Laman

Selamat Datang...

Berbagi isi hati dan pemikiran...
Berbagi asa untuk mencapainya bersama untuk sebuah kemajuan...

Selasa, 25 Agustus 2009

Islam dan Psikologi: Mata Rantai Sejarah yang Hilang

Pada awalnya, sebelum kita mempelajari lebih dalam psikologi di universitas, kita akan mengenal terlebih dahulu apakah psikologi itu. Psikologi yang kita kenal sekarang ini berangkat dari pengetahuan kita mengenai sejarah munculnya psikologi. Sekadar untuk kilas balik (bagi yang pernah mempelajarinya) dan memberikan preview (bagi yang baru akan mengenalnya), ada baiknya untuk diungkapkan sedikit mengenai sejarah “resmi” psikologi yang kita kenal.

Psikologi yang kita kenal biasa dikenal juga sebagai psikologi “Barat”. Kata “Barat” di sini mengacu pada kenyataan bahwa psikologi memang lahir di Barat, tepatnya di Leipzig, Jerman, pada Desember 1898. Pada tahun itu psikologi dinyatakan secara resmi “lahir” ketika dibuka laboratorium psikologi pertama di Universitas Leipzig. Mulai saat itu psikologi berkembang, dari yang pertama aliran strukturalisme sampai yang terakhir, transpersonal. Psikologi yang lahir di Jerman dibawa ke Amerika Serikat dan berkembang sangat pesat di sana.

Psikologi sebagai ilmu yang mempelajari perilaku manusia membawa perubahan besar bagi manusia. Aplikasi ilmu tersebut merambah setiap bidang kehidupan yang di dalamnya ada manusia: perusahaan, sekolah, keluarga, kepolisian, rumah sakit, pemerintahan, dan sebagainya. Semakin jauh psikologi berkembang dengan berbagai manfaatnya, ternyata semakin banyak pula kelemahannya yang disadari oleh ilmuwan psikologi. Kelemahannya yang utama, yang akan menjadi titik awal keberangkatan kita, adalah Cultural Bounds atau batas-batas budaya. Maksudnya di sini adalah psikologi sebagai ilmu yang lahir di Barat menghadapi suatu masalah ketika diterapkan di masyarakat lain, seperti masyarakat muslim. Ada perbedaan budaya antara Barat (yang mendasari lahirnya teori dan praktik psikologi Barat) dengan apa yang menjadi keyakinan masyarakat muslim. Maka, ada sebagian dalam psikologi Barat yang tidak tepat diterapkan untuk masyarakat muslim.

Hal itulah yang kemudian mendorong lahirnya Psikologi Islami (Islamic Psychology). Usaha tersebut dirintis oleh seorang psikolog Sudan, Dr. Malik B. Badri dengan bukunya yang terkenal “The Dilemma of Muslim Psychologist” yang terbit tahun 1975 dan 1979. Pada tahun 1978 telah diadakan simposium internasional di Riyadh yang mengangkat tema Psikologi dan Islam. Beliau mengajak kalangan akademisi psikologi yang pada waktu itu sangat terpengaruh oleh psikologi Barat untuk mengembangkan psikologi sesuai dengan nilai-nilai Islam yang ada dalam Quran dan Hadist. Bagi masyarakat muslim, tentulah psikologi yang berdasarkan nilai-nilai Islam-lah yang tepat bagi kebahagiaan dirinya. Psikologi Islami tampak menjadi ilmu yang asing di era modern ini. Ia seolah-olah baru saja muncul sebagai cabang psikologi yang baru, yaitu pada tahun 1978 itu (bandingkan dengan usia psikologi Barat).

Kalau kita melihat baik-baik sejarah di masa lalu, sesungguhnya psikologi sudah berusia berabad-abad. Kita bisa memulainya pada masa Yunani kuno dimana filsafat Yunani menjadi induk ilmu pengetahuan. Dalam sejarah psikologi yang kita kenal, perjalanan sejalah seolah melompat dari masa Yunani sampai abad 19 ketika psikologi “lahir”. Namun, sejarah dunia sesunggunya mengatakan bahwa filsafat Yunani kemudian dipelajari oleh para ilmuwan muslim pada abad 8 sampai 15. Masa antara abad 8 – 15 disebut juga sebagai abad pertengahan adalah masa keemasan peradaban Islam. Pada waktu itu ilmu pengetahuan berkembang pesat di tangan ilmuwan muslim, tidak hanya ilmu-ilmu eksak, seperti astronomi, fisika, kimia, dan kedokteran, tetapi juga ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi dan, tentu saja, psikologi! Itulah mengapa kita katakan ada mata rantai sejarah yang hilang yang seharusnya diketahui para mahasiswa psikologi muslim.

