Laman

Selamat Datang...

Berbagi isi hati dan pemikiran...
Berbagi asa untuk mencapainya bersama untuk sebuah kemajuan...

Sabtu, 12 Desember 2009

Happy 1st Anniversary

Sejak terakhir kali blog ini di-update, yaitu pada September 2009, blog ini sudah hampir 3 bulan tidak saya update. Sedih sekali, rupanya saya sedang benar-benar stres karena tugas-tugas kuliah semester 5. Kadang kala ada ide yang tiba-tiba mampir, tetapi saking lelahnya ide-ide itu melayang. Semoga saja akan saya ingat kembali.

Di samping itu, sebenarnya saya sedang giat dengan blog lain yang baru bulan Oktober saya buat. Setiap minggu saya meng-update-nya, terutama karena blog tersebut tidak begitu berat untuk dikerjakan. Saya memilih untuk membuat blog baru yang berisi tulisan-tulisan dengan tema-tema yang ringan, yaitu berdasarkan kegemaran saya membaca dan menulis. Meng-update blog kali ini benar-benar seperti rekreasi. Namun, untuk pertama kalinya saya kehilangan ide di pertengahan Desember ini. Saya jadi teringat blog lama saya yang setia dan saya sadari, dia sudah berusia satu tahun.

Blog lama "Feeling Deeply is Good" mungkin menggambarkan usaha pertama saya untuk menjadi penulis amatir. Saya hanya fokus menulis, tidak peduli panjang pendek, menarik atau tidak, membingungkan atau sangat membingungkan... Ketika ada ide yang saya rasa bagus dan bisa dilanjutkan dengan bahan-bahan yang cukup, saya akan semangat menuliskannya. Namun, tentu saja banyak masalah yang kemudian membuntuti... Salah satunya, sudah satu tahun tetapi blog ini masih minim pembaca. Saya jadi merasa asal menulis... Arti dari semua ini adalah perbaikan itu perlu. Saya berusaha untuk ini.

Blog ini akan tetap berisi pengalaman-pengalaman kuliah dan hasil membaca dari buku-buku menarik. Saya belajar menulis berdasarkan suatu referensi, belajar untuk ilmiah dan tidak sekadar suatu subjektifitas atas fenomena. Rasanya ini akan menjadi suatu kegiatan mengeksplorasi literatur yang menyenangkan: Kau punya ide dan mengejar ide itu sampai mendapatkan jawaban yang memuaskan. Kali ini, blog "Feeling Deeply is Good" semoga menjadi lebih dinamis dan menarik. Semoga selalu merasakan segala hal dengan baik-baik...

Akhir kata...


HAPPY 1ST ANNIVERSARY



Selasa, 25 Agustus 2009

Islam dan Psikologi: Mata Rantai Sejarah yang Hilang

Pada awalnya, sebelum kita mempelajari lebih dalam psikologi di universitas, kita akan mengenal terlebih dahulu apakah psikologi itu. Psikologi yang kita kenal sekarang ini berangkat dari pengetahuan kita mengenai sejarah munculnya psikologi. Sekadar untuk kilas balik (bagi yang pernah mempelajarinya) dan memberikan preview (bagi yang baru akan mengenalnya), ada baiknya untuk diungkapkan sedikit mengenai sejarah “resmi” psikologi yang kita kenal.

Psikologi yang kita kenal biasa dikenal juga sebagai psikologi “Barat”. Kata “Barat” di sini mengacu pada kenyataan bahwa psikologi memang lahir di Barat, tepatnya di Leipzig, Jerman, pada Desember 1898. Pada tahun itu psikologi dinyatakan secara resmi “lahir” ketika dibuka laboratorium psikologi pertama di Universitas Leipzig. Mulai saat itu psikologi berkembang, dari yang pertama aliran strukturalisme sampai yang terakhir, transpersonal. Psikologi yang lahir di Jerman dibawa ke Amerika Serikat dan berkembang sangat pesat di sana.

Psikologi sebagai ilmu yang mempelajari perilaku manusia membawa perubahan besar bagi manusia. Aplikasi ilmu tersebut merambah setiap bidang kehidupan yang di dalamnya ada manusia: perusahaan, sekolah, keluarga, kepolisian, rumah sakit, pemerintahan, dan sebagainya. Semakin jauh psikologi berkembang dengan berbagai manfaatnya, ternyata semakin banyak pula kelemahannya yang disadari oleh ilmuwan psikologi. Kelemahannya yang utama, yang akan menjadi titik awal keberangkatan kita, adalah Cultural Bounds atau batas-batas budaya. Maksudnya di sini adalah psikologi sebagai ilmu yang lahir di Barat menghadapi suatu masalah ketika diterapkan di masyarakat lain, seperti masyarakat muslim. Ada perbedaan budaya antara Barat (yang mendasari lahirnya teori dan praktik psikologi Barat) dengan apa yang menjadi keyakinan masyarakat muslim. Maka, ada sebagian dalam psikologi Barat yang tidak tepat diterapkan untuk masyarakat muslim.

Hal itulah yang kemudian mendorong lahirnya Psikologi Islami (Islamic Psychology). Usaha tersebut dirintis oleh seorang psikolog Sudan, Dr. Malik B. Badri dengan bukunya yang terkenal “The Dilemma of Muslim Psychologist” yang terbit tahun 1975 dan 1979. Pada tahun 1978 telah diadakan simposium internasional di Riyadh yang mengangkat tema Psikologi dan Islam. Beliau mengajak kalangan akademisi psikologi yang pada waktu itu sangat terpengaruh oleh psikologi Barat untuk mengembangkan psikologi sesuai dengan nilai-nilai Islam yang ada dalam Quran dan Hadist. Bagi masyarakat muslim, tentulah psikologi yang berdasarkan nilai-nilai Islam-lah yang tepat bagi kebahagiaan dirinya. Psikologi Islami tampak menjadi ilmu yang asing di era modern ini. Ia seolah-olah baru saja muncul sebagai cabang psikologi yang baru, yaitu pada tahun 1978 itu (bandingkan dengan usia psikologi Barat).

Kalau kita melihat baik-baik sejarah di masa lalu, sesungguhnya psikologi sudah berusia berabad-abad. Kita bisa memulainya pada masa Yunani kuno dimana filsafat Yunani menjadi induk ilmu pengetahuan. Dalam sejarah psikologi yang kita kenal, perjalanan sejalah seolah melompat dari masa Yunani sampai abad 19 ketika psikologi “lahir”. Namun, sejarah dunia sesunggunya mengatakan bahwa filsafat Yunani kemudian dipelajari oleh para ilmuwan muslim pada abad 8 sampai 15. Masa antara abad 8 – 15 disebut juga sebagai abad pertengahan adalah masa keemasan peradaban Islam. Pada waktu itu ilmu pengetahuan berkembang pesat di tangan ilmuwan muslim, tidak hanya ilmu-ilmu eksak, seperti astronomi, fisika, kimia, dan kedokteran, tetapi juga ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi dan, tentu saja, psikologi! Itulah mengapa kita katakan ada mata rantai sejarah yang hilang yang seharusnya diketahui para mahasiswa psikologi muslim.

Psikologi pada masa itu tidak dikenal sebagai psikologi, tetapi ilmu tentang jiwa atau dalam bahasa Arab-nya Ilm-al Nafsiat. Ilmuwan muslim mengembangkan psikologi berdasarkan nilai-nilai Islam yang ada dalam Quran dan Hadist. Psikologi adalah ilmu yang beretika, artinya ia memperlakukan manusia sebaik-baiknya sesuai fitrah dan keimanannya kepada Allah.

Etika dalam psikologi islami terdapat pada Quran Surat An Nisa ayat 5, yaitu: Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang Dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. Kita (psikolog) diperintahkan untuk berperilaku humanis pada manusia, terutama bagi mereka yang mengalami gangguan mental. Hal inilah yang mendorong didirikannya rumah sakit jiwa pertama di dunia pada abad ke-8 (di Baghdad pada tahun 705, di Fespada awal abad ke-8, di Kairo pada tahun 800, dan di Damaskus and Aleppo (Syria) pada tahun 1270).

Para ilmuwan muslim pada masa lalu telah banyak melakukan studi psikologis. Studi tersebut antara lain mengenai intelektual, “tabula rasa” dan nature-nurture, ekperimen psikologi, psikologi sufi, teori-teori berpikir, kesehatan mental, psikoterapi, gangguan fisik dan psikis, nosologi (ilmu mengenai pengklasifikasian penyakit), psikopatologi, neurosurgery, neuropsikiatri, neurologi, psikologi hewan, dan musikologi. Kita akan mengenal berbagai nama ilmuwan muslim, seperti Abu Bakr Muhammad Ibn Sirin (654 – 728), Al Kindi (801 – 873), Abu Zayd Ahmed ibn Sahl al-Balkhi (850-934), Najab ud-din Unhammad (870-925), Al Farabi (872 – 951), Ibnu Sina (980 – 1037), Al Ghazali (1058 – 1111), Al Farabi (872 – 950) dan Ibnu Khaldun (1332 – 1406). Ada banyak lagi ilmuwan muslim juga karya-karyanya yang melimpah. Peran pemikiran mereka sangat besar bagi psikologi di era modern ini, tetapi tentu saja, sebagian besar dari mereka tidak dikenal lagi.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk membuat kita bernostalgia pada masa keemasan Islam, tetapi lebih pada menyemangati bahwa kita, mahasiswa muslim dapat menjadi psikolog muslim tanpa meninggalkan Islam, dengan Quran dan Hadist-nya. Masa lalu membuktikan bahwa ilmu pengetahuan dapat berjalan bersama dengan agama dan melahirkan peradaban Islam yang megah. Bagi masyarakat muslim, baginya, tentu, lebih baik psikologi yang dapat memahami fitrahnya sebagai manusia dan agamanya, yaitu Psikologi Islami. Di tangan kita lah, kalangan akademisi, Psikologi Islami dapat berkembang di masa ini dan bermanfaat bagi umat..

