Laman

Selamat Datang...

Berbagi isi hati dan pemikiran...
Berbagi asa untuk mencapainya bersama untuk sebuah kemajuan...

Minggu, 14 Desember 2008

Perginya Kader Kami

Apa artinya seorang kader, yaitu orang yang diharapkan kelak akan menjaga kelangsungan hidup sebuah organisasi? Apa makna diri seorang kader, bagi orang yang mengharapkan? Bukankah kita berharap ia eksis, baik ketika dibutuhkan ataupun tidak. Ia ada karena ia mencintai keberadaannya bersama kita. Itulah kader harapan. Namun, apa makna keberadaannya? Jangan mengelak. Kita bahkan sering tidak mempedulikan dan seolah lupa kalau ia ada dan juga memiliki harapan pada kita.
Kategorisasi Sosial dan Prasangka
Ketika bertemu seseorang, kita tak akan pernah lepas dari menilai orang itu. Ini adalah hukum alam. Ketika kita ”menggodok” seorang kader dengan tugas-tugas, kita tidak akan pernah tidak menilai kinerjanya. Sayang sekali, kebanyakan dari para pengkader hanya melihat dari sisi kinerja untuk menentukan apakah seorang kader layak diharapkan atau tidak. Kita mulai memposisi-posisikan mereka dalam suatu struktur organisasi khayalan; si A akan di sini dan si B akan di situ, dan sebagainya. Kita meyakini dalam hati si A akan terus bertahan karena kaderisasi kita. Namun, ketika kita memiliki perasaan bahwa si B ”kurang” berguna, mungkin yang muncul dalam hati adalah perasaan meremehkan, ”Kalau dia, tidak di sini pun tidak mengapa. Masih ada yang lain.”
Ketika kita sudah menilai dan meyakini penilaian kita, tak lama lagi kita akan mulai mengelompokkan kader-kader, kader yang diharapkan (kelompokku) dan kader yang tidak diharapkan (bukan kelompokku). Inilah yang dinamakan kategorisasi sosial, yang sering menjadi kesalahan utama kita dalam hubungan kita dengan manusia.
Ketika kategorisasi ini merebak, hubungan antarindividu tidak akan harmonis. Kategorisasi ini bermain di ranah pikiran kita dan tidak salah jika akhirnya ia akan mempengaruhi sebagian besar perasaan dan perilaku kita sebagai pengkader. Kategorisasi ini dapat muncul dari evaluasi kita terhadap individu, terutama ketika, mungkin secara tidak sadar, kita menekankan adanya kesamaan. Kesamaan itu dapat berupa kesamaan fisik (berjilbab atau tidak, berjilbab besar atau tidak, penampilannya lumayan seperti kita atau tidak dan sebagainya), kesamaan budaya (yang satu ini riskan sekali menimbulkan konflik, apakah ia orang yang keras, atau mudah diatur, dia agak kasar, dia pendiam, tempat asal kami sama, dan sebagainya), kesamaan pandangan, pemahaman dan ideologi.
Perbedaan adalah suatu kepastian, seperti dalam firman Allah SWT:
”Hai, manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling kenal-mengenal...” dalam QS Al Hujurat: 13.
Perbedaan budaya setiap individu akan memunculkan perbedaan perilaku yang seharusnya dapat diterima sebagai suatu kekayaan. Sayang, bagi sebagian orang dari kita, perbedaan ini sulit diterima karena mungkin menyangkut kepentingan tertentu. Padahal, ketika Islam telah di-Ridhai Allah SWT sebagai agama dan ditetapkan pula bahwa setiap muslim adalah bersaudara, setiap perbedaan seharusnya melebur dalam satu substansi bahwa kita semua adalah hamba Allah yang hidup untuk menyembah kepada-Nya. Kita bergerak bersama-sama di jalan Allah.
Namun, banyak dari kita yang masih tidak dapat menerima perilaku yang kurang mengenakkan dari seorang kader karena kita tidak berusaha memahami bagaimana budaya yang membentuknya demikian. Mungkin dalam suatu kasus, kita tak dapat menerima perilaku kader yang keras, sok tahu, atau terlalu percaya diri dan berani, yang membuat kita tidak suka padanya. Perasaan tidak suka itu menumbuhkan streotipe pada diri kader. Padahal, yang mungkin penting adalah bagaimana kita pengkader membimbingnya agar dapat beradaptasi dengan budaya mayoritas tanpa membuat dirinya benar-benar kehilangan identitas, bukannya semakin mempermasalahkan masalah remeh soal ketidaknyamanan perilaku sehingga kita melupakan pentingnya persatuan dan kesatuan dalam tubuh organisasi.
Kebencian menuju Ketidakadilan
Pikiran negatif, seperti yang dikelaskan di atas, akan mempermudah kita berprasangka pada diri kader. Allah SWT memperingatkan kita dalam QS Al Hujurat: 12.
”Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangkan itu adalah dosa...”
Prasangka adalah persepsi negatif pada orang lain dan prasangka dapat menimbulkan sikap negatif pada orang itu sebagai wujud ketiadaan toleransi. Allah SWT kembali memperingatkan kita dalam QS Al Maidah: 8.
”... Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa...”