Psikologi pada masa itu tidak dikenal sebagai psikologi, tetapi ilmu tentang jiwa atau dalam bahasa Arab-nya Ilm-al Nafsiat. Ilmuwan muslim mengembangkan psikologi berdasarkan nilai-nilai Islam yang ada dalam Quran dan Hadist. Psikologi adalah ilmu yang beretika, artinya ia memperlakukan manusia sebaik-baiknya sesuai fitrah dan keimanannya kepada Allah.

Etika dalam psikologi islami terdapat pada Quran Surat An Nisa ayat 5, yaitu: Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang Dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. Kita (psikolog) diperintahkan untuk berperilaku humanis pada manusia, terutama bagi mereka yang mengalami gangguan mental. Hal inilah yang mendorong didirikannya rumah sakit jiwa pertama di dunia pada abad ke-8 (di Baghdad pada tahun 705, di Fespada awal abad ke-8, di Kairo pada tahun 800, dan di Damaskus and Aleppo (Syria) pada tahun 1270).

Para ilmuwan muslim pada masa lalu telah banyak melakukan studi psikologis. Studi tersebut antara lain mengenai intelektual, “tabula rasa” dan nature-nurture, ekperimen psikologi, psikologi sufi, teori-teori berpikir, kesehatan mental, psikoterapi, gangguan fisik dan psikis, nosologi (ilmu mengenai pengklasifikasian penyakit), psikopatologi, neurosurgery, neuropsikiatri, neurologi, psikologi hewan, dan musikologi. Kita akan mengenal berbagai nama ilmuwan muslim, seperti Abu Bakr Muhammad Ibn Sirin (654 – 728), Al Kindi (801 – 873), Abu Zayd Ahmed ibn Sahl al-Balkhi (850-934), Najab ud-din Unhammad (870-925), Al Farabi (872 – 951), Ibnu Sina (980 – 1037), Al Ghazali (1058 – 1111), Al Farabi (872 – 950) dan Ibnu Khaldun (1332 – 1406). Ada banyak lagi ilmuwan muslim juga karya-karyanya yang melimpah. Peran pemikiran mereka sangat besar bagi psikologi di era modern ini, tetapi tentu saja, sebagian besar dari mereka tidak dikenal lagi.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk membuat kita bernostalgia pada masa keemasan Islam, tetapi lebih pada menyemangati bahwa kita, mahasiswa muslim dapat menjadi psikolog muslim tanpa meninggalkan Islam, dengan Quran dan Hadist-nya. Masa lalu membuktikan bahwa ilmu pengetahuan dapat berjalan bersama dengan agama dan melahirkan peradaban Islam yang megah. Bagi masyarakat muslim, baginya, tentu, lebih baik psikologi yang dapat memahami fitrahnya sebagai manusia dan agamanya, yaitu Psikologi Islami. Di tangan kita lah, kalangan akademisi, Psikologi Islami dapat berkembang di masa ini dan bermanfaat bagi umat..

Referensi:

http://en.wikipedia.com/wiki/Psychology_in_medieval_islam


Senin, 24 Agustus 2009

Tawakal, Tawakal, Tawakal

Jika Allah Menolong kamu, maka tak ada orang yang dapat mengalahkanmu; jika Allah Membiarkan kamu (tidak Memberi Pertolongan), maka siapa gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal.

QS Ali Imran: 160

Kita hidup dengan berjuta keinginan dan harapan. Pada kenyataannya, setiap keinginan dan harapan kita akan berhadapan dengan dua kemungkinan, yaitu tercapai atau tidak. Pada kenyataannya pula, setiap orang dalam kenghadapi kenyataannya akan memiliki dua pilihan reaksi, yaitu bersyukur atau merasa sial.