Referensi:

http://en.wikipedia.com/wiki/Psychology_in_medieval_islam


Senin, 24 Agustus 2009

Tawakal, Tawakal, Tawakal

Jika Allah Menolong kamu, maka tak ada orang yang dapat mengalahkanmu; jika Allah Membiarkan kamu (tidak Memberi Pertolongan), maka siapa gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal.

QS Ali Imran: 160

Kita hidup dengan berjuta keinginan dan harapan. Pada kenyataannya, setiap keinginan dan harapan kita akan berhadapan dengan dua kemungkinan, yaitu tercapai atau tidak. Pada kenyataannya pula, setiap orang dalam kenghadapi kenyataannya akan memiliki dua pilihan reaksi, yaitu bersyukur atau merasa sial.

Berhasil atau tidaknya kita memang tergantung pada banyak hal. Seperti yang banyak kita baca di buku-buku mengenai keberhasilan dan kegagalan, penjelasan mengapa kita berhasil atau gagal ada pada dua faktor, yaitu faktor eksternal dan internal. Tidak perlu panjang lebar, faktor eksternal berkaitan dengan hal-hal yang ada di luar diri kita seperti pengaruh lingkungan fisik dan sosial budaya, sedangkan faktor internal berkaitan dengan hal-hal yang ada di dalam diri kita seperti kecerdasan, bakat, dan kemampuan individual kita. Disadari atau tidak, kita sering melupakan satu faktor penting yang sesungguhnya ada jauh di atas semua faktor tersebut. Pert

anyaannya, di manakah kita tempatkan Allah dalam setiap perjalanan hidup, keberhasilan dan kegagalan yang kita alami?

Kebanyakan manusia menjalani hidup dengan suatu “hukum” yang melekat dalam kepalanya: kemampuan (bakat, kecerdasan, dan sebagainya) diri berbanding lurus dengan keberhasilan. “Hukum” lain yang mungkin pula ia yakini adalah sebab dan akibat dalam kehidupan. Itulah mengapa orang menggunakan logika berpikir orang pintar nilainya bagus, anak berbakat akan menjadi orang sukses, orang yang memiliki kecerdasan ini dan itu yang baik akan berhasil. “Hukum” seperti itu tidak salah sebagai upaya manu

sia menjelaskan fenomena kehidupan yang ia hadapi. Namun, keyakinan seperti itu, sekalipun benar, juga memiliki kesalahan. Kita menjadi terlalu berpegang pada logika manusia dan melupakan bahwa Tuhan punya cara-Nya sendiri atas makhluk-makhluk-Nya.

Orang yang termakan “logika manusia atas keberhasilan” dapat kita lihat sebagai orang yang mati-matian menggenjot potensi dirinya. Pelajar yang ingin pintar akan belajar mati-matian. Kita lihat sebagian keluarga yang menyekolahkan dan mengkursuskan anaknya macam-macam untuk mengasah berbagai bakat. Pedagang yang ingin meraih keuntungan materi akan memanfaat seribu cara yang bisa ditemukan oleh otaknya yang cerdas. Politikus yang ingin berpengaruh akan memanfaatkan kecerdasan apa saja yang ia miliki untuk melakukan manuver-manuver politik di hadapan lawan-lawan politiknya. Merekalah yang ketika berhasil cenderung berpuas pada diri mereka sendiri, lupa bersyukur, dan lupa diri bahwa Allah-lah yang menganugrahkan nikmat tersebut seperti yang dapat kita baca pada QS Al Fajr: 15 – 16:

Adapun manusia apabila Tuhan-nya Mengujinya lalu Dimuliakan-Nya dan Diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata, “Tuhan-ku telah Memuliakanku.” Adapun bila Tuhan-nya Mengujinya lalu Membatasi Rezekinya, maka dia berkata, “Tuhan-ku Menghinakanku.”


Pada akhir yang tidak kita inginkan, ada orang yang terlalu termakan “syarat-syarat keberhasilan” tanpa memahami makna keberhasilannya. Merekalah orang yang menjadi puas akan suatu simbol, lambang atau atribut kuantitatif. Merekalah yang berpikir keberhasilan dapat dibeli. Ketika mereka gagal padahal telah melakukan begitu banyak hal, bisa dibayangkan apa yang akan mereka alami. Mereka bisa mengalami kekecewaan berat.Merekalah yang berpikir kesuksesan (kekayaan, dan sebagainya) adalah kemuliaan sedangkan kegagalan (kemiskinan, dan sebagainya) adalah kehinaan padahal semuanya kembali pada Allah yang Menguji manusia.

Ada sebuah cerita menarik mengenai urgensi tawakal kepada Allah yang bisa kita ambil pelajaran1. Seorang guru bercakap-cakap dengan muridnya yang akan mengikuti pendidikan kemiliteran. Si murid mengeluhkan bahwa matanya rabun, sehingga ia khawatir tidak akan lulus pemeriksaan dokter. Melihat muridnya yang bersedih, guru tersebut menasihatkan, “Tawakallah kepada Allah. Insya Allah kamu berhasil!” tegas beliau.

“Bagaimana saya akan berhasil, sedang salah satu mata saya pandangannya terganggut?” tanya si murid.

“Maka dari itulah, saya katakan bertawakallah kepada Allah… karena jika pandangan matamu sehat, pastilah kamu akan bertawakal kepada matamu.”

Si murid tersentak mendengar nasihat gurunya. Akhirnya ia memutuskan menjalani pemeriksaan dokter dengan tawakal kepada Allah. Ia menjalani tes tersebut dengan penuh percaya diri dan optimis dan lulus pemeriksaan.

Pada kesempatan dimana ia mengikuti uji coba perang, teman-temannya mengkhawatirkan ia tak akan berhasil karena matanya rabun. Ia sempat khawatir akan gagal, tetapi kemudian ia teringat nasihat gurunya sehingga keraguannya hilang sedikit demi sedikit menjadi keyakinan penuh terhadap Allah. Tidak disangka, ia menjadi penembak terbaik.

Semua orang heran dan terkejut mendengar kenyataan yang dialami si murid. Si murid menyadari bahwa keberhasilan yang demikian tidak perlu menimbulkan keheranan jika setiap orang mengetahui hakikat kebenaran tawakal kepada Allah.

Pernahkah kita mengalami kerterkejutan yang seperti ini, ketika kita menyangsikan keberhasilan orang lain karena ia tidak memiliki “syarat-syarat” berhasil menurut pandangan manusia? Banyak sekali peristiwa seperti itu terjadi, seperti seseorang yang selamat dari bencana padahal menurut teori manusia dia tidak mungkin selamat atau orang yang lemah, tetapi memiliki kekuatan yang luar biasa. Di tangan Allah-lah pertolongan yang tak disangka-sangka datang dan itu tergantung pada sejauh mana kita beriman dan berserah diri kepada-Nya.

Tawakal kepada Allah adalah penolong dalam banyak kejadian dan peristiwa dalam kehidupan orang-orang yang beriman kepada-Nya. Tawakal kepada Allah adalah teman di kala kesulitan menghadang, ia menumbuhkan kepercayaan dan kekhusyukan, mengilhami diri dengan harapan, ketenangan, kesabaran, dan keteguhan. Hakikat tawakal adalah mengerahkan segala daya dan upaya sesuai kemampuan manusia dengan menyerahkan urusannya setelah itu kepada Allah, Dzat Yang Maha Mengatur2.

Ketika kita memahami betapa pentingnya tawakal dalam hidup kita, hanya kepada Allah-lah kita berlindung. Kita tidak lagi menggantungkan hidup pada kecerdasan otak, bakat, kelebihan materi, pertemanan dan hubungan sosial, pengaruh keluarga, sekolah yang terbaik, dan begitu banyak faktor lainnya. Semua faktor itu berperan dalam setiap usaha atau ikhtiar kita. Dengan tawakal, kita menyadari batasan diri kita bahwa kita adalah makhluk yang sangat lemah di hadapan Allah dan kemudian menyerahkan akhirnya pada ketentuan Allah. Apapun yang terjadi, semuanya atas izin dan hanya karena Allah, apakah itu kegagalan atau keberhasilan.

Apakah kita bisa membayangkan bagaimanakah perasaan orang yang bertawakal kepada Allah? Pedagang yang tawakal adalah pedagang yang tidak bersedih ketika barang dagangannya hilang. Kita juga bisa membayangkan ketika kita bisa tidak bersedih ketika mengetahui nilai ujian kita jelek. Baik buruk apa yang kita dapatkan, itulah ketentuan Allah. Melalui apa yang terjadi kita mengambil pelajaran dari setiap ujian hidup, baik yang menyenangkan maupun tidak dan terus menjalani hidup dengan penuh semangat dan pikiran yang positif.

1 Lihat Asisi, Abbas. 2006. Biografi Dakwah Hasan Al Banna. Bandung: Syamil, h.24 – 25

2 Ibid h.25

Jumat, 07 Agustus 2009

Puasa Batin di Bulan Ramadhan

Kita semua merasakan bahwa Ramadhan selalu menjadi bulan yang berbeda dengan bulan-bulan yang lain. “Lebih mudah” beribadah pada bulan Ramadhan dibandingkan pada bulan-bulan lainnya. Tidak ada suasana yang lebih religius dimana Islam dikumandangkan di mana-mana selain di bulan Ramadhan. Tidakkah disadari ada pergerakan umat yang luar biasa? Umat Islam bersama-sama bangun di malam hari, stasiun televisi menyiarkan banyak acara keagamaan, masjid dan musola disemarakkan dengan bacaan Quran dan orang-orang yang salat, orang bersedekah di mana-mana dengan jumlah yang luar biasa, kegiatan-kegiatan amal digalakkan, majilis-majilis dzikir diadakan, keluarga-keluarga yang bekerja sama menyiapkan hidangan berbuka, orang menjadi murah hati kepada sesama, dan kesimpulanku, itulah Islam. Tidak ada bulan yang seperti itu selain Ramadhan.