Adil tidak hanya berarti kuantitas yang diberikan sama, tetapi juga kualitas. Ketika dua orang sama-sama salah, jangan sampai pada orang yang kita sukai kita memarahinya ”baik-baik”, tetapi pada orang yang kita tidak suka, kita marah sesuka kita lantaran kebencian kita padanya. Niat ”ucapan tegas” kita bukan lagi untuk mengingatkan dan meluruskan dia, tetapi mungkin untuk membuatnya benar-benar jatuh, malu, meminta maaf, dan tahu diri.
Ketika kita marah, setanlah yang menguasai pikiran, hati, dan perilaku kita. Ketika kemarahan kita difasilitasi pula dengan kedudukan kita sebagai senior, sebagai orang yang ”berhak menasihati”, sebagai orang yang ”dihormati” dalam organisasi, semakin mungkin ucapan yang keluar semakin pedas dan menyakitkan. Ketika kita menganggap diri benar dan kita marah, kebenaran tidak akan digubris. Ketika marah, kepentingan berada jauh di depan masalah itu sendiri. Ketika kita marah, bahkan firman Allah dan hadist-hadist nabi yang selama ini kita pelajari seolah belum pernah diketahui. Marah benar-benar menutup mata hati.
Kader Juga Manusia: Punya Hati dan Harapan
Mahasuci Allah yang Maha Membolak-balikkan Hati. Kader adalah anugrah bagi sebuah organisasi, terutama organisasi yang bergerak demi dakwah di jalan-Nya. Tanpa kader, dakwah akan mati; tetapi dakwah tak akan mati karena para penerus perjuangan akan selalu ada, berapapun banyaknya.
Masalah besar yang dihadapi seluruh organisasi dakwah adalah kita kehabisan kader. Mungkin bukan habis dalam arti jumlah atau kuantitas (setiap lowongan dalam struktur syukur masih dapat terisi) walaupun mungkin ada pula yang memang miskin kader, tetapi habis dalam kualitas. Satu istilah yang akrab di telinga para pengkader tentunya: Seleksi Alam.
Dakwah memang berat, hanya segelintir orang yang bersedia dengan kesabaran dan keikhlasan berkecimpung di dalamnya. Jumlah kita sedikit, tetapi malaikat-malaikat Allah SWT akan selalu mengiringi perjuangan orang-orang yang beriman.
Seberapa banyak dari para pengkader yang sadar bahwa kader dakwah adalah manusia pilihan yang diseleksi oleh Allah? Allah-lah yang berhak menyeleksi dan memberi petunjuk pada kawan-kawan baru harapan kita, para kader, yang awalnya datang kepada kita dengan berbagai motivasi yang mungkin kata ”dakwah” tidak pernah ada di kamus hidup mereka. Mereka mungkin datang dengan motivasi ingin mendapatkan pengalaman organisasi, mendapat teman baru, mengembangkan potensi diri dalam berkreasi, bergabung karena ajakan teman, ingin belajar lebih banyak tentang Islam dan sebagainya. Mereka punya harapan, dan pengkader juga punya harapan. Kita sama-sama manusia. Jangan sangka hanya kita yang kecewa pada mereka ketika harapan kita tidak tercapai. Mereka juga punya rasa kecewa pada kita ketika harapan mereka tidak tercapai. Jangan sangka hanya kita yang merasa kader mulai menjauh. Mereka juga punya mata, telinga dan hati untuk merasa bahwa ada sebagian dari kita yang memandang mereka sebelah mata, kehangatan yang tidak sama pada setiap kader, kedekatan yang tidak sama, pemberian kesempatan terlibat yang tidak sama. Itu cukup menjatuhkan harga diri dan kepercayaan diri kader untuk tetap bertahan dalam organisasi.
Apakah mereka akan berteriak menyuarakan frustasi mereka? Kebanyakan tidak. Mungkin mereka akan menangis diam-diam atau kemudian mereka akan mundur teratur tidak mengaktifkan diri lagi dan di masa selanjutnya mereka bilang, ”Aku pergi.” Mereka mungkin belum merasakan indah dan beratnya dakwah yang sebenarnya, mereka sudah merasakan beratnya untuk ada bersama dengan kita.
Ketika kader kita pergi karena begitu banyak sebab, mungkin saat itulah kita menyadari bahwa jumlah pejuang dakwah kita begitu sedikit. Satu per satu terseleksi karena berbagai sebab. Mahasuci Allah yang Maha Membolak-balikkan Hati.
Ketika kader kita pergi, mungkinkah kita cenderung memaklumi, ”Oh, dia memang tidak ingin fokus di sini.” Ketika kita membentuk lagi kepengurusan, mungkin ada yang bilang, ”Si A tidak mau ikut lagi.” Lalu kita hanya bilang, ”Dakwah memang tidak bisa dipaksakan, menjalankannya juga tidak bisa dipaksakan.”
Ketika kader kita pergi, mungkinkah kita menganggap mereka pergi lebih karena alasan situasional? Pernahkah kita memikirkan bahwa alasan mereka pergi adalah kita? Kita takut mengakui bahwa kita berbuat salah pada orang ”di bawah kita”. Seberapa banyak permintaan maaf kita kepada mereka? Apakah hanya di Hari Idul Fitri? Di akhir kepengurusan?
Karena dakwah adalah bermanfaat. Karena dakwah bukan untuk dipaksakan...
Ketika kader kita pergi... Jangan sampai ada cerita pendek yang berjudul ”Perginya Kader Kami” kelak. (6-12-08/16:55).