Berhasil atau tidaknya kita memang tergantung pada banyak hal. Seperti yang banyak kita baca di buku-buku mengenai keberhasilan dan kegagalan, penjelasan mengapa kita berhasil atau gagal ada pada dua faktor, yaitu faktor eksternal dan internal. Tidak perlu panjang lebar, faktor eksternal berkaitan dengan hal-hal yang ada di luar diri kita seperti pengaruh lingkungan fisik dan sosial budaya, sedangkan faktor internal berkaitan dengan hal-hal yang ada di dalam diri kita seperti kecerdasan, bakat, dan kemampuan individual kita. Disadari atau tidak, kita sering melupakan satu faktor penting yang sesungguhnya ada jauh di atas semua faktor tersebut. Pert

anyaannya, di manakah kita tempatkan Allah dalam setiap perjalanan hidup, keberhasilan dan kegagalan yang kita alami?

Kebanyakan manusia menjalani hidup dengan suatu “hukum” yang melekat dalam kepalanya: kemampuan (bakat, kecerdasan, dan sebagainya) diri berbanding lurus dengan keberhasilan. “Hukum” lain yang mungkin pula ia yakini adalah sebab dan akibat dalam kehidupan. Itulah mengapa orang menggunakan logika berpikir orang pintar nilainya bagus, anak berbakat akan menjadi orang sukses, orang yang memiliki kecerdasan ini dan itu yang baik akan berhasil. “Hukum” seperti itu tidak salah sebagai upaya manu

sia menjelaskan fenomena kehidupan yang ia hadapi. Namun, keyakinan seperti itu, sekalipun benar, juga memiliki kesalahan. Kita menjadi terlalu berpegang pada logika manusia dan melupakan bahwa Tuhan punya cara-Nya sendiri atas makhluk-makhluk-Nya.

Orang yang termakan “logika manusia atas keberhasilan” dapat kita lihat sebagai orang yang mati-matian menggenjot potensi dirinya. Pelajar yang ingin pintar akan belajar mati-matian. Kita lihat sebagian keluarga yang menyekolahkan dan mengkursuskan anaknya macam-macam untuk mengasah berbagai bakat. Pedagang yang ingin meraih keuntungan materi akan memanfaat seribu cara yang bisa ditemukan oleh otaknya yang cerdas. Politikus yang ingin berpengaruh akan memanfaatkan kecerdasan apa saja yang ia miliki untuk melakukan manuver-manuver politik di hadapan lawan-lawan politiknya. Merekalah yang ketika berhasil cenderung berpuas pada diri mereka sendiri, lupa bersyukur, dan lupa diri bahwa Allah-lah yang menganugrahkan nikmat tersebut seperti yang dapat kita baca pada QS Al Fajr: 15 – 16:

Adapun manusia apabila Tuhan-nya Mengujinya lalu Dimuliakan-Nya dan Diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata, “Tuhan-ku telah Memuliakanku.” Adapun bila Tuhan-nya Mengujinya lalu Membatasi Rezekinya, maka dia berkata, “Tuhan-ku Menghinakanku.”


Pada akhir yang tidak kita inginkan, ada orang yang terlalu termakan “syarat-syarat keberhasilan” tanpa memahami makna keberhasilannya. Merekalah orang yang menjadi puas akan suatu simbol, lambang atau atribut kuantitatif. Merekalah yang berpikir keberhasilan dapat dibeli. Ketika mereka gagal padahal telah melakukan begitu banyak hal, bisa dibayangkan apa yang akan mereka alami. Mereka bisa mengalami kekecewaan berat.Merekalah yang berpikir kesuksesan (kekayaan, dan sebagainya) adalah kemuliaan sedangkan kegagalan (kemiskinan, dan sebagainya) adalah kehinaan padahal semuanya kembali pada Allah yang Menguji manusia.

Ada sebuah cerita menarik mengenai urgensi tawakal kepada Allah yang bisa kita ambil pelajaran1. Seorang guru bercakap-cakap dengan muridnya yang akan mengikuti pendidikan kemiliteran. Si murid mengeluhkan bahwa matanya rabun, sehingga ia khawatir tidak akan lulus pemeriksaan dokter. Melihat muridnya yang bersedih, guru tersebut menasihatkan, “Tawakallah kepada Allah. Insya Allah kamu berhasil!” tegas beliau.

