Laman

Selamat Datang...

Berbagi isi hati dan pemikiran...
Berbagi asa untuk mencapainya bersama untuk sebuah kemajuan...

Rabu, 27 Mei 2009

Bagaimana Kau Melihat Dirimu Sendiri?

Suatu hari saya sedang menunggu bus di perjalanan pulang kuliah. Di sebelah saya ada beberapa orang yang sama-sama menunggu, salah satunya, wanita, mengajak saya bicara (atau sebenarnya saya yang mengajak dia bicara, saya sudah lupa). Setelah beberapa lama mengobrol, wanita tersebut mengeluhkan wajahnya, yang memang yang tampak adalah wajahnya yang kemerahan dengan kulit yang mengelupas. Dia bilang alasannya adalah karena salah pakai kosmetik. Saya mengatakan, ada orang yang tidak pakai kosmetik tidak apa-apa. Dia langsung menimpali, ”Orang itu memang sudah cantik...” Dalam hati saya berkata, ”Ooo...”

Mengapa kosmetik laris manis? Mengapa wanita ingin terlihat cantik? Mengapa wanita tidak ingin wajahnya menua? Mengapa bingung dengan pori-pori wajah, belang karena sinar matahari, jerawat, komedo, kulit berwarna gelap, kulit tidak halus, kulit tidak wangi, kulit tidak kenyal, kulit tidak bersinar, kulit tidak merona?

Salah satu buku yang baru saja saya baca membuat saya tertawa. Salah satu judulnya, begini: Bagaimana Membuat Anda Menderita? Jawabannya: Terus saja membandingkan dirimu dengan orang-orang ”hebat” di dunia. Bandingkan saja dirimu dengan mereka yang cantik, kaya, pintar, juara ini dan itu, jago ini dan itu, beken di sana dan di situ, kemudian rasakanlah betapa diri ini tampak begitu rendah. Sebanyak apapun yang kita miliki, kita tetap akan merasa kurang jika kita memandang diri kita secara negatif.

Konsekuensi dari interaksi sosial dan media massa adalah terjadinya perbandingan sosial. Kita membandingkan diri kita dengan orang lain, dan sebaliknya orang lain membandingkan dirinya dengan kita. Ketika kita merasa dan mengetahui diri kita memiliki kekurangan dan kekurangan itu kita anggap sebagai ancaman kehidupan, apa jadinya jika kita bertemu orang yang lebih dari kita? Apalagi ketika setiap hari kita ditampilkan terus-meneus orang-orang yang lebih ini di hadapan kita, seolah dunia bukan tempat bagi kita yang kurang.

Karena pemikiran ini, saya jadi mengerti mengapa sebaiknya kita menjauhi menonton sinetron. Kata orang, sinetron itu menjual mimpi. Itu benar. Karena sinetron itu gudangnya pembandingan sosial. Apa yang ditampilkan di sinetron? Rumah mewah, mobil mewah, gadis cantik dan pria tampan, teman-teman yang keren, hidup enak dilayani, atau hidup susah sebagai orang miskin, intrik-intrik keluarga kelas atas, perselingkuhan, dan sebagainya, yang sangat jauh keadaannya di kenyataan.

Iklan-iklan kosmetik juga begitu. Tentu saja iklan sampo menggunakan bintang yang rambutnya sudah dipermak sedemikian rupa. Iklan pemutih, tentu saja menggunakan mereka yang kulitnya sudah putih. Dan semuanya, tentu saja menggunakan bintang-bintang yang cantik. Mengapa kemudian kita membeli kosmetik? Karena tentu saja pembandingan sosial itu sudah terjadi bahwa yang ”normal” itu yang cantik. yang kurang cantik harus dibuat ”cantik”. Wanita harus cantik. Kosmetika tidak lagi bagi wanita muda, wanita tua juga. Dan hari ini pun kita telah mendengar bahwa penuaan sebisa mungkin dicegah. Hari ini pun kita melihat wanita-wanita yang mati-matian menjaga penampilannya, sebagian terus merasa dirinya jelek, sebagian merasa oke jika menggunakan kosmetik, dan hanya sedikit yang memutuskan menerima dirinya.