Minggu, 07 Desember 2008

Be a Good Adventurer!!!


AKSI bukan sinonim dari demonstrasi yang biasa dilakukan mahasiswa. AKSI adalah singkatan dari Ajang Keakraban Psikologi, acara tahunan yang diselenggarakan oleh Sie. Kerohanian Islam Psikologi (SKRIPSI), Fak. Psikologi, Universitas Diponegoro. AKSI tahun ini dilaksanakan tanggal 29 dan 30 November 2008 di Tuntang (Kab. Semarang atau Salatiga, ya?) dan untuk pertama kalinya aku jadi panitia, yang sayangnya “tak jelas ada di mana”. Namun, ada baiknya ternyata. Pertama kalinya aku menjadi fasilitator untuk salah satu kelompok peserta. Ugh… jadi kakak akhirnya.

Aku termasuk orang yang betah duduk dalam ruangan dan mendengar ceramah atau presentasi materi. Berikut ini, aku mau cerita sedikit mengenai salah satu materi favoritku di hari pertama yang berjudul How to be a Good Adventurer.

Hidup adalah panggung sandiwara, sehingga pertanyaan yang tepat adalah How to be a Good Actor/ Actrees. Rasanya, menganggap hidup bagaikan petualangan adalah hanya milik orang-orang yang gila tantangan, bersemangat dan cinta perjuangan yang dengannya ia menemukan makna kehidupan yang dijalaninya. Apakah kita adalah petualang sejati?