Apakah Ramadhan menimbulkan semangat keagamaan tertentu? Pahala-pahala dilipatgandakan, dosa-dosa diampuni, pintu surga dibuka, sedang setan-setan dibelenggu. Ramadhan adalah bulan yang dipenuhi curahan rahmat dan ampunan, itulah yang memotivasi kita beribadah jauh lebih. Ramadhan menjadi bulan dimana diri kita dididik secara fisik dan psikis untuk menjadi insan yang menjalankan Islam dengan sebaik-baiknya. Dari situlah muncul pengembangan diri sebagai seorang muslim. Inilah yang sesungguhnya ingin kita capai.


Idealnya, pengalaman Ramadhan akan mewarnai kehidupan kita di sebelas bulan berikutnya. Idealnya, karena kita seakan-akan kembali seperti “bayi yang baru lahir”, kita akan menjadi insan yang lebih baik. Tapi kenyataannya, apakah kita benar-benar mengembangkan diri kita selama Ramadhan?


Rasulullah SAW pernah bersabda, “Banyak sekali orang yang berpuasa itu, tetapi tidak ada yang diperolehnya dari puasanya itu kecuali hanya lapar dan haus saja (yakni pahalanya lenyap sama sekali),” (HR Nasa’i dan Ibn Majah).


Kegagalan kita mengembangkan diri bisa jadi dikarenakan kita melalaikan bahwa puasa itu bukan hanya ibadah fisik, tetapi juga ibadah batin.


Al Ghazali dalam Ihya ‘Ulumuddin-nya menjelaskan tiga tingkatan orang berpuasa. Pembagian tingkatan ini dapat menjadi bahan renungan bagi diri kita.




  1. Puasa orang umum, orang yang berpuasa dengan cara menahan nafsu makan, minum, seks, dan kewajiban-kewajiban lahiriahnya.



  2. Puasa orang khusus, orang yang berpuasa fisiknya, ditambah pula dengan menahan pendengaran, penglihatan, lidah, kaki, tangan, dan anggota badan lain dari perbuatan dosa.



  3. Puasa orang khususnya khusus, orang yang selain berpuasa fisik dan menjaga diri dari perbuatan dosa, juga berpuasa hatinya, yaitu menahan diri dari pikiran-pikiran yang rendah, pemikiran keduniawian, dan menahan dirinya dari segala sesuatu yang untuk selain Allah secara keseluruhannya.




Banyak dari kita yang berhasil memenuhi syarat lahiriah saja, tetapi tidak untuk syarat batin. Bahkan, tidak banyak pula yang tahu syarat batin itu apa saja. Selanjutnya, Al Ghazali juga mengemukakan enam syarat batin berpuasa.


Pertama, memejamkan mata dan menahan dari leluasanya pandangan pada sesuatu yang tercela dan dibenci atau pada sesuatu yang menyebabkan kelalaian hati serta melengahkan diri untuk berdzikir kepada Allah. Maka, kita perlu hati-hati terhadap tayangan-tayangan di televisi, misalnya terhadap sinetron-sinetron yang tidak baik itu atau mencegah diri dari melihat hal-hal yang tidak baik.


Kedua, menjaga lidah dari senda gurau yang tidak berguna, berdusta, mengumpat, mengadu domba, berkata kotor, mencaci maki, bermusuhan dengan orang lain atau pamer kebaikan yang dilakukan. Maka, selama Ramadhan kita perlu menjaga obrolan yang kita lakukan dengan teman atau siapa pun, menjauhi hal-hal yang tidak berguna bisa dengan memperbanyak dzikir atau membaca Quran.


Ketiga, menahan pendengaran dari mendengar segala sesuatu yang dibenci, yang haram diucapkan dan haram didengarkan. Maka, selama Ramadhan kita perlu hati-hati pada tontonan yang kita tonton, musik yang kita dengarkan, perkataan buruk yang bisa kita dengarkan, dan sebagainya.


Keempat, menahan anggota tubuh dari segala perbuatan dosa. Tidak mencuri, memukul, menyiksa hewan, mengganggu orang lain, membuang sampah sembarangan, dan sebagainya.


Kelima, tidak terlalu banyak makan ketika berbuka. Puasa, dimana kita seharian menahan makan dan minum, tentu menambah nafsu makan kita ketika berbuka, tetapi inilah ujian kesabaran kita untuk tidak makan berlebihan (jenis maupun jumlah). Allah tidak menyukai orang yang perutnya terlalu kenyang, sekalipun ia memakan makanan yang halal. Perut yang terlalu kenyang biasa membuat kita malas beraktivitas dan beribadah.


Keenam, hendaknya setelah berbuka, di dalam hati masih ada perasaan antara takut dan berharap mengenai diterimanya amalan sepanjang hari kita atau tidak oleh Allah. Kita tidak tahu apakah puasa kita seharian disukai Allah atau tidak. Perasaan ini membuat kita lebih berhati-hati menjalani puasa di hari selanjutnya.




Pengembangan diri membutuhkan latihan menghadapi tantangan dan ujian dalam hidup. Puasa di bulan Ramadhan tidak hanya merupakan ibadah ritual, tetapi merupakan sarana mengembangkan diri bagi setiap muslim. Banyak yang berpikiran puasa adalah penderitaan hidup, tetapi sesungguhnya, banyak sekali manfaat yang dapat kita peroleh. Dari “penderitaan” puasa kita belajar memahami penderitaan saudara-saudara kita yang lapar, kita menjadi hidup bersyukur dan bersabar, membangun kontrol diri dan kehati-hatian, hidup berbuat baik terhadap orang lain, dan masih banyak lagi. Ayo, semangat menjalani Ramadhan tahun ini!




Referensi:


Mu’izatul Mukminin, ringkasan dari Ihya ‘Ulumuddin Al Ghazali.

Sabtu, 01 Agustus 2009

Seorang Muslim dan Hidup Merencanakan





Menjadi seorang muslim memiliki keistimewaan. Hidupnya tidak hanya dihadapkan pada tanggung jawab dunia, tetapi juga tanggung jawab akhirat. Hidupnya tidak hanya dihadapkan pada perencanaan hidup di dunia, tetapi juga perencanaan akhirat. Uniknya, apa yang ia rencanakan di dunia menentukan apa yang terjadi di akhirat nanti.


Konsep mengenai perencanaan hidup antara seorang muslim dan yang bukan tentunya berbeda. Kita sebagai seorang muslim tidak menjadikan dunia sebagai tujuan utama hidup, tetapi sarana untuk mencapai tujuan utama, yaitu akhirat. Berbeda dengan mereka yang meyakini lain, seperti mereka hanya memfokuskan diri pada pencapaian duniawi, mereka dapat dengan mudah kita lihat sebagai mereka yang tenggelam dalam pekerjaan, kesenangan, dan pergaulan yang, mungkin saja, bebas nilai. Seorang muslim menyusun lebih dari sekadar perencanaan hidup. Perencanaan hidupnya adalah perencanaan terbaik yang bisa ia susun untuk mencapai baik kehidupan dunia maupun akhirat.


Orang yang merencanakan hidupnya, ialah perekayasa masa depan kehidupannya. Seperti yang dikatakan oleh Leonard Duhl: “Para perencana, semuanya adalah pembawa perubahan dan setiap pembawa perubahan adalah perencana.”


Bagi kita, terutama mahasiswa yang mengaku dan merasa dirinya adalah agen perubahan alias “agent of change”, semestinya lah kita termasuk orang yang merencanakan masa depan. Juga bagi kita, muslim, tentunya kita adalah pembawa perubahan karena Islam mengajarkan kita untuk senantiasa menyususun suatu rencana hidup, bagi kebaikan di dunia dan di akhirat. Kalau digabungkan, kita mahasiswa juga seorang muslim, maka kitalah agen perubahan bagi dunia. Nah, tinggal bagaimana kita merencanakan hidup itu.


Ada baiknya kita mencermati apa yang dikatakan Ziauddin Sardar dalam bukunya Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim (1991).



“Orang-orang muslim akan selalu mencari keridhaan Allah, dan karenanya hasilnya tidak boleh dipandang sebagai hasil sementara: yang jadi persoalan adalah bagaimana mempertahankan jalan hidup islami yang diridhai Allah dan bagaimana merumuskan rencana-rencana untuk memberikan dorongan pada gaya hidup ini. Karena kita tidak dapat menghentikan kehidupan kita tidak dapat menghentikan kehidupan kita sendiri, maka kita pun tidak boleh berhenti membuat rencana. Kita akan terus membuat rencana untuk mencapai “cita-cita kehidupan akhirat”, suatu cita-cita yang memberi arah untuk dituju. Jadi, kita membuat rencana untuk mencapai “keselarasan” yang tak putus-putusnya dan bukan satu tujuan akhir.”



Bagaimana selama ini kita merancang masa depan kita? Apakah yang menjadi pertimbangan kita dalam merancangnya?


Kebanyakan dari kita akan mempertimbangkan kesuksesan ada pada prioritas pertama. Sejauh manakah kita mempertimbangkan tentang keridhaan Allah yang kita harapkan? Atau jangan-jangan malah tidak terpikirkan sama sekali…


Hidup seorang muslim tidak akan berarti kecuali ia melaksanakan sesuatu yang diridhai oleh Allah. Itu berarti Allah menyukai apa yang kita lakukan. Banyak sekali hal yang kita pilih, tetapi hal-hal tersebut ternyata merugikan, kita sadari atau tidak. Maka dari itu, perlu kita sandarkan perencanaan hidup kita pada apa yang menjadi pedoman hidup yang telah diridhai Allah, yaitu Islam.


