ini semoga seperti lisan yang berucap… -Maaf lahir batin- Semoga kita menjadi insan yang kembali suci.”


Yang datang pasti akan pergi…

Yang berjiwa pasti akan mati…

Allah, kumohon… Ramadhan kembali padaku di tahun mendatang…

Jagalah jiwanya sepanjang hidupku…”

My pray, at 27 Ramadhan 1429 H.


Mari menghitung mundur… Ramadhan mendatang, masih banyak hari lagi yang akan kita lewati?