Materi ini memang ditujukan kepada mahasiswa, sebagai salah satu jenis dari banyak jenis petualang di dunia. Beberapa tahun kuliah, sebenarnya kita sedang bertualang, lho. Hanya saja banyak yang tidak sadar. Banyak yang menyerah di tengah perjalanan. Andaikan kita hidup sebagai pelaut di tengah samudra, tentu tidak mau berhenti di tengah laut, kan? Apapun keadaannya, kita bertekad pulang ke darat.

Menyerah, operasionalnya adalah berkata, “Saya tidak bisa.” Petualang yang menyerah, cobalah cek kembali apa isi pikiran Anda. Karena pikiran adalah tempat semua informasi mengenai dunia disimpan. Petualang yang menyerah, cobalah cek kembali informasi apa saja yang Anda terima.

Pada hari itu, saya mendapat “rumus” bagus yang layak dibagi-bagi.

Jika aku mengubah pikiranku, maka aku akan mengubah keyakinanku.

Jika aku mengubah keyakinanku, maka aku akan mengubah harapanku.

Jika aku mengubah harapanku, maka aku akan mengubah sikapku.

Jika aku mengubah sikapku, maka aku akan mengubah tingkah lakuku.

Jika aku mengubah tingkah lakuku, maka aku akan mengubah kinerjaku.

Jika aku mengubah kinerjaku, maka aku akan mengubah nasibku.

Jika aku mengubah nasibku, maka aku akan mengubah hidupku.

Dunia sebagai fakta, objektifnya adalah sama bagi siapa saja. Yang menjadikannya berbeda adalah bagaimana kita memberi makna fakta tersebut dalam pikiran kita. Dalam psikologi, fungsi jiwa terdiri atas tiga bagian: kognitif (pikiran), afektif (perasaan), dan konatif (perilaku), yang ketiganya adalah satu sistem yang organismik, saling mempengaruhi satu sama lain.

Satu hal yang kita yakini di sini adalah bahwa manusia memiliki kemampuan untuk mengatur kehidupannya sendiri, memiliki mimpi yang ingin dicapai, dan sesungguhnya dapat ia capai. Inilah hal pertama yang dapat kita lakukan: mengubah cara pandang kita, pikiran-pikiran kita tentang suatu kejadian. Ketika berpikir akan menyerah (negatif), jangan biarkan diri tenggelam dalam pikiran negatif itu. Untuk beberapa hal, sesuatu dapat kita kendalikan, kendalikan pikiran kita untuk tetap berpikir positif: Aku bisa!

Pikiran kita akan mempengaruhi keyakinan-keyakinan diri. Keyakinan muncul karena suatu hal yang diulang-ulang dialami atau dipikirkan dan tertanam dalam diri. Yakin bahwa kita bisa akan mempengaruhi motivasi hidup menjalani hari dan menghadapi masa depan. Motivasi berperilaku muncul karena ada suatu kebutuhan yang ingin diraih dan artinya kita mengharapkan sesuatu.

Harapan menandakan adanya optimisme dalam hidup. Harapan ini akan mempengaruhi sikap kita terhadap suatu peristiwa. Apakah kita suka atau tidak suka, senang atau tidak senang, kita tertantang atau tidak tertantang. Ketika kita memiliki sikap positif, sikap akan menjadi awal sebelum terjadinya perilaku, yang meramalkan apa yang akan kita lakukan.

Sikap yang positif akan mempengaruhi efektifitas perilaku kita dalam upaya mencapai suatu tujuan. Efektifitas ini dapat dilihat dalam suatu kinerja: bagaimana kita memimpin diri, merencanakan dan mengatur setiap waktu untuk fokus pada apa yang ingin diraih. Jika sedikit demi sedikit akan menjadi bukit, maka perilaku-perilaku kecil kita yang positif dan efektif, yang dimulai sejak saat ini akan mempengaruhi pencapaian. Pencapaian adalah nasib yang kita rencanakan di masa lalu.

Kumpulan nasib, nasib, dan nasib, di mana saja, kapan saja, apapun yang terjadi adalah nasib. Nasib adalah kenyataan hidup. Karena itulah, nasib akan mempengaruhi hidup yang kita jalani, akhir seperti apa yang akan kita dapatkan.

Apakah Tuhan tak memiliki andil dalam rumus ini? Tentu saja, Tuhan bahkan memiliki andil yang sangat besar.

