Laman

Selamat Datang...

Berbagi isi hati dan pemikiran...
Berbagi asa untuk mencapainya bersama untuk sebuah kemajuan...

Sabtu, 28 Maret 2009

Penyakit HATI dan Penyakit MASYARAKAT

Rabu, 25 Maret 2009
Mushola Baitul Muthmainah, Fak. Psikologi
“Penyakit Hati dan Penyakit Masyarakat”
Uztadz Muchlis Fauzi, S. HI


Sakit adalah rasa tidak nyaman di tubuh. Rasa tidak nyaman ini cukup untuk membuat kita pergi mencari dokter, tetapi bandingkan dengan jika yang sakit adalah hati / batin kita. Adakah simtom yang kasat mata kecuali perilaku kita yang membuat orang lain tidak nyaman? Kerugian yang kita dapatkan ada dua, pada diri sendiri juga pada orang lain.
Sebab penyakit hati adalah penyakit hati, yaitu kebiasaan buruk yang mendatangkan keburukan. Quran menyebutkan beberapa kebiasaan yang perlu kita waspadai dalam hidup. Penyakit-penyakit itu di antaranya syirik, sombong, iri dengki, marah, malas, prasangka, berkeluh kesah, suka berdebat, dan ghibah (gosip).
Syirik dikatakan sebagai “modal”bagi seseorang untuk tidak punya manajemen kematian. Syirik atau mempersekutukan Allah ditandai dengan perilaku percaya pada ramalan, pergi ke dukun atau melakukan praktik perdukunan, dan meyakini ada tuhan lain selain Allah. Perlu diwaspadai, dosa syirik tidak akan diampuni oleh Allah.
Sombong ditandai dengan perilaku meremehkan atau merendahkan orang lain. Setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kalau kita merendahkan orang lain, bisa jadi orang yang kita rendahkan lebih daripada diri kita. Dalam Quran 17: 83, “Dan apabila Kami Berikan kesenangan pada manusia, niscaya berpalinglah dia,dan membelakang dengan sikap yang sombong...”
Iri dengki dikemukakan dalam Quran 4: 32, “Dan janganlah kamu iri hari terhadap apa yang Dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain...). Karena setiap orang punya usahanya sendiri-sendiri dan mendapatkan bagiannya dari usahanya itu.
Marah sering dianggap sebagai biasa-biasa saja dalam hidup ini, tetapi ingat, suka marah membuat kita susah masuk surga. Marah perlu dikendalikan dan dicegah sebelum menjadi bagian dari diri kita. Ketika kita marah, cegahlah dia dengan berwudhu. Api akan padam karena air.
Malas adalah musuh bagi semangat, dan dimiliki oleh semua orang. Ada banyak potensi dalam diri kita yang tenggelam karena kita malas mengaktualisasikan diri. Quran 9: 38 mengatakan, “... kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan dunia sebagai ganti kehidupan akhirat?...” Siapa yang malas, ia akan ditinggalkan oleh orang lain yang bersemangat.
Prasangka adalah perbuatan yang harus kita jauhi. Quran 49: 12 menyebutkan, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa...”. Perilaku kita adalah produk dari kognisi dan afeksi kita. Jika kita sudah berpikiran buruk, maka perilaku kita akan cenderung mengikuti pikiran buruk itu.
Berkeluh kesah disebutkan dalam Quran 70: 19, “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir.” Keluh adalah ungkapan yang keluar karena perasaan susah. Keluhan merupakan cermin ketidaksabaran dan ketidakikhlasan kita akan sesuatu.
Suka berdebat ada dalam Quran 18: 54, “... Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah.” Berdebat dilakukan dengan saling adu argumentasi. Berdebat buruk dilakukan jika hasilnya adalah pertengkaran dan kebenaran yang dihasilkan darinya tidak diikuti.
Ghibah atau gosip diungkapkan dalam Quran 49: 12, ”... dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian dari kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang dari kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?” Orang yang suka menggosip akan bangkrut di akhirat nanti karena dosa orang yang digosipkan akan menjadi milik si penggosip. Membicarakan kejelekan orang lain, sekalipun itu benar sebaiknya tidak dilakukan.

Masalah-masalah yang ada di masyarakat berakar dari penyakit hati yang dimiliki individu-individu di dalamnya. Sebagai contoh kekerasan dalam rumah tangga, kenakalan remaja, kriminalitas, bunuh diri, narkoba, pornografi, HIV/AIDS, serta gangguan jiwa dapat berasal dari hati yang tidak tenang karena penyakit-penyakit hati tersebut.
Islam mengajarkan kita untuk selalu kembali kepada Allah, baik di kala senang maupun sedih. Ketika kita bersedih, Allah Memerintahkan kita untuk sabar dan shalat, juga berdoa. Ketika kita bahagia, Allah Memerintahkan kita untuk bersyukur dan tetap ingat bahwa kebahagiaan kita berasal dari Allah.
Demikianlah kesempurnaan Islam dalam memahami manusia. Ketika kita mengetahui kebenaran, mari kita aplikasikan dengan mendakwahkannya kepada orang lain sebagai wujud kepedulian kita pada sesama, untuk saling membantu dalam kehidupan dunia dan untuk akhirat kelak. Mari kita dakwahkan kebaikan ini dengan perilaku kita sendiri dalam kehidupan sehari-hari.

(Kajian Psikologi Islami dari Kelompok Studi Pengembangan Psikologi Islami)

Who am I ?