Suatu perencanaan tidak pernah lepas dari strategi-strategi untuk mencapai tujuan. Strategi ini terdiri atas cara-cara yang lebih sederhana untuk menjalankan strategi tersebut. Cara-cara yang sederhana tersebut terlihat dari bagaimana kita menjalankan kehidupan sehari-hari dengan kata lain, adalah gaya hidup kita. Seberapa jauh gaya hidup kita sebagai seorang muslim mampu mendukung pencapaian-pencapaian kita di dunia dan di akhirat? Kitalah yang merasakannya sendiri.


Tidak salah. Tujuan dan perencanaan hidup kita lebih dari satu. Ada banyak tujuan dan perencanaan hidup, yang kecil maupun yang besar. Tidak salah bahwa lebih mudah menetapkan tujuan kecil sebelum memutuskan tujuan besar. Dari tujuan dan perencanaan sederhana, kita belajar memiliki tujuan dan rencana yang besar. Namun, hal yang kecil-kecil tersebut bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, ia adalah bagian dari pencapaian besar kita. Jadi, jangan diremehkan.


Apakah hal yang kecil itu? Boleh dikatakan, itulah gaya hidup kita yang terdiri atas perilaku-perilaku kita sehari-hari. Perencanaan tak lepas dari perencanaan perilaku pula. Kembali pada bahwa perilaku kita ditentukan oleh apa yang kita pikirkan dan rasakan, bagaimana kita merencanakan agar kita memiliki pikiran dan perasaan yang baik, yang akan mewarnai perilaku-perilaku kita?


Perencanaan sungguh-sungguh merupakan suatu keselarasan yang tidak ada putusnya. Selama waktu masih berjalan dan dunia masih memiliki dinamikanya, perubahan akan terus terjadi, tak ada yang salah dengan perencanaan yang kita buat sekalipun kita tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Enggan merencanakan? Itulah orang yang sungguh akan gagal.



"Hidup bermakna adalah suatu pencapaian yang mendaki serta sulit."

Jumat, 17 Juli 2009

Memaknai Persahabatan Bag. 2

Hikmah dari Sebuah Pepatah

Dari buku ”Hikmah dalam Humor, Kisah, dan Pepatah” karya A. Aziz Salim Basyarahil (Gema Insani Press, 1999), saya mendapatkan sebuah kata-kata mutiara yang terus saya ingat sampai sekarang.

Keluarga membutuhkan kasih sayang, tetapi kasih sayang tidak membutuhkan kasih sayang.

Sama halnya dalam persahabatan...

Persahabatan memang membutuhkan kasih sayang, tetapi kasih sayang tidak membutuhkan persahabatan.

Untuk kualitas perasaan dan perilaku yang satu ini memang tidak membutuhkan determinan apa-apa untuk hadir dalam kehidupan. Seperti Tuhan yang tidak pilih kasih antara makhluk-Nya yang durhaka maupun yang taat, semua makhluk mendapatkan curahan kasih sayang-Nya. Demikian pula kita terapkan dalam konteks ”persahabatan” atau lebih sederhananya lagi, apakah kasih sayang membutuhkan ”saya-tahu-orang-itu” terlebih dahulu?

Tidak ada yang tidak tahu bahwa semua manusia bersaudara karena berasal dari orangtua yang sama, yaitu Adam dan Hawa. Saudara kita bermilyar-milyar manusia sampai hari ini, kita hanya satu di antara angka yang sangat besar itu, dan orang-orang yang kita kenal tidak sampai seberapa persennya. Maka, menyedihkan sekali kehidupan orang-orang yang kesepian atau yang mati-matian membangun suatu persahabatan dengan hanya segelintir orang. Menyedihkan pula orang yang hidupnya membatasi diri dengan dinding kamarnya, atau dinding rumahnya, atau pagar halaman rumahnya. Menyedihkan pula orang yang hidupnya membatasi diri hanya pada orang-orang yang ia kenal. Karena lebih banyak kebaikan yang kita peroleh dengan berhubungan dengan banyak orang, sekalipun kita tidak mengenalnya.

Ada suatu cerita menarik ketika dua orang teman berjalan bersama di suatu jalan. Mereka berpapasan dengan orang lain sepanjang perjalanan itu. Teman yang satu tersenyum pada orang-orang yang mereka berpapasan dengannya dan ini menimbulkan keheranan pada teman yang lain. ”Kenapa senyum sama orang itu? ’Kan nggak kenal.”

Tahu tidak, ketika seseorang tidak mau tahu orang lain ada di dunia yang sama dengannya, kita tidak akan mendapatkan tatapan matanya pada kita sekalipun kita ada di hadapannya. Pernahkah mengalami pengalaman berjalan di suatu jalan di mana orang-orang yang berpapasan dengan kita berjalan cepat-cepat, berjalan menatap tanah, berjalan menatap lurus ke depan, berjalan sambil mendengarkan musik di HP atau mp3 player atau berjalan sambil bercanda dengan temannya sendiri? Orang-orang yang seperti inilah yang menutup diri pada kebaikan orang lain yang berniat tersenyum atau menyapa pada mereka. Individualisme ini tumbuh lewat perilaku-perilaku yang seperti ini karena lama-lama kita bisa belajar tidak menyadari keberadaan orang lain sehingga kita menjadi orang yang mudah mengabaikan orang lain.

Atau mungkin pernah mengalami pengalaman begini. Pada suatu hari kita berjalan di suatu jalan dan berpapasan dengan orang yang ia tersenyum pada kita. Kita tidak bereaksi apa-apa kecuali keheranan dalam hati, ”Ngapain orang itu senyum sama aku?” Orang yang tidak pecaya dan mudah curiga pada orang lain bisa saja langsung berpikiran buruk, ”Apa penampilanku aneh atau lucu?”

Salah tidak jika kita mengatakan bahwa orang tersebut sudah mengalami individualisme akut? Seandainya di dunia ini tidak ada himbauan bersedekah atau kewajiban berzakat... Bisa jadi setiap kebaikan yang orang lain berikan kepada kita kita tafsirkan sebagai sesuatu yang mencurigakan. Sama halnya pada orang-orang yang jarang menerima kebaikan hati dan kasih sayang dari orang lain, dia bisa belajar mencurigai kebaikan hati dan kasih sayang yang orang lain berikan kepadanya.

Pernah menonton reality show yang isinya menguji altruisme atau perilaku monolong seseorang? Ada satu kisah yang membuat saya sedih ketika seorang ibu-ibu pemulung menolong seorang anak dan sebagai imbalan atas pertolongannya ia mendapatkan uang kaget beberapa ratus ribu rupiah. Anehnya, ibu itu mati-matian menolak uang tersebut. Alasannya, ia takut di balik pemberian uang tersebut ada apa-apanya.

Bagaimana kita menyikapi kasih sayang yang ditolak ini sekalipun penerimanya sungguh membutuhkan kasih sayang dan uluran tangan dari orang lain?

Tidakkah terpikirkan oleh kita bahwa mereka yang menolak itu adalah orang-orang yang tidak terbiasa menerima pemberian karena tidak ada yang memberi mereka atau terbiasa mereka menerima pemberian yang jumlahnya sedikit? Sekalipun kita adalah orang mampu, jika kita adalah orang yang tidak terbiasa menerima kasih sayang orang lain, kita bisa menjadi pencuriga setiap kebaikan.

Karena tidak terbiasa baik menerima maupun memberi, kita tidak belajar membedakan mana pemberian yang benar-benar tulus dan mana yang pura-pura. Karena tidak membiasakan diri dalam kasih sayang, kita tidak dapat merasakan rasa bahagia ketika memberi dan menerima sesuatu.

Itulah mengapa kasih sayang tidak memerlukan keluarga atau sahabat. Karena sumber kasih sayang tidak hanya berasal dari keluarga atau sahabat atau orang-orang yang kita kenal. Kasih sayang sebagai salah satu sifat Tuhan yang ia berikan pada setiap hati manusia. Kasih sayang tidak mengenal siapa yang memberi dan siapa yang menerima. Kalau kita mau membuka diri dan menyadari kehadiran orang lain, banyak kasih sayang yang akan kita dapatkan dari orang-orang yang tidak kita kenal.

Yuk, menyuburkan kasih sayang di antara manusia! Lewat kasih sayang, persahabatan tidaklah menjadi sesuatu yang sulit untuk didapatkan.

Memaknai Persahabatan Bag. 1

Yuk, Menjalin Persahabatan!

Siapa orang di dunia ini yang tidak membutuhkan sahabat? Sekalipun sahabat tidak melakukan apa-apa bagi kita, melihat wajahnya saja kita sudah senang, bukan? Tahu tidak? Memiliki sahabat setidaknya membuatnya kita sehat secara mental. Itu kesimpulan saya karena suatu hari saya menyadari sesuatu: hanya di depan sahabatlah kita dapat bertingkah laku konyol tanpa harus menjaga image. Ha...

Ide tulisan ini sebenarnya adalah salah satu pertanyaan essai di ujian akhir semester mata kuliah kesehatan mental. Pertanyaan itu tentang bagaimana intimasi bisa dibangun dalam hubungan interpersonal. Secara umum, jawaban saya 90% ngarang, tetapi saya tidak melupakan tiga kerangka pentingnya. Mengapa kita bisa punya sahabat kental? Karena: 1) saling terbuka, 2) kesesuaian pribadi, dan 3) saling menolong.

Orang yang kesepian akan mencari teman. Orang yang sudah memiliki teman ingin menemukan sahabat.