Ada satu nasihat yang sangat indah dari seorang sahabat…

Ketika kehidupan memberimu SERIBU alasan untuk ingin sesuatu, pahamilah bahwa Allah SWT Memiliki SEJUTA pengetahuan akan kebutuhanmu.

Tak semua hal yang kita inginkan tercapai, berapapun usaha yang kita lakukan untuk keinginan itu. Allah SWT-lah yang Maha Mengetahui kebutuhan setiap makhluk-Nya. Ketika hal yang tak diinginkan terjadi atau hal yang diinginkan tak kunjung terjadi, seharusnya tak ada hal yang dapat mencegah kita dari terus-menerus mencari hikmah dari setiap kejadian. Allah SWT Mahatahu, lalu kenapa kita berprasangka buruk kepada kehidupan atau bahkan kepada-Nya?

Awali hari ini dengan rasa syukur, nikmati setiap detik dengan istiqomah (tetap di jalan yang benar) dan akhiri kelelahan hari dengan senyum dan ikhlas.

Ketika orang lain meremehkan usaha kita, ketahuilah bahwa Allah SWT tidak menyia-nyiakan apa yang kita usahakan. Ketika orang lain tidak memberi penghargaan yang kita harapkan, cukupkanlah Allah SWT sebagai saksi dan tujuan hidup kita, karena ialah sebaik-baiknya Pemberi Balasan.

Apakah Anda masih mahasiswa K3? Kos, Kampus, Kantin? Berpikirlah bahwa kau dapat meraih lebih dari itu, teman…

Apakah Anda masih mahasiswa Nasakom(Nasib Satu Koma)? Berpikirlah bahwa kau juga dapat meraih prestasi yang lebih baik dan lebih baik lagi.

Ayo Mahasiswa, kita avant-garde perjuangan bangsa menuju masa depan bangsa yang bahagia!

Hidup bagaikan sandiwara, bolehlah… Sandiwara perjuangan meraih pulau impian tentunya. Badai pasti berlalu. (2-12-08/21:50).

Peran Psikologi Islami dalam Moralitas Pemimpin

Siapa yang tidak tahu bahwa bangsa kita sedang krisis kepemimpinan? Ya, kita semua tahu. Semuanya terlihat dari kehidupan rakyat yang masih morat-marit, kemiskinan di mana-mana, masalah, masalah dan masalah, tetapi kita cukup merangkumnya dalam dua kata: krisis multidimensi. Tidak hanya krisis keuangan, bahkan yang terjadi adalah krisis besar dalam perilaku manusia Indonesia atau dekadensi moral. Indonesia yang seperti ini, lihatlah bagaimana para pemimpin memimpin bangsa. Kita malah semakin geleng-geleng. Para pemimpin bahkan tak dapat memimpin diri mereka dengan memiliki moral yang terpuji.

Hal di ataslah yang menjadi pembahasan utama dalam Temu Ilmiah Nasional Psikologi Islami ke-III yang diadakan oleh Asosiasi Psikologi Islami (API) berkerjasama dengan Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, Universitas Islam Indonesia pada 22 – 23 November 2008 lalu, di Jogjakarta.

Temu Ilmiah tersebut mendatangkan tiga orang pembicara utama antara lain Prof. Dr. Achmad Mubarok, MA (dari UIN Syarif Hidayatullah), Dr. Soegiharto, SE., M.BA (Mantan Manteri Negara BUMN), dan Fuad Nashori,S.Psi, M.Si, Psikolog (Mantan Ketua Umum API). Makalah yang dibawakan mereka sangat menarik untuk dikritisi, tak heran di akhir acara banyak sekali yang mengajukan pertanyaan tentang apa yang mereka presentasikan. Temu ilmiah ini menarik banyak peminat, tidak hanya dosen psikologi, para pemakalah, tetapi juga ahli hukum dan orang dari perusahaan tertentu. Jelas, masalah kepemimpinan (bangsa) adalah masalah yang dibicarakan secara luas.