Salah satu buku yang mempengaruhi hidup saya adalah “Seven Habits for Highly Effective Teens” karya Sean Covey. Walaupun buku itu terlambat saya baca mengingat saya bukan lagi tergolong remaja, membaca buku itu cukup membuat saya menyesali banyak hal di masa “muda”. Tetapi ini bukan penyesalan yang menyedihkan, menyenangkan malah. Akhirnya, saya tahu apa yang seharusnya saya lakukan saat ini.
Topik “who I am” menurut saya selalu tidak pernah sepi untuk dibicarakan. Dalam pelatihan-pelatihan yang pernah saya ikuti, beberapa kali “who I am” menjadi salah satu materinya. Pembahasan mengenai “who I am” tidak pernah lepas dari apa kebaikan, keburukan, kelebihan dan kekurangan diri kita. Pencarian yang sulit…
Suatu hari ketika kuliah, sembari menunggu dosen datang, saya asyik mendengarkan obrolan dua teman saya yang tampak frustasi. Mereka duduk di belakang saya, jadi mereka tidak sadar saya yang sangat berminat pada pembicaraan itu. Pembicaraan mereka pada intinya adalah tentang “who I am”. Satu kalimat yang saya ingat… “Tidak bangga apa lagi ibuku?” Oh….
Di kelas tentu ada beberapa teman yang membuatmu terkagum-kagum. Seumur hidup saya belum pernah bertemu selebriti atau orang terkenal lainnya, dan menurut saya teman saya itu orang terkenal. Ia sudah bekerja, punya penghasilan, jago bahasa Inggris, pernah ke luar negeri, temannya banyak dan oke-oke… Sedikit banyak sedikit membuat saya ingin. “Tidak bangga apa lagi ibuku punya anak yang sudah bekerja dan jago bahasa Inggris?”
Saya jadi memikirkan hidup saya sendiri dan merasakan begitu banyak perbedaan. Setiap ibu punya harapan yang berbeda-beda sebagai syarat kebanggaan mereka pada anak mereka. Setiap orang juga punya harapan yang berbeda-beda terhadap orang lain. Tetapi satu hal yang tidak pernah saya tanyakan pada mereka adalah sebenarnya apa yang membuat mereka bangga? Apakah saya apa adanya? Tanpa perlu embel-embel sudah bekerja, jago bahasa Inggris, juara kelas, dan sebagainya, bagaimana atau apakah mereka akan menghargai kita?
Kalimat indah yang saya dapatkan dari buku “Seven Habits for Highly Effective Teens” adalah: kalau siapa saya tergantung pada apa yang saya punya, dan apa yang saya punya sudah hilang, lalu saya ini siapa?
Siapakah kita? Identitas kita tergantung pada apa? Memang tak salah jika kita mengungkapkan apa-apa yang kita miliki sebagai identitas kita, seperti prestasi, teman, keluarga, barang-barang yang kita punya, bakat dan kemampuan kita. Yang salah jika kita memikirkan diri kita seperti yang orang lain pikirkan tentang diri kita.
Orang lain mengenal diri kita adalah dari apa yang terlihat dari diri kita. Orang lain menghargai kita dari apa yang tampak dari diri kita dan yang dari kita tampakkan, tetapi bukan berarti kita harus menghargai diri kita dengan cara yang sama. Ada kalanya yang tampak termasuk mengecewakan bagi orang lain. Jika demikian, apakah kita harus ikut kecewa pada diri kita sendiri? Tentu tidak.
Ada hal-hal yang tidak orang lain tahu tentang diri kita dan hanya kita yang tahu. Yang tidak terlihat itu mungkin mewarnai perilaku-perilaku kita yang paling sederhana. Yang tidak terlihat itu adalah hal-hal yang mendasari hidup kita, prinsip-prinsip dan keyakinan kita sebagai manusia. Saya jadi teringat apa yang dikatakan seorang dosen saya bahwa kebahagiaan itu ada di dalam diri kita sendiri. Sumber dari kebahagiaan itu bukan dari orang lain, tetapi dari Tuhan, lewat apa-apa yang Ia Berikan pada diri kita.
Lagi-lagi saya teringat pada hal indah yang pernah saya saksikan. Saat itu saya berada di pasar, ada di dalam kendaraan menanti lampu hijau menyala. Sepanjang jalan dipenuhi pertokoan, salah satunya menjual tas. Saya tersentak di dalam kendaraan ketika salah satu gantungan tas putus dan tas-tasnya terjatuh. Lalu muncul pemuda penjual koran, ia berjalan dengan langkah tidak bersemangat, mungkin karena kelelahan. Sementara orang lain hanya berlalu, ia menyempatkan diri membungkuk dan memungut tas-tas itu untuk digantung lagi di tempatnya.
Saya bangga melihat pemuda itu. Tampak luarnya tak akan membuat dia dihargai dan dihormati, tetapi ia punya hati yang membuat ia dihargai karenanya. Itulah dirinya.
Ada pula contoh fiktif yang saya ciptakan sendiri. Mungkin saja di dunia ini benar-benar ada orang yang pantang putus asa. Walaupun nilai-nilainya di sekolah jelek, ia tetap berusaha, belajar keras, dan tidak terpeleset ke dalam jurang kehinaan perilaku menyontek. Yang terlihat dari luar adalah nilainya yang jelek, yang membuat orang tidak perlu repot-repot bangga pada dirinya, tetapi yang ada dalam diri orang itu sangat membanggakan karena ia memegang prinsip untuk tetap bekerja keras dan pantang menyontek. Manusia memang tidak bisa menghargai, tetapi Tuhan Maha Menghargai perbuatan baik sekecil apapun.
Sudah saatnya bagi kita untuk meneliti kembali diri, apa saja yang kita miliki yang tidak akan hilang. Itulah yang seharusnya membuat kita bangga dan menghargai diri kita. Rasanya dengan begitu, kita tidak perlu menggantungkan diri pada penilaian dan penghargaan orang lain atas diri kita juga pada hal-hal yang tidak tetap selalu ada di tangan kita.
Memang tidak baik jika kita menggantungkan diri pada apa yang kita punya, hal-hal yang sementara saja ada di tangan kita, tetapi sebenarnya ada jenis orang yang menurut saya lebih parah lagi. Mereka adalah orang-orang yang menghargai dan membanggakan diri karena hal-hal yang bahkan tidak mereka miliki, artinya tidak ada dalam diri mereka atau tidak ada hubungannya dengan diri mereka. Kebetulan Indonesia sedang semarak dengan kampanye para calon legislatif, jadi saya punya banyak contoh yang dapat dengan mudah ditemukan.
Pernah lihat spanduk atau baliho kampanye para calon legislatif? Memang aneh, tetapi jadinya dimaklumi sekarang ini ketika mereka membawa-bawa nama ayah atau keluarga mereka yang terkenal atau nama kyai atau pemimpin mereka. Dengan harapan apakah mereka melakukan itu? Ada pula yang aneh, ada yang membawa nama sekolah mereka bahwa mereka adalah alumni dari sekolah ini. Bukankah kita jadi pantas bertanya, “Siapakah mereka sebenarnya?” atau “Sebenarnya mereka ingin dipilih karena apa?”
Oh, please…
Sudah saatnya kita menghargai diri kita karena diri kita sendiri. Jadilah dirimu sendiri sehingga ada jawaban untuk pertanyaan “who are you”.

28 Maret 2009

Sabtu, 07 Maret 2009

Maaf...

“Maaf, masalahnya kurang jelas: Ini menangis yang diharapkan karena apa? Apa tidak bisa menangisi hal-hal yang seharusnya ditangisi?

“Menangis itu alasannya banyak. Karena kehilangan sesuatu yang berharga dan terancam tidak dapat memperolehnya lagi, karena disakiti orang lain, karena tidak mampu melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan, karena nasib yang dirasa selalu buruk atau takut akan sesuatu?

“Menangis adalah ekspresi kelemahan diri yang menimbulkan kesedihan. Semakin mendalam perasaan itu, menangis jadi semakin mungkin dan setiap orang mempunyai ambang batas menangisnya sendiri-sendiri. Ada orang yang karena hal yang sepele bisa langsung menangis, ada pula yang sedemikian berat masalahnya ia bisa tidak menangis. Jadi, tidak bisa menagis mungkin bisa jadi tidak perlu dipermasalahkan. Orang yang terbiasa tegar bisa jadi tidak mudah menangis.

“Menangis juga bisa menjadi wujud empati kita terhadap permasalahan orang lain atau suatu tragedi. Ketika suatu peristiwa sedih terjadi, menangis menjadi hal yang sangat wajar. Maka, di sini seperti ada kesepakatan sosial “kalau peristiwanya ini (misalnya ada yang meninggal)” yang “harus dilakukan ini (menangis)”. Yang mungkin salah adalah jika kita berbeda dari kebanyakan orang, ketika semua orang menangis, kita tidak menangis sendiri (semoga saja bukan malah tertawa).

“Kalau tidak bisa menangis, kenalilah diri sendiri dengan mencari hal-hal apa saja yang pernah membuat kita menangis dan hal-hal apa saja yang seharusnya dapat membuat kita menangis. Kenali lagi perasaan terhadap peristiwa-peristiwa itu. Jika masih biasa-biasa saja, mungkin hati kita sudah membatu. Jika hati membatu, lunakkanlah dengan banyak-banyak menyaksikan kepedihan hidup orang lain, seperti oreang miskin, orang yang hidupnya tidak seberuntung kita, yang cacat, yang kehilangan sesuatu dan sebagainya. Juga, berdoalah... Karena Tuhan yang Maha Melunakkan hati.”

***

Kenapa aku tidak bisa menangis?”

Melihat pertanyaan itu menjadi bagian dari pertanyaan dalam salah satu situs tanya jawab di internet sebenarnya tumbuh dari dalam diri saya rasa kasihan. Rasa kasihan bukan hanya pada penanya, tetapi juga pada diri sendiri. Pada saat-saat tertentu dahulu, saya memang pernah tak bisa menangis, padahal ingin sekali menangis seperti yang dilakukan orang lain pada umumnya ketika mereka kehilangan sesuatu yang berharga. Saya tahu rasanya membuat diri menangis sulitnya bukan main, karena perasaanlah yang banyak bermain di sini.

Tulisan ini sebenarnya adalah ekspresi rasa kecewa saya karena jawaban yang sudah saya siapkan dengan harapan dapat membantu penanya tidak dapat tersampaikan. Alasannya bukan karena koneksi internet yang terputus, tetapi karena penanya tiba-tiba memutuskan menghapus pertanyaannya. Dalam hati saya bertanya, “Apa yang terjadi padanya?”

