Laman

Selamat Datang...

Berbagi isi hati dan pemikiran...
Berbagi asa untuk mencapainya bersama untuk sebuah kemajuan...

Jumat, 27 Februari 2009

Mengalahkan Dalih Waktu


Seandainya seminggu ditambah satu hari lagi… Keluhan yang sering sekali kita utarakan ketika kita merasa “kehabisan” atau “kekurangan” waktu. Apakah waktu bisa habis atau kurang? Seperti yang kita tahu bersama, waktu yang telah berlalu tak akan berulang, kesempatan yang sama tak akan datang dua kali, dan hidup yang dijalani hanya sekali. Kita sama-sama memiliki waktu 24 jam sehari, 365 hari setahun. Setiap orang mengalami jumlah waktu yang sama, hanya saja yang membedakan adalah apa yang menjadi pengisi waktu tersebut.

Apa yang kita jadikan pengisi waktu merupakan suatu pilihan yang mengandung konsekuensi. Kita memiliki kebebasan untuk menentukan kegiatan macam apa, berapa banyak kegiatan, seberapa kompleks dan sebagainya untuk mengisi waktu, sesuai dengan peran kita. Namun, kebebasan memilih itu senantiasa diikuti oleh suatu tanggung jawab, yaitu tanggung menyelesaikan pilihan dan hasilnya. Mungkin pilihan yang kita ambil tidak menjadi urusan orang lain dan hanya menjadi masalah pribadi kita sendiri. Maka, ketika kita gagal atau tidak selesai melakukan sesuatu hal, paling tidak diri kita merasa bersalah atau stress sendiri.

Salah satu “kenikmatan” hidup sebagai manusia di zaman modern adalah kita selalu berurusan dengan waktu. Dinamika dunia bagaikan roda gigi yang semakin berputar cepat, menuntut kita untuk dapat bergerak mengiringinya minimal dengan kecepatan yang membuat kita tidak ketinggalan. Selalu deadline, deadline, dan deadline, dan lagi-lagi tidak jarang kita berdalih waktu yang terlalu sempit atas kegagalan kita.

“Berdalih” atau mencari-cari alasan untuk membenarkan suatu perbuatan bisa mengarah pada perkembangan pribadi yang kurang sehat. Perbuatan yang sebenarnya salah kita anggap benar-benar saja karena alasan yang kita anggap rasional: waktu yang kurang. Kita menyalahkan hal-hal yang ada di luar diri kita, yaitu waktu, sehingga seolah-olah waktulah yang harus menyesuaikan diri dengan kompleksitas masalah yang kita hadapi. Padahal, manusia memiliki kemampuan luar biasa yang dapat ia optimalkan dalam suatu keterdesakan karena sempitnya waktu. Kita hendaknya bisa berpikir kreatif, mencari kesempatan dalam kesempitan, kan?

Wujud kreatifitas kita dalam menghindari menjadikan waktu sebagai kambing hitam kegagalan kita adalah dengan memperbaiki sikap dan perbuatan kita terhadap waktu.

Pertama, hadapi setiap waktu yang kita miliki dengan pikiran positif.

Pada suatu ketika, kita sering mendapat tugas yang waktu pengerjaannya tidak panjang, yang membuat kita mengeluh bahkan sebelum memulai menyelesaikannya. Kita sebaiknya berpikir positif dan tidak mendahulukan mengeluh. Berpikirlah waktu yang tersedia bagi kita cukup memadai jika kita bersungguh-sungguh dalam berusaha. Kalaupun waktu yang tersedia memang sangat singkat, jadikanlah itu sebagai tantangan dan ujian untuk meningkatkan kemampuan diri.

Kedua, perhitungan dengan waktu yang tersedia.

Sering kesalahan kita adalah tidak memperhatikan detail dari waktu (bulan, hari, jam, menit, bahkan detik). Sering kita bersantai-santai ria ketika bilangan waktu masih bulanan, dan mulai panik ketika hari-hari yang tersedia bisa dihitung dengan jari. Untuk kesantaian kita, kita sering berdalih “Masih lama, kok…”, padahal masih lama itu hakikatnya sama seperti bom waktu yang detiknya berjalan mundur yang kalau tidak segera diselesaikan akan berakibat buruk. Dengan perhitungan yang baik, kita dapat menentukan rencana atau strategi yang pengerjaannya lebih santai dan tenang.

Ketiga, lakukan hal-hal yang baik dan benar saja untuk setiap waktu yangtersedia.

Sebagian dari kita “baik-baik” saja dengan pekerjaan awal yang kasar dengan dalih bisa diperbaiki atau diedit, kalau itu tulisan, di akhir nanti. Kebiasaan mengulang untuk memperbaiki atau mengedit kesalahan adalah membuang-buang waktu dan tenaga. Kenapa tidak berusaha sebaik mungkin sejak awal, memperbaiki atau mengedit kesalahan sejak awal dan tidak membiarkannya berlarut-larut? Karena lagi-lagi kita harus memikirkan efisiensi kerja dan waktu yang terbatas.

Keempat, lakukan hal-hal yang benar-benar ingin kita lakukan untuk kesuksesan (dunia dan akhirat, tentunya).

Jika kita yakin suatu perbuatan akan mengarahkan langkah kita untuk semakin dekat pada tujuan, jangan ragu untuk segera melangkah karena kesempatan yang sama mungkin tak datang untuk yang kedua kalinya. Ketika kita menginginkan sesuatu, fokuslah pada keinginan itu dan berusaha untuk mewujudkannya dengan tidak menunda-nunda langkah. Jangan menunda-nunda langkah terutama karena kita tidak tahu kapan waktu akan berhenti untuk kita.

Kelima, membuat perencanaan strategis terhadap waktu.

Untuk suatu tujuan, kita membutuhkan langkah konkret yang merupakan buah dari perencanaan kita atas tujuan tersebut. Waktu tidak dapat diputar ulang, ia selalu maju ke depan yang karena itu kita butuh perencanaan yang progresif juga. Perencanaan penting dalam hal mengarahkan kaki agar tidak salah melangkah. Salah melangkah adalah kecerobohan yang sangat merugikan waktu kita. Perencanaan juga sebaiknya tepat mencerminkan tujuan kita. Karena itulah, milikilah pengetahuan seluas-luasnya mengenai apa yang ingin kita capai.

Kematian ibarat panah yang diarahkan kepada kita, dan umur adalah sekadar perjalanan panah itu pada kita.

Waktu adalah kenyataan dalam kehidupan kita yang sebaiknya tidak kita hadapi dengan keluhan-keluhan. Waktu tak bisa disalahkan karena ia memang diciptakan untuk selalu melaju ke depan dan tidak melihat apa yang ia tinggalkan pada diri kita. Ketika kita diam saja atau melakukan sesuatu yang tidak efektif atau bahkan merugikan, ia tetap akan melaju sampai akhirnya anak panah itu akan sampai di tubuh kita, meninggalkan diri kita dalam keadaan kita masing-masing. Di tangan kitalah bagaimana keadaan kita.