Dalam pembahasannya, Pak Achmad Mubarok mengemukakan bahwa pemimpin yang bermoral adalah pemimpin yang dibimbing oleh nurani politik. Dalam perspektif Psikologi Islami, perangkat kejiwaan manusia terdiri dari akal, hati (qalbu), nurani (mata hati), syahwat (penggerak tingkah laku), dan hawa nafsu (bersifat destruktif). Kelima hal tersebut dipimpin oleh hati. Maka, jika seseorang berhati baik, maka akhlaknya juga baik. Begitu pula jika hatinya busuk, akhlaknya juga busuk. Hati ini yang akan membimbing nurani.

Nurani politik dijelaskan sebagai keterpanggilan terhadap politik yang memiliki dimensi vertical, yaitu tanggung jawab sebagai khalifah Allah, untuk menegakkan keadilan dan menebarkan kasih sayang. Berbeda sekali dengan banyak politikus yang saat ini berambisi menjadi pemimpin. Yang mereka miliki hanya syahwat politik, atau bahkan hawa nafsu politik. Pemimpin dengan nurani politik tampil karena panggilan, bukan atas perhitungan untung-rugi menjadi pemimpin, bahkan rela menyerahkan kepemimpinan kepada orang lain yang lebih tepat.

Pak Soegiharto mengangkat topik Pengembangan Moralitas Pemimpin dengan meneladani Rasulullah Muhammad SAW dan para sahabat. Yang menarik dari pembahasannya adalah beliau menghubungkan karakter Nabi dan para sahabat dengan karakter pemimpin yang diteorikan oleh para ahli Barat dan semuanya dipenuhi oleh Rasulullah. Beliau mengingatkan agar kita tidak memilih pemimpin sembarangan, tetapi lihat dulu kemampuannya. Apakah dia amanahfathonah (cerdas), tabligh (berani) dan shiddiq (jujur)? Juga beliau menjelaskan konsep AVIRA (adaptive, visioner, innovative, responsible, actuation) yang berdasarkan pada IQ, SQ, dan EQ yang merupakan fondasi pemimpin sukses. (bertanggung jawab),

Yang terakhir, Pak Fuad Nashori mengemukakan konsep yang cukup debatable mengenai Kepemimpinan dan Pemaafan. Pemaafan adalah kemampuan menghapus luka-luka atau hutang emosi dalam hati karena perbuatan orang lain. Pemimpin adalah orang yang memiliki wewenang untuk menjatuhkan hukuman, tetapi mampu memaafkan adalah kemampuan lain yang tidak boleh hilang dalam diri seorang pemimpin. Jika pemimpin dipenuhi amarah, mungkin karena pihak oposisi yang menunjukkan perilaku berseberangan, maka yang dapat terjadi adalah perilaku-perilaku destruktif yang akan menyebabkan lebih banyak orang lagi yang menderita. Membalas perilaku buruk orang lain dengan perilaku yang setimpal adalah hak orang yang dizhalimi. Tetapi, memaafkan dan berbuat baik pada orang tersebut adalah perbuaatan yang mulia di sisi Allah. Pemaafan adalah salah satu moral pemimpin.

Topik tentang kepemimpinan tepat sekali diangkat, berhubungan sebentar lagi Indonesia akan mengadakan Pemilu. Pemimpin adalah memiliki peran yang penting bagi keberadaan suatu negara. Pemimpin yang buruk akan membawa negara pada keterpurukan, maka dari itu kritislah dalam memilih pemimpin.

“Friends, I (don’t) trust you all…”

Anda orang yang bersemangat. Anda memiliki need of achievement tinggi. Anda hidup dalam persaingan dan kedisiplinan. Anda dibesarkan dalam perjuangan meraih posisi yang tinggi di atas orang lain. Anda pun sadar bahwa berorientasi pada tujuan adalah salah satu ciri orang yang memiliki “masa depan”. Anda ingin semuanya berjalan sesuai rencana yang Anda buat. Semua yang “baik” ada dalam diri Anda. Anda begitu percaya diri. Ketika orang lain salut dan mengatakan bahwa Anda lah si nomor satu, dalam hati terbesit, “Ya, itulah hasil dari kerja keras saya.”

Namun, jangan lupa bahwa yang kita inginkan belum tentu terjadi. Juga, yang kita tidak inginkan, mungkin saja terjadi.