Penerimaan diri adalah isu besar dalam pengembangan diri kita, manusia. Dari makna katanya, penerimaan mengandung dua hal, yaitu mendapatkan sesuatu dan menyambut sesuatu tersebut. Apa yang menjadi milik kita adalah apa yang kita dapatkan dari Tuhan. Sebagian dapat dapat diubah, tetapi sebagian akan berjalan sesuai dengan ketentuan yang Tuhan tetapkan. Penerimaan tidak hanya mendapatkan, tetapi juga menyambut apa yang kita dapatkan itu, menyambut dengan hati senang dan tidak merasa rendah atau kurang. Penerimaan adalah terhadap apa yang nyata ada, bukan yang dibayang-bayangkan atau yang kita buat-buat.

Mengapa penerimaan menjadi penting untuk dilakukan? Karena dengan penerimaan kita akan menghindari konflik dalam diri.

Salah satu aspek dalam kepribadian kita adalah konsep diri, yaitu segala macam hal yang kita persepsikan adalah bagian dari diri kita, semua yang kita punya, meliputi: 1. pengetahuan tentang apa-apa yang kita miliki, 2. penilaian tentang apa-apa yang kita miliki tersebut, dan 3. apa harapan kita terhadap apa-apa yang kita miliki tersebut.

Kalau kita tahu wajah kita demikian, mata kita, hidung, pipi, dagu, warna kulit, dan semuanya yang ada pada diri kita, maka itu adalah pengetahuan tentang diri kita. Kita tahu kemampuan akademik kita sekian, kemampuan kita hanya sekian, kondisi keuangan kita sekian, itu semua adalah pengetahuan tentang diri yang selanjutnya membuat kita tahu yang ini adalah kelebihan kita, yang itu adalah kekurangan kita.

Lewat pembandingan sosial, kita mengetahui ada orang lain yang lebih baik dan ada orang lain yang lebih rendah dari diri kita. Evaluasi tentang lebih baik dan buruk ini mempengaruhi penilaian dan perasaan kita terhadap apa-apa yang kita miliki. Dengan wajah seperti ini, misalnya, saya tahu ada orang yang lebih baik. Mereka yang tidak mau menerima keadaannya akan dibuat tersiksa karena adanya perbedaan ini dan menilai negatif dirinya. Lain bagi mereka puas dengan apa yang dimiliki dan hidup sesuai dengan apa yang ia miliki itu. Mereka akan oke-oke saja dengan perbedaan dan tidak berusaha menyama-nyamakan diri dengan mereka yang berkelebihan.

Lain penilaian, lain pula pengharapan atas diri. Pengharapan diri menjadi lebih baik adalah hasil pengetahuan kita akan kekurangan diri. Kita tentu tidak ingin menjadi orang yang kurang, tetapi penilaian diri yang negatif akan menghasilkan cara memperbaiki diri yang berbeda dengan mereka yang penilaian dirinya positif. Mereka yang menilai diri secara negatif akan cenderung berkutat dengan kekurangan itu dan mencari segala cara untuk mengubahnya atau ketika gagal akan terpuruk. Mereka yang menilai dirinya secara positif, baik-baik saja dengan keadaan dirinya dan puas atas apa yng dimiliki, sekalipun tahu dirinya kurang, ia tidak akan menjadikan itu masalah utama dalam hidupnya. Ia akan mengembangkan diri dengan cara yang lain, pada potensi diri yang ia tahu adalah kelebihan pada dirinya.