Saya teringat, sebelum saya menjawab sudah ada satu jawaban untuk pertanyaan ini. Sepenangkapan saya, jika saya mendapatkan jawaban yang seperti itu untuk pertanyaan yang sedemikian seriusnya ditanyakan, saya juga akan memutuskan menarik pertanyaan saya dan tak membiarkan ada orang yang menjawabnya.

Saya tak tahu apakah penanya tadi sudah mendapatkan jawabannya atas pertanyaan yang sebenarnya kurang jelas. Semoga sudah…

***

Lingkaran Abadi Pertanyaan-Jawaban-Pengetahuan

Bertanya adalah ekspresi jiwa seseorang yang ingin tahu. Rasa ingin tahu adalah anugrah berharga yang Tuhan berikan kepada manusia. Setiap manusia ingin mengetahui jawaban misteri-misteri yang ia hadapi, karena itulah setiap manusia bertanya. Ada rasa puas ketika ia mendapatkan apa yang ia inginkan. Bahkan, untuk mendapatkannya, ia dapat melakukan apa saja.

Pasangan abadi pertanyaan adalah jawaban, sebagaimana pasangan bagi penanya adalah penjawab. Sama halnya seorang pria yang mencari satu istri di antara berjuta wanita yang ada di dunia. Setiap orang dapat menjawab, sekalipun itu hanyalah diam. Diam di sini adalah jawaban yang artinya “saya tidak dapat menjawabnya”, sehingga penanya diharapkan untuk mengalihkan perhatiannya kepada penjawab yang lain. Jika diam adalah emas, maka jika tak tahu jawaban apa yang harus diberikan, tak perlulah seseorang mengacungkan tangannya untuk mendapat perhatian penanya. Ketika ia sudah mengajukan dirinya untuk menjawab, ia tak lepas dari suatu tanggung jawab karena mendapatkan kepercayaan untuk memberikan hal-hal yang memuaskan hati penanya. Ketika ia sudah dipercayai, sebaiknya ia bertingkah selayaknya orang yang diberi kepercayaan dengan tidak sembarangan memberikan jawaban.

Pasangan abadi bagi jawaban adalah pengetahuan. Ketika seseorang tidak tahu, ia tak akan bisa memberi jawaban. Seseorang akan dapat menjawab sepanjang ia mengetahui sesuatu. Pengetahuan bertaburan, ada di seluruh dunia. Dibandingkan dengan yang ada di luar diri, apa yang kita miliki tidak ada apa-apanya. Karena itulah manusia bertanya pada dunia dengan belajar, salah satunya pada orang lain. Mengapa seseorang memutuskan bertanya pada orang lain? Karena ia tidak bisa menjawab pertanyaan itu sendirian sehingga ia membutuhkan pertolongan dari orang lain.

Dukungan Sosial dalam Bertanya dan Menjawab

Bertanya dan menjawab esensinya sama dengan apa yang terjadi antara peminta-minta dan penderma, sehingga etika moral yang ada di dalam keduannya adalah sama. Perbedaannya, antara peminta-minta dan penderma bantuan yang umumnya diberikan berupa barang, sedangkan antara penanya dan penjawab bantuan yang umumnya dibiarkan berupa informasi. Walaupun bentuknya berbeda, keduanya ada dalam satu atap yang sama, yaitu dukungan sosial.

Dukungan sosial adalah kenyataan hidup yang dibutuhkan manusia karena kodratnya sebagai makhluk sosial, makhluk yang tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Sejak kanak-kanak, kita semua telah banyak diajarkan tentang indahnya hubungan ini. Betapa dahulu kita diajari memberi pada pengemis, memberikan tempat duduk di bis kepada orang tua, membantu ibu yang keberatan membawa barang, tersenyum pada orang yang kita temui di jalan, memberi salam kepada orang lain. Betapa kita diajarkan untuk memberi sesuatu, tidak hanya yang menyangkut pada materi yang tampak, tetapi juga hal-hal yang tidak tampak dan hanya dapat dirasakan oleh perasaan. Sebagai intinya, dalam memberi tidak lengkap jika hanya menekankan pemberian pada aspek material instrumental informasional, tetapi juga sangat dibutuhkan pemberian dalam aspek emosional.

Sebagaimana yang disebutkan dalam Al Quran surat Al Baqarah: 263 yaitu: “Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Mahakaya lagi Maha Penyantun.

Dan dilanjutkan pada ayat 264:

Wahai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima)…

Berdasarkan ayat di atas, kita mengetahui betapa pentingnya kita menjaga perasaan si penerima. Seberapa besar pemberian kita, seberapa penting jawaban yang kita berikan, jika cara kita memberikannya menyakiti hati, diwarnai dengan hal-hal yang menyakiti hati penanya, maka nilai jawaban itu akan sia-sia di mata Tuhan. Bukankah kita manusia yang meyakini kehidupan akhirat dan pembalasan yang akan Tuhan Berikan kelak? Maka, janganlah kita menyia-nyiakan usaha kita hidup di dunia karena kesalahan yang kita perbuat pada manusia.

Tuhan sudah mengajari kita dalam Al Quran hal terbaik yang bisa kita perbuat bagi sesama manusia. Hal ini cukup untuk membuat kita bertanya lagi tentang peran kita di hadapan manusia sebagai penjawab pertanyaan yang mereka ajukan kepada kita, karena mereka mempercayai kita. Apakah selama ini jawaban yang kita berikan sudah disampaikan dengan cara yang baik? Yang tidak membuat penanya merasa diri mereka bodoh karena bertanya? Ataukah masih ada dalam hati kita perasaan merendahkan pertanyaan-pertanyaan mereka, padahal mungkin bagi mereka pertanyaan itu sangat penting? Ataukah kita memberi jawaban dengan malas-malasan yang disertai rasa sebar karena mereka terus-menerus tidak mengerti? Ataukah kita belum dapat menghargai keberanian mereka untuk bertanya?

Jika begitu… “Maaf, aku mungkin menyakiti hatimu.”

"Aku Merubah Dunia” Menanam Budi Sebagai Inspirator

Suatu hari saya bercakap-cakap dengan seorang teman. Dia bercerita tentang suatu kompetisi menulis yang bertemakan “Apa yang akan kamu lakukan untuk mengubah dunia?”

Jadi, apa yang akan kita lakukan?

Ada satu cerita yang sangat berkesan dalam hidup saya, kisah tentang seseorang yang bercita-cita mengubah dunia. Pada masa mudanya, seseorang bertekad mengubah dunia. Ia berusaha dan menunggu selama 10 tahun untuk melihat apa yang terjadi, tetapi setelah 10 tahun ternyata tidak terjadi apa-apa. Untuk 10 tahun berikutnya, ia bertekad mengubah negaranya, tetapi perubahan tetap tidak terjadi. Untuk 10 tahun berikutnya lagi, ia memperkecil targetnya dengan bertekad mengubah masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya, tetapi juga tidak terjadi perubahan. Untuk 10 tahun berikutnya lagi, ia semakin memperkecil targetnya yaitu mengubah keluarganya dan ternyata juga tidak berhasil. Akhirnya ia sadar bahwa perubahan seharusnya dimulai dari diri sendiri. Untuk 10 tahunnya yang kesekian, ia memutuskan melakukan perubahan pada dirinya sendiri.

Petuah dari seseorang juga sangat membuat saya terkesan. Betapa perubahan itu harus: Dimulai dari diri sendiri, dimulai dari hal yang sederhana, dan dilakukan saat ini. Hal ini membuat saya semakin meyakini sebuah peribahasa: Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit. Selama ini peribahasa tersebut hanya saya terapkan pada celengan dan tabungan saya di bank, tetapi belum untuk suatu budi pada dunia.

Budi pada dunia? Siapa sajakah orang yang menyadari hal ini?

Dunia bukankah semakin dipenuhi orang-orang yang hanya memikirkan keselamatan dan kesejahteraan dirinya sendiri? Berapa banyak orang yang masih berprinsip pada persaudaraan dan kemanusiaan bagi seluruh dunia? Berapa banyak orang yang menjadikan dirinya pemikir masalah-masalah dunia dan berbuat demi kebaikan dunia?