Melanjutkan bahasan tentang kelompok pada artikel sebelumnya mengenai social loafing, social loafing adalah penyakit yang menggerogoti efektivitas kelompok kita secara internal dan dengan cara kerja yang sangat mungkin untuk tidak disadari. Pada bahasan itu, kita menekankan pada sosok anggota kelompok dengan motivasi kerja rendah berdasarkan Collective Effort Model (CEM) karena beberapa hal, seperti: 1) tidak percaya bahwa kerja keras mereka akan menghasilkan kinerja lebih, 2) tidak percaya bahwa hasil kerja mereka akan diakui dan dihargai, dan 3) tidak merasa bahwa penghargaan yang mereka peroleh benar-benar berharga dan diinginkan. Orang yang demikian berpotensi memiliki social loafing tinggi, sehingga mereka mengalami pengurangan motivasi dan usaha ketika bekerja secara kolektif dalam kelompok. Mereka tampak bekerja keras, tetapi yang sebenarnya mereka mengeluarkan usaha yang lebih sedikit dan menggantungkan diri pada orang lain yang mereka anggap lebih berkompeten.

CEM hanyalah salah satu teori yang berusaha menjelaskan perilaku social loafing. Jika kita cermati, teori ini tampak mengatribusikan secara internal perilaku social loafing. Padahal, ada banyak hal yang mempengaruhi terbentuknya suatu perilaku, salah satunya adalah sebab eksternal. Akhirnya, teori ini mengarahkan kita pada bagaimana cara mengurangi social loafingsocial loafing akan paling lemah terjadi, salah satunya, adalah ketika kita memperkirakan teman sekerja kita bekerja buruk. yang tinggi dalam kelompok. CEM juga memperkirakan bahwa

Jika kita berpikir dengan sudut pandang yang bertolak belakang, mungkinkah social loafing akan paling tinggi terjadi ketika kita memperkirakan teman sekerja kita bekerja baik, bahkan sangat baik? Sangat baik sampai tidak mempedulikan rekannya? Secara teori, itu mungkin sekali.

Inilah susahnya menjadi orang yang terlalu “sempurna” seperti yang telah disebutkan di awal tulisan. Orang yang terlalu “bekerja keras”, terlalu, terlalu, terlalu, dan terlalu. Ia ingin berprestasi, juga mengetahui bahwa ia memiliki kemampuan lebih di atas rekan-rekannya. Karena ia lah orang yang (mungkin) akan menjadi sandaran dan tempat bergantung rekan-rekannya yang biasa-biasa saja serta sebagai perencana gerak kelompok untuk mencapai tujuan(nya). Maka, kemungkinan besar, ia yang akan menjadi pemimpin dalam kelompok itu. Menurut French dan Raven (dalam Sarlito, 1999), orang yang demikianlah yang akan menjadi pemimpin karena sifat-sifat pribadinya, yaitu memiliki kemampuan lebih dibandingkan orang lain.

Jika kita berpikir lebih jauh lagi, orang-orang dengan karakter seperti ini, yang memungkinkan memiliki social loafing yang sangat rendah, mungkin saja dapat menyebabkan kinerja kelompok sangat tidak efektif. Perpaduan antara orang yang sangat tinggi dan sangat rendah social loafing-nya akan menghancurkan kelompok. Maka, perpaduan antara orang yang sangat tinggi kemampuan dan sangat rendah kemampuan juga dapat menghancurkan kelompok. Kecuali jika satu hal terjadi.

Memiliki kemampuan lebih daripada orang lain bukan bencana bagi diri kita. Hanya, bagaimanakah kita menggunakan kemampuan itu untuk mencapai tujuan bersama sebagai kelompok. Perkiraan akan kinerja rekan yang buruk dan kesangsian kita atas mereka adalah wajar sebagai hal yang akan merendahkan tingkat social loafing kita sehingga motivasi kita untuk sedikit berkorban usaha yang lebih keras demi tercapainya tujuan. Namun, keharmonisan dalam kelompok hanya dapat terjadi jika kita dengan kemampuan kita mampu mempercayai teman kita dengan kemampuan personalnya sendiri.