“Bagaimana saya akan berhasil, sedang salah satu mata saya pandangannya terganggut?” tanya si murid.

“Maka dari itulah, saya katakan bertawakallah kepada Allah… karena jika pandangan matamu sehat, pastilah kamu akan bertawakal kepada matamu.”

Si murid tersentak mendengar nasihat gurunya. Akhirnya ia memutuskan menjalani pemeriksaan dokter dengan tawakal kepada Allah. Ia menjalani tes tersebut dengan penuh percaya diri dan optimis dan lulus pemeriksaan.

Pada kesempatan dimana ia mengikuti uji coba perang, teman-temannya mengkhawatirkan ia tak akan berhasil karena matanya rabun. Ia sempat khawatir akan gagal, tetapi kemudian ia teringat nasihat gurunya sehingga keraguannya hilang sedikit demi sedikit menjadi keyakinan penuh terhadap Allah. Tidak disangka, ia menjadi penembak terbaik.

Semua orang heran dan terkejut mendengar kenyataan yang dialami si murid. Si murid menyadari bahwa keberhasilan yang demikian tidak perlu menimbulkan keheranan jika setiap orang mengetahui hakikat kebenaran tawakal kepada Allah.

Pernahkah kita mengalami kerterkejutan yang seperti ini, ketika kita menyangsikan keberhasilan orang lain karena ia tidak memiliki “syarat-syarat” berhasil menurut pandangan manusia? Banyak sekali peristiwa seperti itu terjadi, seperti seseorang yang selamat dari bencana padahal menurut teori manusia dia tidak mungkin selamat atau orang yang lemah, tetapi memiliki kekuatan yang luar biasa. Di tangan Allah-lah pertolongan yang tak disangka-sangka datang dan itu tergantung pada sejauh mana kita beriman dan berserah diri kepada-Nya.

Tawakal kepada Allah adalah penolong dalam banyak kejadian dan peristiwa dalam kehidupan orang-orang yang beriman kepada-Nya. Tawakal kepada Allah adalah teman di kala kesulitan menghadang, ia menumbuhkan kepercayaan dan kekhusyukan, mengilhami diri dengan harapan, ketenangan, kesabaran, dan keteguhan. Hakikat tawakal adalah mengerahkan segala daya dan upaya sesuai kemampuan manusia dengan menyerahkan urusannya setelah itu kepada Allah, Dzat Yang Maha Mengatur2.

Ketika kita memahami betapa pentingnya tawakal dalam hidup kita, hanya kepada Allah-lah kita berlindung. Kita tidak lagi menggantungkan hidup pada kecerdasan otak, bakat, kelebihan materi, pertemanan dan hubungan sosial, pengaruh keluarga, sekolah yang terbaik, dan begitu banyak faktor lainnya. Semua faktor itu berperan dalam setiap usaha atau ikhtiar kita. Dengan tawakal, kita menyadari batasan diri kita bahwa kita adalah makhluk yang sangat lemah di hadapan Allah dan kemudian menyerahkan akhirnya pada ketentuan Allah. Apapun yang terjadi, semuanya atas izin dan hanya karena Allah, apakah itu kegagalan atau keberhasilan.

Apakah kita bisa membayangkan bagaimanakah perasaan orang yang bertawakal kepada Allah? Pedagang yang tawakal adalah pedagang yang tidak bersedih ketika barang dagangannya hilang. Kita juga bisa membayangkan ketika kita bisa tidak bersedih ketika mengetahui nilai ujian kita jelek. Baik buruk apa yang kita dapatkan, itulah ketentuan Allah. Melalui apa yang terjadi kita mengambil pelajaran dari setiap ujian hidup, baik yang menyenangkan maupun tidak dan terus menjalani hidup dengan penuh semangat dan pikiran yang positif.