Lebih dari sekadar teman, manusia membutuhkan kedekatan yang lebih lagi sampai pada akhirnya ia menemukan orang yang menjadi tempat baginya untuk membagi hal-hal terdalam yang ia miliki, seperti rahasia, masalah pribadi, kebiasaan, hal-hal konyol yang tidak ingin diketahui umum, nilai ujian yang super buruk, dan masih banyak lagi. Kesialan kita bisa jadi bahan lelucon yang tidak membuat kita sakit hati. Kita saling menyindir tanpa saling bermusuhan, tetapi lagi-lagi itu menjadi lelucon bersama. Kontak fisik yang pada hubungan biasa tampak mengganggu menjadi tidak lagi. Kita bisa memeluk dan menepuk punggung sahabat kita, menepuk-nepuk kepalanya, bahkan, untuk main-main, menjitaknya. Kita bergandengan tangan, mengirim banyak sms yang tidak penting hanya untuk cerita apa yang terjadi hari ini, mengucapkan kata-kata yang kurang sopan atau bermanja ria, meminjam barang-barang miliknya dengan mudah, meminta bantuannya dengan mudah, atau meminta makanan yang dimakannya tanpa basa basi. Sekalipun secara fisik terpisah jauh, antara dua sahabat masih memiliki ikatan emosional. Bagi dua sahabat yang membangun komitmen, jarak bukanlah hambatan bahkan penyemangat untuk terus menjaga hubungan.

Tapi... Untuk mendapatkan sosok sahabat seperti itu...

Sejauh mana kita mau membuka diri, saling mengenal dan bersedia membantu untuk orang-orang yang kita temui?

Bersedia membuka diri adalah tanda bahwa kita mempercayai orang lain. Bersedia membuka diri adalah pintu gerbang mendapatkan sahabat. Masih ingat, kan, saat-saat pertama kali masuk SMA atau kuliah? Membuka diri yang paling mudah adalah dengan tersenyum sambil mengucapkan nama, lalu asal, saudara ada berapa, hobi apa, dan, ”Oh, hobi kita sama!”, lalu pembicaraan berubah pada apa yang menjadi kesukaan bersama.

Saat berada di tempat yang asing, bukankah satu saja orang yang kita kenal adalah penyelamat kita di kala kita membutuhkan sesuatu? Meminta ditemani ke toilet, menemui guru atau dosen, selanjutnya kita akan lebih suka jika duduk di dekatnya. Jika sialnya kita beda kelompok dengan dia, kita kembali menjalankan ritual tersenyum, menanyakan nama, asal, keluarga dan sebagainya.

Dari pembukaan diri informasi tentang diri kita mengalir dan lagi-lagi kepercayaanlah yang membuat pembukaan diri kita tidak garing. Pasti kita pernah bertemu orang yang kita ajak bicara jawabannya hanya ya dan tidak, jawaban yang singkat-singkat saja, atau hanya menjawab dan tidak ada pertanyaan balasan. Mana tahan! Itu artinya ia belum percaya pada kita sehingga ia tidak siap memberikan informasi tentang dirinya.

Semakin kita membuka diri, kita akan saling mengenal dan mengetahui apa persamaan dan perbedaan di antara kita. Ketika kita sama, untunglah, itu adalah penguat hubungan, tetapi jika berbeda... Ada hal yang mulai tidak nyaman dirasakan, terutama jika perbedaan semakin runcing, banyak, dan tidak dapat dengan mudah disamakan, seperti perbedaan tabiat karena kita anak pertama sedangkan dia anak bungsu. Ada saat-saat dimana kita akan berkonflik.

Bagaimana cara menyikapi konflik dengan baik? Mungkin yang pertama bisa kita lakukan adalah menyadari bahwa kita punya andil dan bukan hanya salah dia kita berkonflik. Jadi, meminta maaflah. Bukankah sejak SD kita sudah diajari bagaimana bertoleransi? Perbedaan itu perlu diterima, salah satunya sebagai pengisi lubang-lubang kehidupan kita. Mungkin saja kita punya teman yang super cerdas sedangkan kita hanya biasa saja, maka dia adalah sumber dukungan kita untuk belajar. Jika dia pendiam sedangkan kita orang yang ramai, dia adalah tempat yang baik untuk curhat, sedangkan kita adalah orang yang baik sebagai penghibur hati.

Yang terakhir penting dalam menjalin hubungan adalah kesediaan untuk saling memberikan kebaikan hati, sekalipun itu adalah pertolongan yang sederhana. Menemani ke toilet, menemani makan siang, memberikan air minum, meminjamkan pena atau buku catatan dan fotokopian, meminjamkan buku bacaan, memberikan pujian dan penghargaan, memberikan senyuman, dan menjadi orang yang menyenangkan adalah kebaikan hati sederhana tapi penting.

Apakah persahabatan membutuhkan syarat?

Ada orang yang menjadikan orang lain sebagai syarat bagi kehidupannya. Ia akan memberi jika orang lain juga memberikan hal yang sama bagi dirinya. Seakan-akan persahabatan membutuhkan bukti empiris, ada orang yang mati-matian mengikat persahabatannya dengan berbagai atribut materi, seperti harus mengenakan atribut yang sama, memiliki tanda persahabatan berupa cincin atau kalung yang sama, mengikat janji sehidup semati, dan banyak hal lainnya.

Persahabatan yang menimbulkan ketergantungan adalah persahabatan yang tidak sehat. Persahabatan yang dibungkus adanya manipulasi juga tidak sehat. Persahabatan yang membuat kita tidak mampu berdikari adalah tidak sehat. Persahabatan yang membatasi minat dan kebebasan bertindak, serta mengancam keselamatan diri malah sangat tidak sehat. Karena salah satu aspek penting persahabatan adalah adanya optimalisasi diri kita sebagai manusia untuk terus berkembang dan memperbaiki diri. Karena persahabatan yang kita miliki tidaklah kekal dan hidup hanya berlangsung sekali, carilah sahabat-sahabat yang baik dengan cara yang sebaik-baiknya, tidak hanya untuk di dunia ini, tetapi juga di akhirat sana.

Karena pada hari akhir nanti...

“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” QS Az Zukhruf: 67.

“Dan tidakada seorang teman akrab pun menanyakan temannya,” QS Al Ma’aarij: 10.

“Maka tiada seorang temanpun baginya pada hari ini di sini.” QS Al Haaqqah: 35

“Maka sesungguhnya untuk orang-orang yang zalim ada bagian (siksa) seperti bagian teman-teman mereka (dahulu); maka janganlah mereka meminta kepada-Ku menyegerakannya.” QS Adz Dzaariyaat: 59.

Senin, 29 Juni 2009

Indahnya Hidup dalam Komunitasmu


Sejauh mana kita menghargai di mana kita berada?

Tulisan berikut ini adalah kenang-kenangan dari kelas terakhir Psikologi Komunitas yang saya ikuti semester ini. Apa yang dikatakan dosen saya membekas dengan cara yang unik.

Perdebatan hari itu cukup menarik. Kelas terakhir Psikologi Komunitas memang agak kacau dalam ruang yang sempit. AC yang menyala tidak mendinginkan ruangan, sementara kipas angin yang ada di atas kami berputar dengan bunyi yang menakutkan. Fokus kami adalah menyelesaikan diskusi tiga kelompok, dan saya ada di salah satu kelompok itu. Yang paling seru adalah ketika kami membahas tentang motif-motif mengapa seseorang memberi. Kesimpulanku di akhir kuliah: Allah Mahakaya. Benar bukan? Ketika kita melakukan ”perniagaan” dengan Allah, kita tidak akan pernah merugi. Allah akan membalas berlipat-lipat kali keikhlasan dalam pemberian kita. Ketika kita menolong agama Allah, Allah-lah yang akan menolong kita dengan malaikat-malaikat-Nya.

Mengutamakan ”perniagaan” dengan Allah mungkin akan membuat kita mengorbankan kepentingan-kepentingan duniawi kita. Ketika kita berpikir lebih jauh tentang akhirat kita, tampaknya, kita benar-benar harus memegang teguh prinsip: tidak menjual diri, tidak menjual agama. Tidak menjual diri dan agama demi keuntungan duniawi semata. Tampak berat, tetapi sangat pantas untuk diperjuangkan bagi seorang muslim.

Apa hubungannya dengan ”hidup dalam komunitas”?

Mudahnya, kita mengartikan komunitas sebagai sekelompok orang yang hidup dan saling berinteraksi dalam suatu daerah tertentu. Batasan yang rigid, batasan wilayah, tampak tidak tempat lagi bagi kita yang hidup di mana dunia seoah-olah tanpa batas ruang dan waktu ini lagi. Yang mungkin sama sepanjang waktu adalah kesamaan itu sendiri. Apa yang membuat kita sama dan kita menyadarinya bersama akan hak dan kewajiban kita di dalamnya, itulah komunitas.

Bila kita menggunakannya untuk memaknai apakah komunitas muslim itu, maka apakah masih relevan jika kita membatasi siapa diri kita sebagai muslim Indonesia, Malaysia, Amerika atau muslim dari Timur Tengah? Keuniversalan pengakuan tiada tuhan selain Allah dan Muhammad rasul-Nya adalah pengikat kita sepanjang masa tanpa ada batas ruang dan waktu. Karena sepanjang masa pengakuan itu tidak akan pernah berubah.

Sejauh mana kita menghargai di mana kita berada?

Sepanjang kita mempelajari bahwa manusia adalah baik makhluk individual maupun makhluk sosial, sering sekali kita mendapatkan pengetahuan tentang hanya seputar pemenuhan kebutuhan. Manusia memiliki kebutuhan yang tidak bisa ia penuhi sendirian, dia butuh manusia yang lain. Kemudian, kita akan mudah mengasosiasikannya dengan kebutuhan materi duniawi di mana sebagai manusia, kita harus bekerja sama. Kemudian juga kita semakin memahami kebutuhan sosial psikologis duniawi di mana kita sebagai manusia juga harus saling memberi dan karena itulah kita menerima.

Nah, bagaimana dengan kebutuhan akhirat kita? Bukankah itu juga kebutuhan?