Jika kita mampu mempercayai teman kita dengan segala kekurangan dan kemampuannya, maukah kita sedikit mengalah? Maukah kita memberi mereka kesempatan berkarya dan sedikit mengesampingkan kepentingan berambisi kita? Mahatma Gandhi berkata, “Jika Anda tidak memiliki karakter untuk kalah, orang-orang tidak akan menaruh kepercayaan pada Anda.

Kalah berarti tidak menang; tidak melebihi (orang lain). Memiliki karakter kalah adalah keterampilan sosial yang sulit dimiliki sebagian besar dari kita yang memiliki kemampuan lebih daripada orang lain. Mengapa? Karena kita sebagai manusia memiliki kebutuhan untuk menghargai diri dan dihargai oleh orang lain berdasarkan kemampuan yang dimiliki sebagai modal untuk mengaktualisasikan diri.

Abraham Maslow mengemukakan bahwa manusia berperilaku karena suatu kebutuhan yang dapat digambarkan secara hierarkis, yang kemudian dikenal sebagai teori hierarki kebutuhan. Kebutuhan akan self-esteem (menghargai diri dan dihargai orang lain) ada pada hierarki yang keempat sebagai kebutuhan karena kekurangan, sedangkan kebutuhan aktualisasi diri (menjadi seseorang yang seharusnya sesuai dengan potensinya) ada pada hierarki puncak sebagai kebutuhan berkembang.

Berdasarkan teori tersebut, ketika kita masih dihinggapi perasaan bangga diri dan kesombongan (menghargai diri terlalu tinggi) dalam mengaktualisasikan diri, sebenarnya kita belumlah sampai pada puncak prestasi. Ketika kita masih membutuhkan penghargaan orang lain, maka kita belum mampu mewujudkan (secara maksimal) potensi diri kita. Untuk mengalahkan kebutuhan akan self-esteem ini, yang kita butuhkan adalah keikhlasan memiliki karakter untuk kalah. Dengan cara inilah kita mampu menyelaraskan diri secara sosial di dalam kelompok.

Kemampuan menyelaraskan diri, mengasumsikan diri setara dengan orang lain, akan membuat suatu kelompok menjadi amat berbakat, produktif, dan sukses. Robert Sternberg (dalam Goleman, 2004) mengemukakan bahwa apabila orang bersatu untuk bekerja dalam suatu kelompok, masing-masing membawa bakatnya sendiri-sendiri. Sebuah kelompok “tidak mungkin” lebih cerdas daripada jumlah keseluruhan kelebihan individual ini, tetapi kelompok dapat lebih bodoh apa bila proses internal tidak memungkinkan orang untuk saling mengisi bakat-bakatnya. Hasil penelitiannya yang mengejutkan adalah orang yang terlampau berhasrat untuk ambil bagian justru menjadi penghambat kelompoknya, sehingga menurunkan kinerja kelompok secara keseluruhan; mereka yang amat bernafsu itu terlampau mengurusi ini itu atau menguasai. Orang yang demikian agaknya kurang memiliki kemampuan untuk mengenali apa yang pas dan apa yang tidak dalam hubungan saling memberi-dan-menerima.

Kemampuan kita bukanlah hambatan. Kemampuan kita yang lebih dari orang lain merupakan sumber bantuan yang sangat berharga, hanya dalam kelompok yang harmonis. Untuk mencapai kelompok yang harmonis, maukah kita sedikit merendah, menerima dan mempercayai rekan-rekan kita? Kemampuan orang lain yang kita sadari, cukup di dalam hati saja, lebih rendah daripada kita yakinlah bukan merupakan ancaman bagi tercapainya tujuan dan kesuksesan kita. Ketika yakin, ucapkanlah, “Friends, I trust you all.” (af/16-11-08/01.30)

Referensi:

Alwisol. 2007. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press.

Baron, Robert dan Donn Byrne. 2005. Psikologi Sosial Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Goleman, Daniel. 2004. Emotional Intelligence. Jakarta: Gramedia.

Sarwono, Sarlito. 1999. Psikologi Sosial: Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan. Jakarta: Balai Pustaka.