1 Lihat Asisi, Abbas. 2006. Biografi Dakwah Hasan Al Banna. Bandung: Syamil, h.24 – 25

2 Ibid h.25

Jumat, 07 Agustus 2009

Puasa Batin di Bulan Ramadhan

Kita semua merasakan bahwa Ramadhan selalu menjadi bulan yang berbeda dengan bulan-bulan yang lain. “Lebih mudah” beribadah pada bulan Ramadhan dibandingkan pada bulan-bulan lainnya. Tidak ada suasana yang lebih religius dimana Islam dikumandangkan di mana-mana selain di bulan Ramadhan. Tidakkah disadari ada pergerakan umat yang luar biasa? Umat Islam bersama-sama bangun di malam hari, stasiun televisi menyiarkan banyak acara keagamaan, masjid dan musola disemarakkan dengan bacaan Quran dan orang-orang yang salat, orang bersedekah di mana-mana dengan jumlah yang luar biasa, kegiatan-kegiatan amal digalakkan, majilis-majilis dzikir diadakan, keluarga-keluarga yang bekerja sama menyiapkan hidangan berbuka, orang menjadi murah hati kepada sesama, dan kesimpulanku, itulah Islam. Tidak ada bulan yang seperti itu selain Ramadhan.


Apakah Ramadhan menimbulkan semangat keagamaan tertentu? Pahala-pahala dilipatgandakan, dosa-dosa diampuni, pintu surga dibuka, sedang setan-setan dibelenggu. Ramadhan adalah bulan yang dipenuhi curahan rahmat dan ampunan, itulah yang memotivasi kita beribadah jauh lebih. Ramadhan menjadi bulan dimana diri kita dididik secara fisik dan psikis untuk menjadi insan yang menjalankan Islam dengan sebaik-baiknya. Dari situlah muncul pengembangan diri sebagai seorang muslim. Inilah yang sesungguhnya ingin kita capai.


Idealnya, pengalaman Ramadhan akan mewarnai kehidupan kita di sebelas bulan berikutnya. Idealnya, karena kita seakan-akan kembali seperti “bayi yang baru lahir”, kita akan menjadi insan yang lebih baik. Tapi kenyataannya, apakah kita benar-benar mengembangkan diri kita selama Ramadhan?


Rasulullah SAW pernah bersabda, “Banyak sekali orang yang berpuasa itu, tetapi tidak ada yang diperolehnya dari puasanya itu kecuali hanya lapar dan haus saja (yakni pahalanya lenyap sama sekali),” (HR Nasa’i dan Ibn Majah).


Kegagalan kita mengembangkan diri bisa jadi dikarenakan kita melalaikan bahwa puasa itu bukan hanya ibadah fisik, tetapi juga ibadah batin.


Al Ghazali dalam Ihya ‘Ulumuddin-nya menjelaskan tiga tingkatan orang berpuasa. Pembagian tingkatan ini dapat menjadi bahan renungan bagi diri kita.




  1. Puasa orang umum, orang yang berpuasa dengan cara menahan nafsu makan, minum, seks, dan kewajiban-kewajiban lahiriahnya.



  2. Puasa orang khusus, orang yang berpuasa fisiknya, ditambah pula dengan menahan pendengaran, penglihatan, lidah, kaki, tangan, dan anggota badan lain dari perbuatan dosa.



  3. Puasa orang khususnya khusus, orang yang selain berpuasa fisik dan menjaga diri dari perbuatan dosa, juga berpuasa hatinya, yaitu menahan diri dari pikiran-pikiran yang rendah, pemikiran keduniawian, dan menahan dirinya dari segala sesuatu yang untuk selain Allah secara keseluruhannya.




Banyak dari kita yang berhasil memenuhi syarat lahiriah saja, tetapi tidak untuk syarat batin. Bahkan, tidak banyak pula yang tahu syarat batin itu apa saja. Selanjutnya, Al Ghazali juga mengemukakan enam syarat batin berpuasa.


Pertama, memejamkan mata dan menahan dari leluasanya pandangan pada sesuatu yang tercela dan dibenci atau pada sesuatu yang menyebabkan kelalaian hati serta melengahkan diri untuk berdzikir kepada Allah. Maka, kita perlu hati-hati terhadap tayangan-tayangan di televisi, misalnya terhadap sinetron-sinetron yang tidak baik itu atau mencegah diri dari melihat hal-hal yang tidak baik.