Satu kalimat indah dari Tuhan: Manusia tidak akan sanggup menghitung nikmat yang Tuhan berikan pada dirinya. Selama apapun ia menghitung, seteliti apapun ia menghitung, hitungan itu tak akan pernah selesai. Jadi, apakah kita masih menganggap bahwa nikmat itu hanyalah hal-hal badaniah? Ada banyak nikmat, seperti keimanan, keyakinan pada Tuhan, dimudahkan dalam beribadah kepada-Nya, hidup sehat, hidup bahagian walaupun susah, dapat menikmati hari libur, diberi kesempatan untuk bersekolah, diberi kesempatan untuk memiliki teman dan keluarga, dan diberi kesempatan untuk hidup dengan penuh semangat, dan masih banyak lagi yang tidak akan pernah kita ketahui seluruhnya. Jadi, apakah kita masih berkutat pada hal-hal fisik dan merasa kurang di sana dan di sini? Ketahuilah, itu pengetahuan diri yang sempit sekali. Karena hidup lebih dari itu. Puaslah pada hidup ini. Bersyukurlah, karena niscaya Tuhan akan melimpahkan lebih banyak nikmat lagi.

Senin, 11 Mei 2009

Memahami Kesepian

Manusia, sebagai makhluk sosial, tidak bisa hidup tanpa manusia lain. Kontak sosial menjadi kebutuhan yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan. Ketika masih bayi, suara pertama kita adalah tangisan yang akan membuat ibu menghampiri kita. Sejak bayi, kita butuh diajak bicara, digendong, dibelai, dan dicintai, jika tidak kita akan mati.

Kebutuhan untuk bersama orang lain kita miliki sampai kita mati. Hanya saja sebagian dari kita merasa kesepian dan tidak memiliki teman untuk berbagi masalah. Apa jadinya ketika kita diberi kartu ucapan ”Penghargaan Orang Paling Tidak Populer”? Tentu hati kita akan hancur. Mereka yang diasingkan oleh teman-temannya merasa sakit hati yang mendalam dan cenderung menyalahkan diri sendiri. Mereka merasa malu dan tak bisa membicarakan masalah mereka dengan orang lain. Mereka, terutama lagi yang berasal dari keluarga miskin atau yang mengalami diskriminasi akan merasa kesepian sepanjang waktu.

Kesepian lebih dari sekadar sendirian dan cukup banyak orang yang menyukai kesendirian. Kesepian adalah ketika kita kehilangan dan merindukan suatu interaksi dengan orang lain (walaupun kita berada dalam keramaian, kita merasa kosong).

Terdapat banyak wajah kesepian. Kesepian terjadi ketika seseorang kehilangan interaksi dengan orang yang spesial dalam hidupnya, seperti ketika seorang adik kehilangan kakaknya karena kakanya sudah menikah, atau kehilangan suatu aktivitas sosial. Mereka yang mengalami kesepian sosial adalah karena tidak menjadi bagian dari kelompok sosial atau pertemanan yang mereka inginkan. Mereka yang mengalami kesepian emosional, tidak memiliki kedekatan atau keterikatan emosional dengan seseorang. Ada kesepian spiritual ketika kita merasa terpisah dari Tuhan. Ada pula kesepian eksistensial ketika kita merasa terpisah dari diri kita sendiri. Walaupun kesepian demikian buruknya, ada wajah lain dari kesepian yang mesti kita tahu.

Kesepian (loneliness) berbeda tipis dengan menyendiri (being alone). Dalam hidup kita dilahirkan sendirian, sendirian dalam menentukan perjalanannya, dan sendirian pula dalam kematian. Kita hidup bersama-sama orang lain, tetapi ada kalanya kita menjadi orang yang memisahkan diri. Kesendirian ini adalah kesempatan bagi kita untuk mengeksplorasi dan mengembangkan kualitas diri. Bisa dikatakan, kesendirian ini cukup bermanfaat.

Perasaan-perasaan apa yang sesungguhnya muncul ketika kita kesepian? Berdasarkan penelitian yang dilakukan Rubinstein dan Shaver (1982), terdapat empat macam emosi katika kita kesepian, yaitu: 1) desperation atau kehilangan harapan (merasa tidak berdaya dan takut), 2) depressed atau merasa depresi (merasa kosong dan mengasihani diri), 3) impatient boredom atau bosan yang tidak sabaran (bosan, marah, dan gelisah), dan 4) self-criticism atau mengkritik diri (merasa diri jelek, bodoh, dan tidak berharga). Kesepian dan harga diri membentuk suatu lingkaran setan, dimana kesepian dapat membuat harga diri rendah dan harga diri rendah juga dapat memunculkan kesepian.