Ketika perang Palestina-Israel sedang panas-panasnya dan koran-koran dan berita di televisi gencar mengabarkannya, muncul opini-opini yang mulai miring karena mempertanyakan “Kenapa kita sibuk memikirkan Palestina? Negara sendiri saja sedang krisis dan butuh dipikirkan.” Apa yang terlintas di kepala saya saat itu adalah opini-opini yang seperti ini hanya akan membuat dunia membenci orang yang melontarkan opini itu. Kita memang direcoki masalah prioritas, tetapi prioritas yang mementingkan diri sendiri dan mengabaikan orang lain, bukan lagi rahasia, akan dicela. Terlalu sering kita berpikir bahwa memberi hanya pantas dilakukan oleh orang yang berpunya dan terlalu sering kita mengasosiasikan berpunya dengan memiliki harta. Kita memikirkan yang besar-besar dan melupakan yang sederhana, yang mudah sekali dapat kita lakukan.

Nabi Muhammad bersabda, “Senyummu pada saudaramu adalah sedekah.”

Siapakah manusia di dunia ini yang tidak mempunyai senyuman sebagai sedekah yang paling sederhana, yang dapat dilakukan oleh orang paling miskin sekalipun? Bahkan hanya dengan doa demi kebaikan dunia, kita telah berjasa pada dunia dengan cara yang sangat istimewa. Bukankah pertolongan itu diberikan sesuai dengan kesanggupan diri pemberi? Hanya saja mengetahui kesesuaian itu membutuhkan kejujuran diri masing-masing dan kerelaan untuk berbuat sesuai dengan kejujuran itu.

Beberapa bulan yang lalu saya pernah diliputi rasa menyesal. Telah menjadi kebiasaan saya untuk memberi kepada seorang nenek pengemis di jalan menuju kampus, tetapi pada suatu hari saya dihantui rasa tidak percaya pada nenek itu. Saya curiga pada si nenek kalau-kalau dia hanya pura-pura sebagai pengemis karena selama beberapa tahun saya mengamati dia sesekali saya menangkap perilaku si nenek yang mengundang rasa curiga. Akhirnya saya menghentikan pemberian saya dan beberapa hari berlalu sampai pada suatu hari si nenek tidak tampak lagi di tempatnya yang biasa. Rasa menyesal datang seketika karena saya tahu sepanjang hari yang saya lalui tidak banyak atau bahkan tidak ada orang yang dapat saya beri sebagian rezeki saya. Siapa yang akan saya beri?

Kesempatan untuk menanam budi pada dunia tidak datang sepanjang waktu, itu kesimpulan saya hari itu. Ada kalanya ketika kita tidak ingin, kesempatan datang. Ada kalanya pula ketika kita ingin, kesempatan tidak ada. Siapa pun yang membaca cerita ini mungkin akan berpikiran sama bahwa budi pada dunia janganlah ditunda-tunda. Syukur, nenek itu belum pergi untuk selamanya. Ia kembali muncul, tentu kali ini sudah saya anggap sebagai salah satu rekan hidup di dunia sekalipun dia tidak mengenal saya.

Banyak orang yang memiliki hobi membaca buku, tetapi tidak semuanya gemar membaca buku biografi tokoh-tokoh dunia. Mengapa sebagian orang menyukai buku jenis ini? Tidak dipungkiri, salah satu alasan mereka adalah mencari inspirasi bagi kehidupan mereka yang dipenuhi cita-cita. Apa yang kita rasakan ketika mengetahui kisah hidup mereka? Mungkin tidak semua orang merasakan hal yang sama, tetapi bagi saya muncul suatu kebanggaan, “Ternyata ada orang yang seperti itu…” Mereka menginspirasi, menguatkan kembali harapan yang lemah, menegaskan kembali keyakinan bahwa segala sesuatu bisa terjadi dengan perjuangan dan kerja keras.

Mereka yang menginspirasi tidak selalu orang-orang besar dan terkenal. Ada begitu banyak orang biasa, yang hidup sama sulitnya dengan kita, yang tidak kita kenal, tetapi yang menginspirasi.

Kembali pada sebuah cerita, pada Ramadhan dua tahun yang lalu ketika saya pulang kuliah di mana hari sudah menjelang malam. Adzan maghrib sudah berkumandang sebagai tanda berbuka puasa, tetapi di tangan saya tidak ada makanan dan minuman sepotong pun. Keadaan ini membuat saya memutuskan menunggu hingga sampai ke rumah. Tidak disangka, seorang ibu tiba-tiba menawari orang satu angkot penuh hidangan berbuka puasa yang dibungkus dalam plastik. Ia adalah ibu-ibu biasa yang berjualan di pasar. Yang membuat saya takjub adalah keadaannya yang begitu sederhana tidak membuatnya tidak memberi pada orang lain.

Bukankah kita membutuhkan orang-orang seperti ini sebagai penyemangat kita mengubah dunia dari hal yang sederhana dan yang kita lakukan saat ini tanpa ditunda-tunda. Tetapi apakah mereka yang menginspirasi harus selalu “orang lain” dan bukan diri kita? Kenapa diri kita tidak menjadi “mereka” untuk menginspirasi lebih banyak orang lagi?

Dalam suatu survey sederhana dalam suatu pengajian yang pernah saya ikuti pada masa SMA, pembicara pengajian itu bertanya siapa dari kita yang merasa dirinya belum memberi manfaat, biasa saja, atau sudah bermanfaat bagi orang lain. Hal aneh terjadi karena, bahkan anak Rohis sendiri, hampir seluruh orang merasa biasa saja atau belum memberi manfaat alias merugikan. Pilihan kedua adalah pilihan yang paling banyak karena mungkin dianggap sebagai jawaban yang netral dan saya, dalam hati, seolah-olah bisa mendengar suara mereka, “Jangan perlihatkan kebaikan dirimu, jangan membanggakan diri, jangan merasa sudah bermanfaat bagi orang lain, itu sombong…”.

Saya kesal dalam hati saat ini, karena tidak ada orang yang benar-benar siap menginspirasi orang lain, seolah-olah perintah Allah yang paling benar adalah sembunyikan kebaikan-kebaikanmu. Padahal di samping hal-hal yang disembunyikan, kita diperbolehkan menunjukkan kebaikan-kebaikan kita asal jangan sampai diri menjadi sombong, mengungkit-ungkit kebaikan sehingga melukai hati orang yang kita beri kebaikan. Kita diperintahkan untuk tidak sombong bukan berari takut pada sombong itu. Kalau kita takut pada rasa sombong, tidak ikhlas, dan sebagainya padahal mereka hanyalah macam dari perasaan yang dimiliki manusia, kapan kita akan benar-benar berjiwa seorang inspirator bagi orang lain karena kita tidak berani menelurkan suatu perilaku. Dunia membutuhkan inspirasi atau teladan perbuatan-perbuatan baik, terutama dari sosok-sosok yang tidak terbanyangkan kiprahnya bagi dunia karena ada stigma “tidak mungkin mereka bisa”.

Ketika kita ingin mengubah dunia dari diri kita sendiri terlebih dahulu, kita harus bervisi “berusaha menjadi inspirator kebaikan bagi orang lain”. Menjadi inspirator adalah motivasi hidup yang tidak dimiliki semua orang karena kebanyakan dari kita belum berani memposisikan diri sebagai teladan secara sadar. Kita masih sibuk berkutat pada urusan menjadi baik dan melupakan aspek keteladanan, padahal proses atau cara kita menjadi baik itu bisa menjadi inspirasi yang unik bagi orang lain yang menyaksikan bagaimana kita menjalani hidup.

Keengganan kita menjadi orang yang diteladani tampaknya terjadi seiring dengan semakin berkurangnya urgensi manusia sebagai makhluk sosial karena perubahan yang terjadi sehingga manusia semakin layak disebut makhluk berkepentingan. Manusia sebagai makhluk sosial hampir selalu dihubungkan dengan saling ketergantungan dalam memenuhi kebutuhan yang berujung pada permainan licik memenangkan kepentingan. Kebutuhan inspirasi, di mana di dalamnya ada hak memiliki inspirator dan kewajiban memberikan inspirasi, telah menjadi sesuatu yang dilupakan sebagai tugas moral kita sebagai manusia yang hidup bersama-sama di dunia dengan cita-cita hidup yang sama, yaitu kebahagiaan. Sebagaimana hukum ekonomi, apa yang akan terjadi jika terlalu banyak orang yang meminta, tetapi terlalu sedikit orang yang bisa memberi? Bukankah akan semakin banyak orang yang kebutuhannya tidak terpenuhi?