Kedua, menjaga lidah dari senda gurau yang tidak berguna, berdusta, mengumpat, mengadu domba, berkata kotor, mencaci maki, bermusuhan dengan orang lain atau pamer kebaikan yang dilakukan. Maka, selama Ramadhan kita perlu menjaga obrolan yang kita lakukan dengan teman atau siapa pun, menjauhi hal-hal yang tidak berguna bisa dengan memperbanyak dzikir atau membaca Quran.


Ketiga, menahan pendengaran dari mendengar segala sesuatu yang dibenci, yang haram diucapkan dan haram didengarkan. Maka, selama Ramadhan kita perlu hati-hati pada tontonan yang kita tonton, musik yang kita dengarkan, perkataan buruk yang bisa kita dengarkan, dan sebagainya.


Keempat, menahan anggota tubuh dari segala perbuatan dosa. Tidak mencuri, memukul, menyiksa hewan, mengganggu orang lain, membuang sampah sembarangan, dan sebagainya.


Kelima, tidak terlalu banyak makan ketika berbuka. Puasa, dimana kita seharian menahan makan dan minum, tentu menambah nafsu makan kita ketika berbuka, tetapi inilah ujian kesabaran kita untuk tidak makan berlebihan (jenis maupun jumlah). Allah tidak menyukai orang yang perutnya terlalu kenyang, sekalipun ia memakan makanan yang halal. Perut yang terlalu kenyang biasa membuat kita malas beraktivitas dan beribadah.


Keenam, hendaknya setelah berbuka, di dalam hati masih ada perasaan antara takut dan berharap mengenai diterimanya amalan sepanjang hari kita atau tidak oleh Allah. Kita tidak tahu apakah puasa kita seharian disukai Allah atau tidak. Perasaan ini membuat kita lebih berhati-hati menjalani puasa di hari selanjutnya.




Pengembangan diri membutuhkan latihan menghadapi tantangan dan ujian dalam hidup. Puasa di bulan Ramadhan tidak hanya merupakan ibadah ritual, tetapi merupakan sarana mengembangkan diri bagi setiap muslim. Banyak yang berpikiran puasa adalah penderitaan hidup, tetapi sesungguhnya, banyak sekali manfaat yang dapat kita peroleh. Dari “penderitaan” puasa kita belajar memahami penderitaan saudara-saudara kita yang lapar, kita menjadi hidup bersyukur dan bersabar, membangun kontrol diri dan kehati-hatian, hidup berbuat baik terhadap orang lain, dan masih banyak lagi. Ayo, semangat menjalani Ramadhan tahun ini!




Referensi:


Mu’izatul Mukminin, ringkasan dari Ihya ‘Ulumuddin Al Ghazali.

Sabtu, 01 Agustus 2009

Seorang Muslim dan Hidup Merencanakan





Menjadi seorang muslim memiliki keistimewaan. Hidupnya tidak hanya dihadapkan pada tanggung jawab dunia, tetapi juga tanggung jawab akhirat. Hidupnya tidak hanya dihadapkan pada perencanaan hidup di dunia, tetapi juga perencanaan akhirat. Uniknya, apa yang ia rencanakan di dunia menentukan apa yang terjadi di akhirat nanti.


Konsep mengenai perencanaan hidup antara seorang muslim dan yang bukan tentunya berbeda. Kita sebagai seorang muslim tidak menjadikan dunia sebagai tujuan utama hidup, tetapi sarana untuk mencapai tujuan utama, yaitu akhirat. Berbeda dengan mereka yang meyakini lain, seperti mereka hanya memfokuskan diri pada pencapaian duniawi, mereka dapat dengan mudah kita lihat sebagai mereka yang tenggelam dalam pekerjaan, kesenangan, dan pergaulan yang, mungkin saja, bebas nilai. Seorang muslim menyusun lebih dari sekadar perencanaan hidup. Perencanaan hidupnya adalah perencanaan terbaik yang bisa ia susun untuk mencapai baik kehidupan dunia maupun akhirat.


Orang yang merencanakan hidupnya, ialah perekayasa masa depan kehidupannya. Seperti yang dikatakan oleh Leonard Duhl: “Para perencana, semuanya adalah pembawa perubahan dan setiap pembawa perubahan adalah perencana.”