Mengapa kita bisa mengalami kesepian? Jawaban yang paling umum adalah kehilangan suatu hubungan dengan orang lain, merasa tidak dibutuhkan, dan berbeda dengan orang lain. Kesepian dapat terjadi karena kepribadian kita tidak disukai orang lain sehingga kita dijauhi; kita yang tidak dimengerti oleh orang lain; lingkungan yang memaksa kita untuk menjadi sendiri; kita pindah ke lingkungan yang baru dan tentu berbeda; kita memiliki kebutuhan intimasi yang kuat dan tidak biasa; keluarga dan pertemanan yang miskin interaksi sosial; kesenjangan antara apa yang kita inginkan secara sosial dengan apa yang kita dapat sehingga muncul kekecewaan; mobilitas sosial yang membuat kita terpisah dari orang lain; memiliki keterampilan sosial yang buruk; rendahnya harga diri sehingga kita mengisolasi diri; kesulitan untuk mengungkapkan diri; persahabatan yang terbatas; sering menghabiskan waktu dengan aktivitas individual; nilai-nilai kultural, misalnya yang menekankan kompetisi dan kemandirian; tidak ada hubungan yang dekat dengan Tuhan; dan masih banyak lagi.

Mengapa kita butuh untuk mengenal perasaan apa yang muncul dalam kesepian dan sebab-sebabnya? Hal itu karena setiap orang punya sebab-sebabnya sendiri karena paa ia merasa kesepian. Jelasnya, sebab yang berbeda akan merefleksikan asumsi-asumsi yang berbeda tentang penyebab awal dan hasilnya dan membantu kita untuk menemukan cara-cara yang bebeda untuk menanganinya. Beberapa sebab memang mudah ditangani daripada sebab yang lain. Bisa jadi kesepian itu hanya muncul karena pemahaman yang salah tentang diri atau kurangnya kemampuan untuk bersosialisasi. Dari dua contoh tersebut, orang yang pertama dapat mulai mengatasi kesepiannya dengan memperbaiki pandangannya tentang diri, sedangkan orang yang kedua dapat mengatasi kesepiannya dengan melatih keterampilan sosial. Orang yang kesepian biasanya beropini yang buruk-buruk tentang dirinya dan opini-opini ini sangat kuat dalam membuat diri menjauhi kontak dengan orang lain untuk menghindari feedback yang mungkin negatif dari orang lain, misalnya untuk melindungi egonya yang rapuh.

Kesepian dapat memunculkan cara-cara yang negatif dalam upaya menghilangkan kesedihan karenanya. Beberapa orang bisa saja menjadi sangat mencintai idolanya sehingga perilaku terhadap idolanya menjadi berlebihan. Beberapa orang yang lain bisa jadi memiliki mekanisme penanggulangan masalah yang tidak produktif seperti melakukan penolakan terhadap kegiatan sosialisasi dengan alasan tidak tertarik dan sebagainya. Ada pula yang benar-benar menolak mengakui bahwa dirinya kesepian. Perilaku menipu diri ini akan melemahkan motivasi memperbaiki diri. Akhirnya, yang terjadi bukannya membangun keterampilan sosial dan hubungan sosial yang bermakna, orang tersebut malah mencari bentuk pelarian diri.

Terdapat lima kategori kegiatan yang dilakukan orang-orang yang kesepian. 1) Kesedihan yang pasif, dengan menangis, tidur, menonton TV, minum-minuman keras, menggunakan narkoba, makan, atau tidak melakukan apa-apa. 2) Kesendirian aktif, dengan bekerja, membaca, menulis, mendengar musik, berolahraga, dan betekun dalam hobi. 3) Menghabiskan uang dan meningkatkan penampilan. 4) Mencari-cari alasan dalam diri sendiri, seperti ”Aku sudah punya teman”, ”Aku punya kualitas diri yang bagus”, ”Kesepian ini tidak akan berlangsung selamanya”, dan sebagainya. 5) Menghubungi atau mengunjungi teman, meminta pertolongan atau bergabung dalam kelompok pertemanan. Cara pertama adalah yang paling umum dilakukan ketika kesepian, sedangkan cara keempat lainnya adalah cara yang cukup baik sebagai metode self-help.