Ketika tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah, ketika dunia semakin membutuhkan orang-orang yang bisa memberi, “Allah, Ridhailah kami menjadi inspirator yang mewarnai dunia-Mu yang indah ini.”

Minggu, 01 Maret 2009

Benteng Moral Islam

Benteng Moral Islam

(Pemikiran Al Ghazali Bag.6)*

Ada benteng raksasa yang dibangun oleh Islam untuk menjaga moral seluruh umat. Benteng itu bernama “Amar Ma’ruf Nahi Munkar”.

Benteng “Amar Ma’ruf Nahi Munkar” terdiri atas tiga lapisan, yang setiap lapisannya dilindungi oleh pembela-pembela akhlak yang bersemangat, berani dan jujur. Jika benteng pertama yang merupakan benteng umum telah tembus, maka berdiri lagi benteng khusus yang dikawal oleh orang-orang yang berpengalaman, yang mempunyai kesungguhan dan keuletan berjuang yang tidak mau menyerah. Kalaupun benteng kedua runtuh, maka tersisa lapis terakhir yang paling kuat yang memegang senjata resmi yang diakui oleh pemerintah.

Uraian tersebut menggambarkan benteng politik moral yang dibangun oleh Al Ghazali yang berdasarkan pada firman Allah QS Ali Imran: 104, yaitu:

“Dan hendaknya ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh pada yang ma’ruf dan mencegah yang munkar; mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

Amar ma’ruf nahi munkar bersama dengan misi dakwah merupakan benteng keagamaan yang melindungi Islam dari zaman ke zaman. Maka, jika tugas ini dilalaikan, tidak ada lagi yang berani menyeru kepada jalan yang benar dan mencegah perbuatan-perbuatan yang salah, hancurlah Islam.

Dalam suatu hadist, Nabi bersabda: “Kamu menjalankan amar ma’ruf nahi munkar, atau (kalau tidak kamu jalankan) Tuhan menyerahkan kekuasaan pada orang-orang yang jahat (rusak) moralnya, sehingga segala doa dari orang baik-baik tidak diperkenankan.

Al Ghazali menyimpulkan bahwa tugas amar ma’ruf nahi munkar menjadi fardhu ‘ain atas setiap orang ini dan menjadi ukuran selamat atau jatuhnya suatu bangsa. Tugas ini adalah bentuk yang tegas dari perasaan tanggung jawab terhadap keselamatan moral bangsa. Di samping itu, tugas ini menjadi benteng yang menjaga dan mempertahankan akhlak-akhlak mulia yang harus menjadi watak dan kepribadian bangsa dan negara.

Benteng Pertama

Benteng di tingkat pertama ini adalah tingkatan yang paling rendah di mana setiap rakyat atau muslim harus menjalankan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar sesuai dengan kesanggupannya masing-masing. Dengan kata lain, setiap muslim wajib saling nasihat-menasihati dan yang lebih tinggi lagi adalah saling mengajak pada kebaikan dan mencegah perbuatan salah.

Tugas ini dapat dilihat dalam QS Al ‘Ashr: 1-3:

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.”

Mencegah perbuatan yang salah dapat dilakukan dengan tiga cara yang diajarkan oleh Nabi Muhammad, yaitu mencegah dengan tangan, jika tidak bisa dengan lidah, dan kalau inipun tidak mungkin, maka bantahlah dengan hati, sedang bantahan hati adalah selemah-lemahnya iman.

Benteng Kedua

Di samping tugas umum yang berlaku atas setiap muslim, pada mereka yang mempunyai keahlian untuk memberi nasihat dan para ahli agama, mereka mempunyai tugas khusus yang merupakan tingkat kedua amar ma’ruf nahi munkar.

Untuk tugas ini, dianjurkan untuk didirikan akademi-akademi yang bertujuan menciptakan kader dakwah untuk menjalankan tugas kedua ini. Juru dakwah tidak hanya merupakan mereka yang ahli agama, tetapi juga yang ahli di bidang ilmu pengetahuan. Keduanya memberikan penerangan dalam majelis-majelis keagamaan atau membahas hal-hal ilmiah, menerbitkan buku dan sebagainya tentang ajaran agama di segala bidang.

Muhammad Abduh menyebutkan bahwa puncak pekerjaan juru dakwah adalah menasihati golongan terpelajar dan kaum akademisi, sedangkan Al Ghazali menyebutkan bahwa puncak tugasnya adalah menasihati para penguasa atau pemimpin, sipil maupun militer, mulai dari tingkat yang terendah sampai yang tertinggi. Maka, Al Ghazali juga mengikutkan para politisi dalam tugas ini.

Benteng kedua adalah pembendung jika benteng pertama telah runtuh, di mana umat sudah tidak bersemangat lagi dalam beramar ma’ruf nahi munkar. Benteng ini dapat bertahan sepanjang para ulama, ahli ilmu pengetahuan dan pemimpin masih berani menjalankan amar ma’ruf nahi munkar. Jika para ulama, ahli ilmu pengetahuan dan pemimpin sudah tidak menjalankan tugas ini, maka akan hancur suatu bangsa.

Benteng Ketiga

Benteng pertama dan kedua adalah benteng yang sifatnya swasta dan sukarela. Al Ghazali mengajukan bahwa di samping kedua tugas itu, dibutuhkan petugas-petugas negara yang bekerja secara resmi untuk menjalankan amar ma’ruf nahi munkar. Petugas-petugas ini yang menangani penyelewengan-penyelewengan terhadap moral.

Petugas ini terbagi dalam dua golongan, yaitu: yang menjalankan amar ma’ruf dan yang menjalankan nahi munkar yang menyangkut hak-hak Tuhan, hak-hak sesama manusia dan campuran antara hak Tuhan dan hak manusia.

Petugas ini juga berwewenang dalam tingkatan-tingkatan, artinya tidak semena-mena. Al Ghazali menyebutkan tingkat-tingkatan wewenang itu, yaitu:

  1. Menyadarkan atas baik atau buruknya suatu perbuatan. Ini dijalankan dengan menasihati.
  2. Memperingatkan untuk menjalankan perbuatan yang ma’ruf dan menjauhi perbuatan yang munkar.
  3. Mengancam dengan hukuman, baik hukuman Tuhan maupun hukuman negara.
  4. Berkata keras dan memaksanya untuk menyadari kesalahan.
  5. Memerintahkan atau mengubah perbuatan yang buruk itu dengan kekuatan tangan.
  6. Melakukan hukuman preventif untuk menyadarkannya, seperti melakukan penahanan.
  7. Melakukan hukuman fisik asal tidak sampai merusak. Tindakan ini baru diambil kalau segala jalan tidak berhasil.
  8. Menggunakan senjata atau mengerahkan kekuatan untuk menghancurkan kemunkaran dengan bersatu padu.

Demikian Al Ghazali mendirikan Benteng Moralnya untuk menciptakan Negara Moral dengan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar dari tingkat yang paling sederhana sampai yang kompleks. Menjalankan tugas ini tidaklah mudah, terutama dalam menangani persoalan umat yang semakin pelik. Semakin sulit suatu tugas, semakin dibutuhkan orang-orang yang berkompeten, berani, berjiwa besar dan tidak takut menghadapi bahaya karena tugas suci yang diembannya.

Amar ma’ruf nahi mungkar juga sebaiknya baik pula dalam hal penyampaiannya. Cara penyampaian yang salah hanya akan mendatangkan bencana bagi pelaksana tugas jika orang-orang yang disru tidak menyukai seruan yang diberikan. Al Ghazali menasihati untuk meneruskan kewajiban ini jika bencana hanya akan menimpa diri pribadi dan pertimbangkan dengan matang jika bencananya akan menimpa segolongan atau seluruh umat.