Apakah keagamaan seseorang adalah benar-benar urusan pribadi orang itu? Prinsip sekuler yang banyak dianut manusia zaman ini, sekalipun ia memiliki agama, benar-benar menjadi bumerang bagi diri manusia itu sendiri. Prinsip itu mengingkari hukum perilaku yang dirumuskan sendiri oleh para pemikir psikologi zaman ini. Ketika kita meyakini dunia tempat tinggal kita sebagai suatu sistem raksasa, bukankah sesederhana apapun perilaku beragama kita akan mempengaruhi sistem tersebut. Bukankah perilaku kurang terpuji kita yang kita bela-bela sebagai hak kita sebagai individu akan mempengaruhi juga sistem di mana kita berada?

Karena itulah sebagai muslim, kehidupan adalah sesuatu yang terpadu di mana agama adalah penopang hidup komunitas atau masyarakat yang lebih besar. Selebihnya pula, cahaya Islam tidak hanya bagi penganutnya, tetapi juga mereka yang tidak meyakini Islam. Islam adalah rahmat bagi seluruh alam.

Ketika kita benar-benar menyadari pentingnya kebutuhan akhirat bahkan lebih besar daripada kebutuhan dunia, komunitas di mana kita berada adalah kekuatan yang besar bagi diri kita untuk memenuhi kebutuhan itu. Tetapi kekuatan itu tidak lepas dari sejauh mana kita memahami apa peran kita, apa kewajiban dan hak kita dalam komunitas sebagai muslim.

Dari sinilah kita berbagi beberapa ayat Al Quran yang mungkin dapat menentramkan hati kita bersama.

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS Al Imran (3) ayat 110)

Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (QS Al Balad (90) ayat 12). Dan dia termasuk orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang (ayat 17).

Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nesihati-menasihati sepaya menetapi kesabaran (QS Al ”Ashr (103) ayat 2 dan 3).

Demikianlah yang seharusnya kita lakukan dalam komunitas, terutama komunitas muslim kita. Beriman kepada Allah ternyata tidak cukup hanya beriman dan mengerjakan amal saleh bagi diri sendiri, tetapi kita juga hendaknya mau menyuruh kepada yang makruf (benar) dan mencegah dari yang munkar (salah), mau saling menasihat-menasihati untuk bersabar, berkasih sayang dan menaati kebenaran. Untuk tidak menukar dunia dengan akhirat, untuk tidak menjual diri dan menjual agama, kita sangat membutuhkan dukungan dari manusia yang lain. Ada kalanya kita khilaf, tetapi siapa yang akan menolong kita kecuali saudara-saudara kita, yang karena izin Allah, menyadarkan kita lewat nasihat-nasihatnya?

Sejauh mana kita menghargai di mana kita berada? Di mana kita berada bersama saudara-saudara kita sesama muslim, yang juga mengakui syahadat yang sama? Apakah kita sama halnya orang-orang yang melewati suatu jalan tanpa bertegur sapa ”satu kata” saja, yang memandang orang lain sebagai ”orang lain”? Jika begitu, sungguh kita sudah tenggelam dalam lumpur individualitas (juga sekuler, mungkin) yang menjijikkan.

Doa kita bersama, Ya Allah, kuatkanlah hati saudara-saudara kita yang berada jauh dari saudara-saudara muslimnya. Baik yang jauh karena jarak, maupun jauh karena sesuatu di dalam hatinya...

Kamis, 04 Juni 2009

Tentang Sebuah Cita-Cita


Kita adalah Penguasa bagi Diri Kita Sendiri
 Ada kalanya kita harus menulikan telinga kita terhadap orang-orang yang berbisik-bisik di pojok ruangan atau di belakang kita. Benar, kita harus menulikan telinga kita demi cita-cita kita yang dipermasalahkan oleh orang lain. Kita harus menulikan telinga kita atas apa yang orang katakan sebagai realita. Realita itu bagi mereka dan tidak bagi kita. Bagi kita realita bukanlah hal yang sama sepanjang waktu. Realita akan berganti. Setelah gelap akan terbit terang, setelah sulit akan menjadi mudah. Realita akan berubah dengan usaha oleh tangan kita. Karena kita adalah raja dalam kehidupan kita sendiri, bukan orang yang berbisik-bisik itu...
 Salah satu lagu favorit saya adalah “Queen of Hollywood”-nya The Corrs. Lirik favorit saya ini:
She drove a long way through the night
From an urban neighborhood
She left her mother in a fight
For a dream misunderstood
And her friends they talk on corners
They could never comprehend
...
But there was always something different
In the way she held a stare
...
She's never gonna be like the one before
She read it in her stars that there's something more
No matter what it takes, no matter how she breaks
She'll be the Queen of Hollywood
...
And the cynics they will wonder
What's the difference with this dream
And the dreams of countless others
...
She'll be the Queen of Hollywood
She's believing in a dream
...
She'll be the Queen of Hollywood
No she's never gonna be like the one before
She read it in her stars that there's something more
No matter what it takes and even though she breaks
She'll be the Queen of Hollywood
She's the Queen of Hollywood...
Queen of Hollywood, and
Her friends still talk On Corners


 Apa makna menjadi seorang raja atau ratu selain keduanya adalah orang yang memiliki kekuasaan yang besar? Jika kita adalah raja atau ratu dalam kehidupan kita sendiri, maka kita berkuasa untuk mengendalikan hidup kita, mengarahkan ke mana diri kita akan melangkah, dan juga kita bertanggung jawab atas setiap keputusan kita. Ketika kita sudah memutuskan apa yang akan kita raih, kita berkuasa penuh atas segala keputusan untuk mencapai keinginan itu. Apakah kita masih membiarkan diri kita dipengaruhi omongan orang yang menyangsikan impian-impian kita? Inilah saatnya kita bangga pada diri kita. Tidak banyak orang yang sudah menetapkan bagaimanakah dirinya di masa depan nanti dan berusaha mencapainya.

Menjadi Bahagia adalah Pilihan
 Kegagalan adalah kemungkinan yang lain di samping suatu keberhasilan. Kegagalan pernah dialami semua orang. Beberapa kegagalan kita rasakan sebagai ringan, biasa saja atau bahkan sangat berat. Karena kegagalan, beberapa orang dapat meraih keberhasilan, beberapa orang yang lain tidak dan terpuruk karenanya. Tetapi, mengapa bisa terjadi perbedaan yang demikian? 
  Jawabannya adalah persepsi kita atas kegagalan tersebut, bagaimana kita memaknai kegagalan tersebut, apa yang kita pikirkan tentang kegagalan itu. Apakah kita memikirkan kegagalan sebagai suatu musibah, indikator diri tidak berguna atau indikator diri tidak pantas mendapatkan apa yang diinginkan? Atau kita memikirkan kegagalan sebagai tantangan untuk menaklukan kelemahan diri, kegagalan adalah sumber kebijaksanaan, dan kegagalan adalah sarana kita lebih mengenali kekurangan diri? 
 Berpikir, positif maupun negatif, terhadap kegagalan, kesulitan dan tuntutan-tuntutan hidup adalah pilihan. Itulah yang terjadi pada orang-orang yang berhasil sukses. Mereka mempersepsikan positif hal-hal negatif sebagai ujian pengembangan diri, mereka mengendalikan pikiran mereka dan tidak membiarkan diri mereka dikuasai oleh pengalaman negatif. Pikiran positif akan menumbuhkan perasaan positif dan selanjutnya akan membantu kita untuk berpikir jernih menentukan langkah selanjutnya. 
 Jika orang lain memandang kita gagal, apakah kita juga harus memandang diri kita gagal? Kenapa kita tidak bangga pada diri kita sendiri yang sekalipun dianggap gagal kita tidak menyerah? Walaupun kita menyadari bahwa kita memang gagal, kenapa kita tidak bangga pada diri kita yang telah berusaha? Pemikiran positif yang demikian akan memudahkan kita untuk introspeksi diri dan menemukan celah-celah yang mungkin kita lewatkan ketika kita berusaha. 
 Sering, evaluasi terhadap diri kita yang kita terima dari orang lain menjadi racun jika kita tidak membentengi diri dengan pikiran dan perasaan yang positif terhadap diri.