Bagi kita, terutama mahasiswa yang mengaku dan merasa dirinya adalah agen perubahan alias “agent of change”, semestinya lah kita termasuk orang yang merencanakan masa depan. Juga bagi kita, muslim, tentunya kita adalah pembawa perubahan karena Islam mengajarkan kita untuk senantiasa menyususun suatu rencana hidup, bagi kebaikan di dunia dan di akhirat. Kalau digabungkan, kita mahasiswa juga seorang muslim, maka kitalah agen perubahan bagi dunia. Nah, tinggal bagaimana kita merencanakan hidup itu.


Ada baiknya kita mencermati apa yang dikatakan Ziauddin Sardar dalam bukunya Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim (1991).



“Orang-orang muslim akan selalu mencari keridhaan Allah, dan karenanya hasilnya tidak boleh dipandang sebagai hasil sementara: yang jadi persoalan adalah bagaimana mempertahankan jalan hidup islami yang diridhai Allah dan bagaimana merumuskan rencana-rencana untuk memberikan dorongan pada gaya hidup ini. Karena kita tidak dapat menghentikan kehidupan kita tidak dapat menghentikan kehidupan kita sendiri, maka kita pun tidak boleh berhenti membuat rencana. Kita akan terus membuat rencana untuk mencapai “cita-cita kehidupan akhirat”, suatu cita-cita yang memberi arah untuk dituju. Jadi, kita membuat rencana untuk mencapai “keselarasan” yang tak putus-putusnya dan bukan satu tujuan akhir.”



Bagaimana selama ini kita merancang masa depan kita? Apakah yang menjadi pertimbangan kita dalam merancangnya?


Kebanyakan dari kita akan mempertimbangkan kesuksesan ada pada prioritas pertama. Sejauh manakah kita mempertimbangkan tentang keridhaan Allah yang kita harapkan? Atau jangan-jangan malah tidak terpikirkan sama sekali…


Hidup seorang muslim tidak akan berarti kecuali ia melaksanakan sesuatu yang diridhai oleh Allah. Itu berarti Allah menyukai apa yang kita lakukan. Banyak sekali hal yang kita pilih, tetapi hal-hal tersebut ternyata merugikan, kita sadari atau tidak. Maka dari itu, perlu kita sandarkan perencanaan hidup kita pada apa yang menjadi pedoman hidup yang telah diridhai Allah, yaitu Islam.


Suatu perencanaan tidak pernah lepas dari strategi-strategi untuk mencapai tujuan. Strategi ini terdiri atas cara-cara yang lebih sederhana untuk menjalankan strategi tersebut. Cara-cara yang sederhana tersebut terlihat dari bagaimana kita menjalankan kehidupan sehari-hari dengan kata lain, adalah gaya hidup kita. Seberapa jauh gaya hidup kita sebagai seorang muslim mampu mendukung pencapaian-pencapaian kita di dunia dan di akhirat? Kitalah yang merasakannya sendiri.


Tidak salah. Tujuan dan perencanaan hidup kita lebih dari satu. Ada banyak tujuan dan perencanaan hidup, yang kecil maupun yang besar. Tidak salah bahwa lebih mudah menetapkan tujuan kecil sebelum memutuskan tujuan besar. Dari tujuan dan perencanaan sederhana, kita belajar memiliki tujuan dan rencana yang besar. Namun, hal yang kecil-kecil tersebut bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, ia adalah bagian dari pencapaian besar kita. Jadi, jangan diremehkan.


Apakah hal yang kecil itu? Boleh dikatakan, itulah gaya hidup kita yang terdiri atas perilaku-perilaku kita sehari-hari. Perencanaan tak lepas dari perencanaan perilaku pula. Kembali pada bahwa perilaku kita ditentukan oleh apa yang kita pikirkan dan rasakan, bagaimana kita merencanakan agar kita memiliki pikiran dan perasaan yang baik, yang akan mewarnai perilaku-perilaku kita?


Perencanaan sungguh-sungguh merupakan suatu keselarasan yang tidak ada putusnya. Selama waktu masih berjalan dan dunia masih memiliki dinamikanya, perubahan akan terus terjadi, tak ada yang salah dengan perencanaan yang kita buat sekalipun kita tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Enggan merencanakan? Itulah orang yang sungguh akan gagal.



"Hidup bermakna adalah suatu pencapaian yang mendaki serta sulit."