*Tulisan ini merupakan ringkasan buku “Konsepsi Negara Bermoral Menurut Imam Al Gazali” karya H. Zainal Abidin Ahmad (1975).

Moral Politik Islam

Moral Politik Islam

(Pemikiran Al Ghazali Bag.4)*

Insan Kamil

Moral politik Islam adalah moral yang diajarkan oleh agama Islam, atau disebut juga “moral Islam”. Moral ini bukan sesuatu yang berasal dari luar diri manusia, tetapi sudah tertanam di dalam jiwanya, yang disebut “fitrah”. Moral adalah anugrah yang diberikan Tuhan kepada manusia, karena itu ia senantiasa dihubungkan dengan agama.

Moral yang demikian telah disebutkan dalam QS Ar Ruum: 30, “Maka berdirilah tegak menghadapkan muka (hatimu) kepada agama yang suci, yaitu fitrah yang dijadikan Tuhan bagi manusia; tidak ada perubahan bagi kepastian fitrah itu. Demikianlah agama yang benar, tetapi kebnykan manusia tidak mengetahui.”

Terhadap fitrah ini Al Ghazali menafsirkan bahwa fitrah manusia adalah baik yang arti sebenarnya adalah kebaikan sesuai dengan watak asli manusia, dan ia lebih mengutamakan kebaikan dan bekerja ke arah kebaikan itu. Fitrah manusia adalah sumber terciptanya manusia dengan akhlak utama.

Untuk mencapai akhlak yang utama manusia dapat meniru sifat-sifat Allah yang Mahatinggi. Dengan demikianlah manusia dapat mencapai insan kamil atau manusia sempurna (ideal and morally perfect man). Al Ghazali kemudian memperinci kelengkapan sifat-sifat kesempunaan yang seharusnya dimiliki oleh seorang insan kamil dalam lima bidang:

  1. Kebahagiaan Akhirat

- Abadi yang tiada fana

- Senang tanpa kesedihan

- Ilmu tanpa kejahilan

- Kaya tanpa kemiskinan

  1. Keutamaan Jiwa

- Akal budi (wisdom) yang menuju kesempurnaan ilmu

- Kesucian yang menuju kesempurnaan batin

- Keberanian yang menuju kesempurnaan jihad

- Keadilan yang menuju keinsyafan yang setinggi-tingginya

  1. Kesempurnaan Jasmani

- Kesehatan

- Kekuatan

- Kecantikan

- Usia lanjut

  1. Kelengkapan Hidup

- Kemakmuran harta

- Keluarga yang cukup

- Kedudukan yang terhormat

- Kemuliaan keturunan

  1. Keluhuran Taufik

- Hidayah Tuhan

- Kecerdasan berpikir

- Ketangkasan bertindak

- Ketabahan batin

Dari kelima bidang dengan 20 macam sifat yang melengkapinya, terjadilah segala hubungan yang dibutuhkan oleh manusia:

Dengan kebahagiaan dan keluhuran taufik, manusia berhubungan langsung dengan Tuhan.

Dengan bidang keutamaan jiwa dan kesempurnaan jasmani, manusia berhubungan dengan dirinya sendiri, dan sifat-sifat itu ada dalam dirinya sendiri.

Dengan bidang kelengkapan hidup, manusia berhubungan dengan masyarakatnya, dan segala sifat itu berada di luar dirinya yang harus diusahakan.

Tidaklah sempurna manusia yang mempunyai hubungan dengan Tuhan, tetapi tidak mempunyai hubungan dengan masyarakatnya atau tidak memelihara bidang-bidang mengenai dirinya, dan sebaliknya.

Maka, disimpulkan bahwa insan kamil adalah manusia yang mengabdi pada Tuhan, berjuang untuk masyarakat, dan menyempurnakan sifat-sifat pribadinya.

Keadilan

Moral politik Islam yang kedua adalah keadilan yang merupakan bagian dari demokrasi yang diajarkan oleh Islam. Untuk menjalankan keadilan, pemerintah harus bertangan kuat untuk mencegah terjadinya kezaliman, baik dari pihak pegawai-pegawai pemerintahan maupun di dalam masyarakat. Al Ghazali mengemukakan bahwa pemerintah di zaman ini wajib menjalankan moral politik yang stabil dan kuat, dengan kehebatan dan kekuatan yang sempurna karena masyrakat saat ini telah menjadi masyarakat yang rendah moralnya, tidak kuat agamanya, kasar dan berhati permusuhan. Negara yang lemah pasti akan menyebabkan runtuhnya negara dan mengakibatkan rusaknya dunia dan agama.

Dalam keadilan, Al Ghazali membicarakannya dari sudut moral yang merupakan sifat manusia, bukan dari prinsip ketatanegaraan. Maka, sangat penting bagi negara untuk memiliki pemimpin dan pembesar lainnya yang memiliki sifat adil, yang tidak melakukan kezaliman.

Al Ghazali membagi kezaliman dalam tiga macam:

  1. Zalim terhadap kehormatan dan hak-hak manusia
  2. Zalim terhadap harta benda rakyat
  3. Zalim terhadap jiwa rakyat

Al Ghazali pun menganjurkan sikap-sikap yang tegas dalam menghadapi pejabat-pejabat yang zalim, yaitu:

  1. Mengenail pergaulan, harus dilakukan uzlah, dijauhi dan diputuskan hubungan atu jika mungkin dilakukan azal, perlawanan sampai ia diberhentikan.
  2. Mengenai keuangan dan harta benda, harus ditolak segala pemberiannya karena harta haram tidak halal dimakan.

Sikap Toleransi terhadap Paham-paham Agama

Moral politik yang pertama kali harus dipegang teguh oleh suatu pemerintahan adalah berlapang dada dan menghormati paham-paham agama yang dianut oleh rakyat atau oleh negara lain. Terhadap sesame Islam, Al Ghazali menegaskan tidak boleh berpikiran sempit, memakai paham egoisme mahzab. Al Ghazali memberikan dua saran untuk dapat melaksanakan toleransi ini:

  1. Nasihat terhadap segala kaum muslimin, baik individu maupun golongan agar mengendalikan lidah (dan pena) dari menuduh salah terhadap orang-orang Islam, selama mereka masih mengakui Allah adalah Esa dan Muhammad adalah utusan-Nya.
  2. Undang-undang yang ditujukan kepada setiap pemerintahan agar menetapkan tentang kebebasan berpikir dan berpendapat keagamaan. Harus diatur pula bahwa ajaran Islam terbagi dalam dua macam:

- Bersifat pokok (ushul) yang tidak boleh ditawar, yaitu rukun iman kepada Tuhan, utusan-Nya dan hari akhir, yang apabila ini dilanggar baru seseorang bisa dikatakan kafir.

- Bersifat cabang (furu’), yaitu segala soal-soal di luar tiga pokok di atas. Semua itu tidak menyebabkan seseorang kafir kalau menentangnya, kecuali mengenai satu hal, yaitu mengingkari akan suatu pokok agama yang sudah diterima secara mutawatir (diakui seluruh umat) dari Nabi Muhammad.

Adanya toleransi sebagai moral politik menunjukkan kebesaran jiwa dan keteguhan iman sejati.

Sifat Amanah (Jujur)

Al Ghazali memandang amanah sebagai moral politik, bukan prinsip politik, sebab itu ia memandangnya sebagai sesuatu yang harus dimilikioleh setiap pejabat pemerintahan agar berlaku jujur di dalam menjalankan tugas yang diamanahkan kepadanya. Pelanggaran terhadap ini disebut zalim. Peringatan terhadap pelanggarannya terutama ditekankan pada masalah keuangan negara.

Sifat ini harus dimiliki oleh pejabat pemerintahan dari yang tertinggi sampai yang terendah, juga harus dimiliki oleh seluruh rakyat. Ia harus merupakan kepribadian begara, yang mencerminkan watak dan tabiat umat dan bangsa seluruhnya. Maka, Al Ghazali menganjurkan diadakan hukuman bagi pelanggarnya dan mengundang-undangkan tentang keharusan amanah ini dalam setiap lapangan tugas dan jabatan pemerintahan, seperti di pengadilan, hubungan luar negeri, bahkan peperangan.