Sukses Adalah Tidak Menyerah
 Jangan meneladani orang yang sukses, tetapi pada mereka yang tidak menyerah. Kalau kita meneladani orang yang sukses, kita hanya akan menemui orang-orang yang sudah mencapai puncak dan itu bisa membuat kita rendah diri. Teladanilah hidup orang-orang yang tidak menyerah, karena sebagian dari mereka yang tidak menyerah adalah orang yang hidup sulit, yang nasibnya lebih tidak menyenangkan daripada kita. Itu akan menimbulkan perasaan syukur dan motivasi untuk hidup lebih baik.
  Ketika kita membaca riwayat hidup penemu lampu pijar Thomas A. Edison, apa yang membuat kita kagum padanya? Hasil karyanya atau usahanya yang gagal sebanyak ribuan kali sebelum akhirnya ia behasil? Sukses itu tidak dilihat dari apa yang kita hasilkan, tetapi dari perjalanan usaha kita. Kisah hidup itu tidak terletak pada epilog, tetapi pada awal yang memotivasi berjalannya cerita dan bagaimana cerita itu berjalan. Dari perjalanan itulah hikmah kita dapatkan.
Jika Kita Benar-Benar Adalah Si Cebol yang Merindukan Bulan?
 Apa yang akan terjadi jika kita benar-benar ditakdirkan tidak dapat mencapai apa yang kita cita-citakan?
 Inilah yang dikhawatirkan oleh semua orang yang memiliki mimpi besar maupun kecil. Banyak hal yang bisa membuat kita tidak dapat mencapai impian, salah satunya dan juga yang paling tidak dapat dihindari adalah kematian di usia muda oleh para pemuda yang punya cita-cita besar.
 Apakah teman-teman pembaca menganggap mereka yang mati lebih dulu dari kita sedangkan impian mereka masih jauh untuk dicapai adalah orang gagal?
 Jawabannya, mereka sama sekali tidak gagal dan tidak pernah gagal.
 Allah SWT berfirman dan firman-Nya ini sangat menggetarkan hati saya sebagai penulis tulisan ini:
 Wahai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat, sesungguhnya Allah Beserta orang-orang yang sabar. Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di Jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya. Dan sesungguhnya akan Kami Berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, ”Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.” Quran Surat Al Baqarah ayat 153 – 156.
 Mereka yang mati berjihad untuk mencapai cita-citanya, tidak kita sadari tetap hidup. Mereka hidup sebagai kenangan yang menginspirasi kita untuk berjihad seperti mereka dalam mencapai cita-cita kita sendiri. Mereka belum sukses dalam pandangan duniawi kita, tetapi ketidakmenyerahan mereka dan selalu bersabar atas ujian dan kesulitan hidup yang diberikan kepada mereka adalah sukses tersendiri bagi kita yang bisa menyadari urgensi hidup mereka. 
 Cita-cita memang hanyalah konsep yang ada dalam pikiran, idealisme-idealisme yang hanya ada dalam kepala mereka yang bermimpi. Tetapi, kekuatan dari cita-cita termanifestasikan dalam setiap perilaku. Perilaku sepanjang hidup mereka itulah yang kita lihat secara nyata sekalipun kita tidak tahu apa yang ada dalam pikiran mereka. 
 Jadi, apakah pandangan kita semua tentang apa itu sukses (mencapai hasil) sudah berubah?
1. Tidak melihat sukses dari hasil atau seberapa banyak penghargaan yang sudah seseorang dapatkan, tetapi lihatlah betapa mereka tidak menyerah. 
2. Tidak kecewa pada mereka yang kita harapkan ketika mereka belum ditakdirkan berhasil karena mereka yang tidak menyerah tidak merasa kecewa kecuali sebentar saja untuk kemudian berusaha lagi.
3. Orang yang tidak menyerah akan hidup sepanjang zaman walaupun mereka telah mati, di hati orang-orang yang mengenang mereka dan terinspirasi.
4. Orang yang sukses adalah orang yang juga dapat menyukseskan orang lain, sekalipun ia sudah mati.
5. Tidak mengolok-olok mereka yang bekerja keras atau meremehkan mereka yang memiliki mimpi. Suatu hari mereka akan membalas perbuatan kita dengan membuat kita salut kepada mereka.

 Karena kita adalah penguasa bagi hidup kita sendiri, sukseslah dengan cita-cita kita! Jika cita-cita kita cukup berharga, sekalipun kita tidak dapat mewujudkannya dengan tangan kita sendiri, orang lain akan mewarisi cita-cita untuk dan mewujudkannya untuk kita.
 

Pernikahan


 Hal pertama yang saya pelajari dalam kuliah psikologi keluarga adalah dalam menikah, pikirkanlah nasib orang banyak. Satu kalimat yang saya catat waktu itu adalah, ”Pernikahan bagaikan kertas-kertas yang direkatkan”. Pernikahan itu lebih dari dua kertas, kertas istri dan kertas suami, tetapi lebih dari dua orang itu. Ada orang-orang lain yang melekatkan diri kepada kehidupan pasangan yang menikah. Ada anak, mertua, kakek, nenek, semuanya yang kemudian saya katakan sebagai keluarga besar umat manusia.
 Semua orang setuju, penikahan adalah sebuah kontrak. Sama halnya seperti pacaran, ketika seseorang berkata, ”I love you” kepada kekasihnya. Mereka sudah membuat satu kontrak. Tetapi, mengapa pernikahan dikatakan sebagai kontrak yang suci? Apa yang membuat berbeda? Jawaban yang saya dapatkan membuat hati luar biasa sedih mengingat kenyataan hari ini bahwa sebagian orang di dunia sudah menganggap pernikahan bukan apa-apa lagi. Kalau begini kenyataannya, seratus tahun ke depan saya membayangkan dunia yang miskin kemanusiaan.
 Berbagai riset membuktikan bahwa pernikahan semakin tidak memberikan kepuasan hidup, pada orang-orang tertentu. Sayangnya, orang-orang tertentu menjadi mayoritas di seluruh dunia. Setiap hari siapa yang tidak dengar artis ini bercerai atau kawin lagi? Siapa yang tidak dengar bahwa kekerasan dalam rumah tangga terjadi di mana-mana? Siapa yang tidak dengar suami menyakiti istri, ibu menyakiti anak dan anak menyakiti kedua orangtuanya? Siapa yang tidak dengar masalah keuangan begitu mendominasi percekcokan dalam keluarga? Siapa yang tidak dengar semakin banyak pasangan yang melakukan kohabitasi? Pemuda bangga ketika ia memiliki kekasih, tetapi ia tidak menginginkan pernikahan. Ketika kemudian terjadi kehamilan di luar pernikahan dan dilakukan aborsi, sungguh mengerikan ketika saya mengingat ayat Al Quran yang demikian, walaupun mungkin tidak sama konteksnya, tetapi mereka sama dalam hal tidak diinginkannya.
 ... apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah ia dibunuh... (QS At Takwir 81 ayat 8 dan 9)
 Atau mungkin ketika anak itu dipertahankan, apa jadinya ia hidup di dunia menanggung beban sebagai anak berorangtua tak lengkap dan tak bahagia?
 Siapa yang bertanggung jawab?
 Apa pentingnya kita tahu bahwa keluarga adalah awal dari segala sesuatu dalam hidup kita? Kita tidak akan mendapatkan makna berkeluarga jika kita tidak menyadari bahwa kita sebagai individu memiliki ikatan sosial yang kuat bahwa diri kita memiliki tanggung jawab sebagai penentu gerak zaman dan masa depannya. Perkawinan hanyalah perjanjian yang tercatat dalam surat nikah dan dapat dilihat dari cincin di jari manis kita, tetapi hak dan tanggung jawab yang timbul dari perjanjian itulah yang penting bagi kesejahteraan umat manusia. Apakah kita masih berpikir pernikahan adalah janji suci tanpa memahai maknanya yang sebenarnya?
 Inilah yang kemudian membedakan antara menikah dan pacaran, antara menikah ”klasik” dengan pernikahan ”modern”: kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai istri, suami, ibu dan ayah.
 Konsep mengenai pembaruan pernikahan mencuat di abad ini. Pertanyaannya adalah, perlu pembaruan seperti apakah pernikahan yang telah dilakukan dari zaman ke zaman? Pernikahan ”klasik” sebagai perjanjian eksklusif dua orang pria dan wanita untuk hidup bersama semakin diragukan dan dianggap sebagai sumber ketidakpuasan hidup. Kemudian muncul solusi-solusi pernikahan masa depan, terutama di dunia barat, seperti open marriage, temporary marriage, trial marriage, homosexsual marriage dan cohabitation. Pernikahan-pernikahan tersebut sangat tidak sesuai dengan apa yang Islam ajarkan.
 Apakah kita akan terjebak dalam pencarian kepuasan hidup yang semu dengan mengubah hukum yang ditetapkan Tuhan tentang pernikahan, bahwa:
 Dia-lah yang Menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka, setelah dicampurinya, istrinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami istri) bermohon kepada Allah, Tuhan-nya seraya berkata, ”Sesungguhnya jika Engkau Memberi kami anak yang sempurna, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur.” (QS Al A’raf 7 ayat 189).
 Menikah adalah mengenai bersyukur bahwa kita diberikan jodoh yang baik, keturunan yang baik, penghidupan yang baik dengan kelancaran rezeki dari Allah. Ketika kepuasan pernikahan tidak didapatkan, siapa yang salah kecuali kita manusia yang bermain tidak sesuai dengan aturan hak dan kewajiban kita sebagai manusia?
 Kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya yang membimbing langkah kita dalam menjalani pernikahan. Permasalahan dan percekcokan pasti terjadi, tetapiketika itu terjadi, bukankah kita akan mengingat Allah dan berusaha untuk memperbaiki hubungan lagi dengan itikad yang baik? Itulah mengapa perceraian dihalalkan, tetapi menjadi hal yang paling dibenci Tuhan. Perceraian adalah solusi terakhir percekcokan dalam keluarga dan sebagai solusi terakhir, Tuhan ingin kita berusaha mendamaikan kedua pasangan yang bercekcok dengan usaha apapun sampai pada titik dimana rujuk tidak mungkin lagi. Tuhan ingin kita dan setiap pasangan di dunia untuk kembali menata hati ketika berseteru, kembali mengingat bahwa hidup kita bagaikan kertas-kertas yang saling menempel. Ketika satu lembar kertas meminta diri untuk lepas, tidak ada yang terjadi kecuali kertas yang lain ikut koyak. Kembali mengingat bahwa hidup tidak untuk kebahagiaan prbadi, tetapi juga kebahagiaan orang lain dan kebahagiaan orang lain di masa-masa sesudah kita. Akankah kita menghancurkan ikatan suci ini karena keegoisan kita?
 Ketika kepuasan belum didapatkan, lihat kembali ke dalam diri. Mungkin diri inilah yang salah..