Sifat Jujur dalam Segala Transaksi dan Komunikasi Hidup

Sifat amanah di lapangan ekonomi sangat dibutuhkan untuk menjaga lancarnya perekonomian. Dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup, manusia dibagi dalam tiga golongan:

  1. Manusia yang rugi, yaitu manusia yang lalai dari agama dan akhiratnya karena mengurus dunia semata.
  2. Manusia yang termasuk bahagia, yaitu manusia yang kurang dunianya karena memikirkan agama (akhirat).
  3. Manusia yang lebih mendekati keadilan, mengusahakan dunia untuk mencapai kebahagiaan akhirat, ia seimbang antara dunia dan akhiratnya.

Syarat utama dari semua usaha ekonomi adalah kejujuran. Masing-masing pihak harus menerima amanah dan rasa keadilan, tidak boleh menganiaya atau merugikan pihak lain dengan cara apapun. Ekonomi yang sehat hanya dapat berdiri di atas moral rakyat yang baik.

Sifat amanah penting ditekan dapal lapangan sosial, seperti dalam hubungan keluarga, rumah tangga, hubungan pertemanan, dan sebagainya.

*Tulisan ini merupakan ringkasan buku “Konsepsi Negara Bermoral Menurut Imam Al Gazali” karya H. Zainal Abidin Ahmad (1975).

Bencana Pemisahan Ilmu Pengetahuan, Agama, dan Akhlak

Bencana Pemisahan Ilmu Pengetahuan, Agama, dan Akhlak:

Fanatisme, Rasionalisme-ateisme, dan Nihilisme-etis

(Pemikiran Al Ghazali Bag.2)*

Islam memajukan peradaban umat manusia melalui perpaduan antara ilmu pengetahuan dengan agama dan moral. Namun, perkembangan yang tidak sehat merebak pada di masyarakat, seperti yang kita kenal saat ini terjadi pemisahan antara dunia dan akhirat dalam kehidupan manusia. Pemisahan ketiga unsur: ilmu pengetahuan, agama dan moral digambarkan dalam tiga konsep, yaitu: fanatisme, rasionalisme-ateisme, dan nihilisme-etis.

Fanatisme

Fanatisme adalah taklid buta dan sifat jumud atau kaku dalam beragama, merupakan akibat dari pelaksanaan agama tanpa ilmu pengetahuan, yang menyebabkan hilangnya moral. Al ghazali memandang orang yang taklid buta bagaikan hewan yang tidak mempunyai sifat-sifat kemanusiaan yang sebenarnya. Orang yang taklid buta hanya mengekor pikiran dan fatwa orang lain tanpa mempunyai pikiran sendiri. Taklid buta tidak hanya ada dalam lapangan agama, tetapi juga dalam ilmu pengetahuan dan politik.

Sifat taklid buta tidak saja akan menggelapkan dan menjerumuskan diri sendiri, tetapi juga akan lebih berbahaya jika sifat itu menganggap salah segala sesuatu yang berlainan dari pendirian yang dipegangnya. Karena pahamnya yang sempit, orang yang taklid buta memandang pendirian yang dipegangnya adalah satu-satunya yang benar, sedangkan pendirian orang lain adalah salah dan sesat.

Sifat taklid buta menimbulkan sifat jumud, yang berupakan sifat yang berlawanan dengan apa yang diharapkan oleh Islam, yaitu tasamuh, yaitu toleransi dan lapang dada terhadap segala agama dan aliran, segala ideologi dan pikiran. Sifat tidak toleran terhadap orang lain sangat disayangkan karena dapat menimbulkan konflik dan pertumpahan darah.

Tasamuh atau lapang dada juga jangan diartikan sebagai tidak boleh mengecam atau menyalahkan agama atau aliran lain. Setiap orang bebas mengecam, menyalahkan, dan mengeluarkan pendapat dengan syarat berdsarkan ilmu pengetahuan. Maka, kita wajib beragama dengan ilmu pengetahuan.

Rasionalisme dan Ateisme (Pendewaan Akal dan Anti Tuhan)

Rasionalisme dan ateisme diakibatkan oleh ilmu pengetahuan yang dijalankan tanpa agama. Ilmu pengetahuan yang terlepas dari pimpinan agama dapat melahirkan kepandaian-kepandaian yang merusak dan mengacaukan dunia.

Al Ghazali mengemukakan bahwa terdapat tiga golongan para sarjana ilmu pengetahuan:

  1. Dahriyun atau materialistis, yang mengingkari adanya Tuhan dan mengatakan bahwa dunia hanya terdiri dari materi belaka.
  2. Thabi’iyun atau naturalis, yang menyelidiki rahasia alam dan mengatakan bahwa tidak ada sesuatu di luar alam ini.
  3. Ilahiyun atau teis, yang mempercayai adanya Tuhan yang mengatur alam ini dan menciptakan seluruh makhluk.

Kaum materialistik dan naturalistik adalah mereka yang mempuyai ilmu pengetahuan, tetapi mengingkari dan mendurhakai Tuhan (kaum zindiq dan ahli juhud). Ilmu tanpa agama dapat membawa dunia pada ateisme yang saat ini sangat merajalela.

Al Ghazali mengemukakan bahwa manusia membutuhkan ilmu pengetahuan, juga amal agama untuk mensucikan jiwanya. Dengan ilmu pengetahuan, manusia dapat mencapai tingkat kecerdasan yang sempurna, sedangkan agama dapat meluhurkan jiwanya. Ahli ilmu yang tidak beragama adalah orang yang fasik, tidak hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi orang lain.

Rasionalisme dan ateisme dimulai sekitar abad ke-15 dan 16, di mana saat itu terjadi pengejaran dan pemburuan yang dilakukan oleh kaum fanatic Kristen terhadap ahli-ahli pengetahuan yang menentang kebenaran agama mereka. Perburuan ini mendorong munculnya kebencian kepada agama Kristen yang menutup rapat akan segala pengetahuan di luar ilmu-ilmu gereja. Kebencian itu berakhir pada pemisahan antara ilmu pengetahuan dan agama, yang semakin lama semakin mendalam dan bertambah menjauhkan ilmu pengetahuan dari agama dan Tuhan, bahkan tidak lagi mengindahkan nilai-nilai moral dan akhlak.

Pada mulanya muncul rasionalisme yang mendewakan akal sebagai penyelamat dunia. Sesudah itu lahir naturalisme yang memusatkan segala sesuatu pada alam. Maka, muncul humanisme yang menjunjung tinggi akan kemanusiaan sebagai ganti ketuhanan yang diajarkan agama. Kemudia muncul materialisme yang menjadikan benda di atas segalanya, sebagai ganti dari wakyu dan keimanan. Akhirnya muncul ateisme yang menolak Tuhan dan mengingkari segala agama.

Pemuja-mujaan akal di bawah semboyan “free thingking” menjerumuskan akal itu sendiri pada pengangkatan dirinya menjadi Tuhan yang merasa berhak membuat “agama”. Maka, karena tidak percaya Tuhan, wahyu dan kitab suci, akal mengeluarkan firmannya sendiri. Pemisahan antara ilmu pengetahuan dan agama menimbulkan perpecahan dalam jiwa manusia pada abad ini.

Nihilisme-etis (Ilmu Pengetahuan Tanpa Moral)

Nihilisme-etis adalah wujud pemisahan antara ilmu pengetahuan dengan akhlak. Al Ghazali mengatakan bahwa pada hakikatnya, ilmu pengetahuan bukanlah suatu hal yang buruk, bahkan ia merupakan barang yang baik yang setiap manusia diperintahkan untuk mencari dan mempelajarinya. Segala ilmu pengetahuan adalah terpuji, sebagai alat manusia membentuk peradabannya. Namun, ilmu pengetahuan dapat berubah sifat menjadi tercela ketika penggunaannya tidak lagi mengenal batas-batas moral dan peri kemanusiaan.

Nihilisme-etis atau nihilisme nilai terlahir dari kalangan ilmuwan yang di dalam teorinya ingin membebaskan ilmu pengetahuan dari segala ikatan dan belenggu, bebas dari agama dan moral.