Manajemen Kekecewaan



 Kecewa adalah salah satu bentuk stres yang sangat sering kita alami. Sepanjang manusia memiliki kebutuhan, ia akan memiliki keinginan, dan sepanjang ia memiliki keinginan, ia akan kecewa. 
 Kebutuhan adalah mutlak dimiliki oleh setiap manusia. Kebutuhan menjadi sumber motivasi utama mengapa manusia berperilaku. Apa yang manusia lakukan, pasti ada motif di baliknya dan ketika kita membicarakan motif tersebut, maka itulah kebutuhanyang ingin ia penuhi. Sebagai contoh, seseorang yang bekerja, mengapa ia bekerja didorong oleh motif ingin mendapatkan uang yang dengan uang itu ia akan memnuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Contoh yang lain, seorang mahasiswa , mengapa ia kuliah didorong oleh motif agar mudah mendapatkan pekerjaan yang dibalik itu ada kebutuhan untuk memperoleh penghargaan diri. Masih banyak contoh lagi yang bisa kita pikirkan sendiri. 
 Pemenuhan kebutuhan membutuhkan daya dan upaya. Asumsi yang kita miliki adalah semakin besar daya dan upaya yang kita miliki, maka semakin besar kemungkinan kebutuhan kita penuhi. Pada bagian inilah kebanyakan manusia terbentur masalah pemenuhan kebutuhan. Sebagai contoh, kita sering dihadapkan pada kasus bahwa mereka yang tidak berpendidikan cenderung berstatus sosial ekonomi yang lemah. Mereka yang lemah secara kemampuan kognitif, lebih banyak bekerja di bidang-bidang yang mengandalkan otot. 
  Sebagaimana burung yang mencari makan harus terbang ke berbagai tempat, jika ia tak punya sayap, bagaimana ia bisa makan? Sayap ”tangan” yang kita miliki untuk memunuhi kebutuhan sebagian dimiliki oleh diri kita sendiri, sebagian besar ada pada diri orang lain. Ini mencerminkan kodrat kita sebagai makhluk sosial bahwa kita tidak dapat hidup sendirian. Karena kodrat kita sebagai makhluk sosial, komunikasi suatu keharusan jika kita ingin kebutuhankita dipenuhi dengan bantuan orang lain. Dengan ilustrasi tentang burung yang tidak bisa makan tadi, dengan bantuan burung lain yang menyuapinya, burung yang malang itu tetap bisa makan. Tetapi, apakah burung itu akan menerima bantuan jika ia tidak menyuarakan kebutuhannya kepada burung-burung lain?
 Tanpa usaha, keinginan kita tidak akan terpenuhi. Sejauh ini kita akan sama-sama menyadari bahwa selalu ada dua kemungkinan atas suatu keinginan, yaitu: terpenuhi atau tidak terpenuhi. Keinginan yang terpenuhi akan membuat diri menjadi puas, tetapi keinginan yang terpenuhi akan menumuhkan kekecewaan. Maka kita dapat menemukan sebab pertama dan kedua mengapa keinginan kita tidak terpenuhi berdasarkan cerita si burung, yaitu: 1) Diri sendiri yang tidak berdaya dan upaya, dan 2) Ketidakmampuan kita mengkomunikasikan apa keinginan kita ketika kita membutuhkan bantun orang lain.
 Ketidakmampuan berkomunikasi bukan hanya masalah kita yang tidak bisa mengatakan apa keinginan kita karena suatu sebab, tetapi juga ketika kita bisa mengkomunikasikannya, hanya saja kita tidak efektif dalam mengkomunikasikannya. Apakah ketika meminta agar orang lain memenuhi keinginan kita kita sudah melakukannya secara santun dengan bahasa yang menyenangkan hati? Atau kita terkesan memperbudak mereka? Ketika kita terkesan menggurui atau menyuruh-nyuruh mereka, daripada keinginan kita terpenuhi, kita bisa jadi tidak disukai.
 Setiap orang pernah bertemu pengemis. Ketika kita bertemu pengemis, jelas pengemis itu mengkomunikasikan bahwa dia meminta-minta, pesannya jelas kita tangkap. Walaupun pesannya jelas kita tangkap, ada orang yang mau memberi dan ada yang tidak. Khusus pada yang tidak, apa alasannya mereka tidak mau memberi sedikit saja uang mereka?
 Dalam interaksi dengan orang lain terjadi pertukaran sosial dimana seseorang akan berperilaku jika perilakunya menguntungkan dirinya atau paling sedikit tidak merugikan dirinya. Sepanjang orang memahami bahwa dengan memenuhi keinginan kita, kebutuhannya juga terpenuhi atau paling sedikit ia tidak dirugikan dengan memenuhi keinginan kita, maka orang itu akan melakukan apa yang kita minta. Dapat disimpulkan bahwa sebab keinginan kita tidak dipenuhi oleh orang lain adalah keinginan kita merugikan dirinya. 
 Biasanya menjelang pasar berakhir, para penjual mengobral murah barang-barang dagangannya. Idealnya kita akan ramai mengerubuti mereka, tetapi ternyata tidak. Banyak juga yang melengos. Para pedagang itu sudah mengkomunikasikan maksudnya menggelar dagangan dan jelas pula dengan membeli barang-barang yang jadi super murah itu kita mendapatkankeuntungan dengan bisa berhemat. Tetapi dalam pikiran mereka yang melengos, seberapa pun bermanfaatnya barang itu, ia tidak akan membeli karena persepsinya pada barang itu bahwa ia belum membutuhkannya. Artinya, barang itu tidak berarti bagi dirinya. Kita simpulkan bersama lagi bahwa keinginan kita bisa tidak terpenuhi karena persepsi orang lain bahwa apa yang kita inginkan tidak berarti bagi dia. 
 Apa pentingnya saling mengenal satu sama lain? Benar juga pepatah yang mengatakan banyak kenalan banyak rezeki. Ada hubungan dalam persahabatan kita atau pekenalankita dengan orang lain yang membuat orang tersebut mau berbaik hati pada kita. Dalam persahabatan, misalnya, kita saling menanamkan harapan dan konsekuensi bahwa antarsahabat seharusnya saling membantu. Sebaliknya, mereka yang tidak saling mengenal baik akan lebih sulit jika meminta agar keinginan mereka dipenuhi. 
 Masalah kita ada di mana sehingga kita sering sekali merasa dikecewakan oleh orang lain? Memang menyebalkan, menyedihkan, dan menyakitkan hati ketika kita sudah mengharapkan sesuatu pada diri orang lain, orang lain itu tidak bertindak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Apalagi jika itu berurusan dengan masalah-masalah besar seperti kepanitiaan acara besar organisasi, deadline tugas kelompok yang sangat penting, janji yang sudah dibuat, dan sebagainya. Siapa yang tidak stres? Setiap orang akan stres! Bahkan frustasi dan depresi jika diperlakukan terus-terusan seperti itu.
 Tapi, apakah stres adalah satu-satunya pilihan kita untuk merespon perilaku tidak mengenakkan dari orang lain? Jawabnya, tidak. 
 Saya membuat suatu kalimat-kalimat yang cukup menarik hasil pemikiran mendalam. Orang yang kecewa adalah orang yang punya keinginan. Orang yang berkeinginan adalah mereka yang memiliki harapan. Orang yang terlalu berharap, mereka menggenggam harapan kuat-kuat dalam hati mereka, menutup mata bahwa harapan itu bisa saja gagal dicapai. Harapan yang melambung disusul dengan kegagalan, mereka sangat mungkin memutuskan untuk menyerah dan sedih bukan main. Mereka yang menyerah pada akhirnya tidak melakukan apa-apa. Mereka yang tidak melakukan apa-apa adalah mereka yang tidak mengenal kekuatan diri dan lingkungannya. Orang yang tidak mengenal dirinya adalah orang yang enggan berpikir, merenung, dan merasakan hakikat keberadaan dirinya. 
 Memang panjang, tetapi bisa disingkat kalimat pertama dan terakhir saja bahwa orang yang kecewa adalah orang yang enggan bepikir, merenung dan merasakan hakikat keberadaan dirinya. 
 Orang yang mau berpikir lebih dalam akan melampaui keinginan-keinginan. Mereka akan lebih baik dalam memahami banyak hal, terutama alasan-alasan di balik tercapai atau tidaknya suatu keinginan.
 Ketika kita berhubungan dengan orang lain, pahamilah bahwa orang lain juga ingin dipahami tentang alasan-alasan ia berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Manusia berperilaku pasti dengan alasan di baliknya, itulah yang harus kita pahami sebagai obat kekecewaan kita.Orang yang tidak mau tahu dan tidak menerima alasan akan mengalami sakit hati yang lebih dalam daripada orang yang tahu alasan dan mau menerimanya. Maka, komunikasi tidak hanya sebatas kita menyampaikan pesan, tetapi yang menerima pesan juga berhak mengatakan sesuatu pada kita. Hubungan dua arah ini sangat sulit diwujudkan jika kita yang tidak mau mengenal orang lain sehingga orang lain tidak menaruh kepercayaan dan terbuka pada diri kita.
 Memangnya apa untungnya bagi kita jika kita tahu alasan mengapa orang lainmembuat kita kecewa? Perlu diketahui bahwa pemahaman akan suatu alasan akan membimbing kita untuk mengevaluasi banyak hal. Pernahkah dipikirkan bahwa orang lain yang tidak bersikap baik pada kita mungkin saja berperilaku begitu karena kesalahan yang kita pebuat sendiri? Dari evaluasi itu kita akan belajar menerima bahwa ada hal-hal yang berada di luar kehendak kita, seperti perasaan orang lain, harapan orang lain,persepsi oran lain, bahkan kehendak Tuhan Penguasa diri kita. Kita akan belajar menyadari bahwa sesuatu yang kita inginkan belum tentu baik bagi diri kita, sebaliknya yang tidak baik (kekecewaan) sebetulnya baik, terutama bagi pengembangan diri kita dalam menghadapi tantangan.
 Di samping kita dapat mengetahui alasan-alasan, ada saat di mana kita tidak dapat mengtahuinya. Dan apa yang diajarkan oleh Islam adalah, berprasangka baiklah. Berpikiran positiflah. Pikiran positif adalah obat lain kekecewaan. Itulah yang sudah Tuhan siapkan bagi kita. Pikiran positif akan meringankan kekecewaan. Kita akan menyiapkan alasan-alasan yang baik mengenai tidak terkabulkannya keinginan kita. Kita akan menjaga hati kita dari rasa tidak suka pada orang-orang yang kita harapkan. Itu lebih baik daripada kita mengumpat tidak jelas, mengutuk orang yang ini dan yang itu, atau merasa tidak berdaya. 
 Apakah orang yang dapat menerima dapat kecewa? Sekalipun ia merasa kecewa, ia mungkin hanya menganggapnya sebagai angin lalu kehidupan yang ia jalani.