Ilmu pengetahuan yang melepaskan diri dari moral mengakibatkan korban jutaan manusia, dilihat dari peperangan dengan persenjataan dan mesin-mesin yang semakin canggih untuk menghancurkan. Rosseau menyatakan sebuah kenyataan bahwa semakin cerdas manusia dan semakin maju ilmu pengetahuannya, manusia bukanlah semakin maju akhlaknya, tetapi semakin merosot moralnya. Atau seperti yang diungkapkan oleh Gilouin bahwa dahulu manusia dididik untuk menjadi hamba Tuhan, tetapi saat ini manusia dididik untuk menjadi hamba mesin dan industri dengan segala ilmu pengetahuan yang melahirkan dan membesarkannya. . Namun, walaupun tampak ilmu pengetahuan semakin tidak bermoral, sesungguhnya kesalahan ada pada diri manusia yang telah menyalahgunakan ilmu pengetahuan.

Schopenhauer memberikan sebuah kiasan yang manarik antara ilmu pengetahuan dan moral, bahwa keduanya ibarat seorang yang buta dan seorang yang lumpuh. Akhlak adalah orang buta yang mempunyai tenaga, sedangkan ilmu penetahuan adalah orang lumpuh yang t dapat melihat. Jika keduanya hidup saling membantu, saling mengisi kekurangan masing-masing, maka dapatlah tercapai segala tujuan yang diinginkan.

*Tulisan ini merupakan ringkasan buku “Konsepsi Negara Bermoral Menurut Imam Al Gazali” karya H. Zainal Abidin Ahmad (1975).

Ilmu Pengetahuan, Agama dan Akhlak

Ilmu Pengetahuan, Agama dan Akhlak:

“Menuju Ilmu Pengetahuan Sejati”

(Pemikiran Al Ghazali Bag.1)*

Perpaduan ilmu pengetahuan dengan agama dan akhlak dikonsepkan oleh Al Ghazali sebagi al ma’rifah. Al Ghazali menerangkan jalan menuju ma’rifah sebagai kerinduan rohani untuk mengenal Tuhan dengan hati nurani melalui tingkat-tingkat ilmu pengetahuan. Al ma’rifah menjadi tingkat yang tertinggi di dalam pengetahuan dan kesadaran rohani manusia terhadap Tuhan.

Al Ghazali mengemukakan hubungan yang erat dan tak terpatahkan antara ilmu pengetahuan dengan agama dan akhlak. Hubungan inilah yang sedang dicari kembali dalan dunia ilmu pengetahuan modern terutama dalam bahasan mengenai islamisasi ilmu pengetahuan. Mengingat adanya kebutuhan kembali pada agama karena perkembangan jiwa manusia yang semakin lama semakin memprihatinkan, bahasan mengenai mengenal Tuhan lewat ilmu pengetahuan adalah tema yang penting. Manusia modern dinilai telah sangat rasional. Maka, ilmu pengetahuan sudah selayaknya menjadi jalan utama mengenal Tuhan, untuk menjadi insan kamil atau manusia yang sempurna.

Al Ghazali mengemukakan adanya empat tingkatan akal manusia. Empat akal tersebut antara lain:

  1. Akal yang berarti “kecerdasan”. Akal dimiliki oleh setiap manusia yang membedakan dia dengan hewan dan makhluk lainnya. Makna akal inilah yang secara umum dipakai oleh orang kebanyakan. Akal inilah yang dibawa oleh manusia sejak lahirnya sebagai modal pokok untuk hidup.
  2. Akal yang berarti “pengertian”. Akal ini mulai tumbuh pada manusia setelah akalnya yang pertama mulai berjalan dan berkembang sejak ia kanak-kanak sampai menjadi orang dewasa. Akal inilah yang telah mengerti akan benar dan salah, baik dan buruk, tercela maupun terpuji.
  3. Akal yang berarti “pengetahuan”. Akal ini timbul karena pengajaran dan pengalaman di mana seorang manusia telah menyelidiki dan mempelajari segala sesuatu dengan seksama. Akal inilah yang melahirkan ilmu pengetahuan seperti yang kita saksikan saat ini.
  4. Akal yang berarti “ma’rifah”. Akal ini merupakan puncak dari segala tingkatan akal, yaitu keinsyafan rohani manusia yang menyadari akibat sesuatu dan yang membawanya kepada keluhuran budi dan akhlak, serta memimpinnya pada Tuhan yang setinggi-tingginya. Akal inilah yang mencerminkan perpaduan antara ilmu pengetahuan dengan agama dan akhlak.

Tingkatan akal ini kemudian digambarkan oleh Dr. M. Musthafa Helmi dalam pembagian manusia dalam tiga tingkatan, yaitu:

  1. Iman kaum awam, yaitu kepercayaan (keagamaan) orang-orang yang hanya berdasarkan kepada keterangan-keterangan yang diberikan oleh orang lain, bukan hasil penyelidikannya sendiri.
  2. Iman kaum ulama, yaitu kepercayaan yang timbul dari hasil penyelidikan ilmu pengetahuan, dan inilah golongan ahli-ahli pengetahuan.
  3. Iman kaum arifin, yaitu kepercayaan yang memancar dari keyakina orang yang ruhaninya terbuka kepada Tuhan dan memegang teguh moral dan akhlak.

Konsep tentang ma’rifah menjadi dasar penjelasan Al Ghazali dalam teorinya tentang “ilmu pengetahuan yang sejati”. Ia mengemukakan bahwa ilmu pengetahuan tanpa amal adalah gila, sedangkan amal tanpa ilmu adalah tidak sah. Ilmu pengetahuan semata-mata tidak menjauhkan dari berbuat dosa dan kejahatan, dan tidak pula mendekatkan kepada perbuatan taat dan kebaikan sewaktu hidup di dunia. Sedangkan untuk akhirat, ilmu itu tidak sanggup membebaskan manusia dari hukuman neraka.

Al Ghazali menegaskan bahwa seseorang yang telah mencapai tingkat arifin atau ma’rifah adalah mereka yang menyatupadukan ilmu pengetahuan dengan keimanan (agama), sehingga mereka memiliki hasrat untuk beramal dengan sesungguhnya dan mewujudkan pendidikan akhlak.

Di dalam ma’rifah memancar niat yang ikhlas dan kemauan yang kuat, yang menjadi pokok pangkal bagi amal dan akhlak. Orang-orang yang demikian:

  1. Pertama kali akan tergambar di dalam cara berpikirnya.
  2. Kemudian mereka memiliki hasrat untuk menghadiri majelis-majelis pengajian.
  3. Mereka bergaul dengan orang baik-baik.
  4. Mereka merundingkan segala sesuatu dengan musyawarah.
  5. Kemudian dalam diri mereka terbentuk amal-amal yang baik dan akhlak yang tinggi.

Untuk mencapai hakikat ma’rifah ini, Al Ghazali mengemukakan adanya lima macam timbangan yang dianjurkan untuk digunakan seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya untuk mencerdaskan dan memperkuat iman. Kelima tiimbangan itu yaitu:

  1. Perbandingan yang besar (akbar) yang didasarkan pada pemikiran dan ilmu pengetahuan.
  2. Perbandingan yang menengah (awsath) yang didasarkan kepada pengalaman.
  3. Perbandingan yang kecil (ashgar) yang didasarkan kepada panca indera.
  4. Timbangan kemestian (talazum) yang didasarkan kepada suatu kebenaran yang dapat ditimbulkan oleh intuisi.
  5. Timbangan pertentangan (ta’arudh) yang didasarkan pada pertentangan antara sesuatu dengan sesuatu yang lain untuk menimbulkan kebenaran (sintesa).

Dalam kelima rangka tersebut, dibuka kesempatan yang sangat luas untuk menggunakan pikiran dan contoh-contoh perbandingan, dan kepatuhan kepada pemimpin. Dalam hal ini, sumber pikiran tertinggi adalah Al Quran dan pemimpin yang harus ditaati adalah Nabi Muhammad SAW yang manjadi contoh amal dan akhlak yang utama.

*Tulisan ini merupakan ringkasan buku “Konsepsi Negara Bermoral Menurut Imam Al Gazali” karya H. Zainal Abidin Ahmad (1975).