Orang yang kesepian akan merasa kekurangan sesuatu dalam hidupnya, yaitu kebahagiaan bersama orang lain. Kesepian sebagai kondisi dimana kita sedang kehilangan dan merindukan suatu interaksi sosial perlu disadari sebagai suatu masalah yang harus diatasi segera. Sangat disayangkan jika ada orang yang menolak realita bahwa dirinya mengalami kesepian. Penolakan tersebut tidak akan membawa perubahan pada hidup malah menghambat berkembangan diri.

Sebagai makhluk sosial, kewajiban kita adalah saling memberikan kepedulian. Terutama terhadap mereka yang kesepian, kewajiban kita adalah mendekati mereka dan memberikan kepada mereka hubungan sosial yang hilang dari kehidupan mereka dan yang mereka rindukan untukmendapatkannya kembali.

Menanam Pohon Idealisme

Ada apa dengan idealisme sehingga orang berbondong-bondong meyakini ”Hidup Susah dengan Idealisme”? Ada banyak godaan yang membuat seseorang meninggalkan idealismenya, terutama godaan duniawi materialistik. Siapa yang tidak suka hidup enak dan mudah sekalipun itu mesti ditukar dengan ”cita-cita”?

Apa ada orang yang tidak punya cita-cita untuk hidupnya? Semua orang tentu punya. Setiap cita-cita yang kta ucapkan adalah cerminan tujuan hidup kita. Hanya saja, memang tujuan hidup setiap orang berbeda-beda. Seberapa jauh kita melenceng dari tujuan kita atau seberapa kuat kita bertahan untuk tetap sampai ke tujuan kita, di sinilah idealisme bermain. Tetap ideal artinya tetap pada apa yang kita tuju, yang berupa patokan-patokan yang kita anggap sempurna. Dan ketika kita dihadapkan pada istilah ”sempurna”, bukankah kita dihadapkan pada kenyataan tentang diri kita sendiri bahwa tidak ada manusia yang sempurna? Jadi, apakah idealisme itu masih bisa diwujudkan?

Jawabnya adalah ya. Inilah yang membedakan antara mereka yang menyerah dan mereka yang tetap terus.

Sayyid Qutb mengatakan bahwa orang yang hidup bagi dirinya sendiri akan hidup sebagi orang kerdil dan mati sebagai orang kerdil. Tapi orang yang hidup bagi orang lain akan hidup sebagi orang besar dan mati sebagai orang besar. Sebagaimana yang diberitakan dalam hadist nabi bahwa manusia yang paling baik adalah yang bermanfaat bagi sesamanya. Seperti apakah tujuan hidup kita sehingga idealisme kita adalah demi kebahagiaan bersama? Inilah yang kemudian juga membedakan antara mereka yang menjadi pahlawan dan mereka yang menjadi pengecut.

Akar Idealisme

Idealisme sebagai suatu pekerjaan besar tidak akan terwujud tanpa usaha-usaha luar biasa. Usaha yang luar biasa adalah respon terhadap stimulus yang berupa tantangan zaman, tantangan kehidupan yang tidak remeh. Namun, tidak semua orang menyadari tantangan zaman tersebut dan berperilaku untuk tujuan-tujuan jangka pendek dan untuk kepentingan pribadi.

Idealisme tidak tumbuh sekejab mata, artinya ada proses panjang, ada sosialisasi dan internalisasi pengetahuan. Maka, dalam proses ini faktor pendidikan sangat penting, terutama yang dilakukan oleh orangtua dan guru di sekolah.

Orangtua dan guru adalah orang-orang yang paling dekat bagi kita dan menjadi sosok yang sangat besar pengaruhnya pada diri kita. Setiap tindak tanduknya pada kita kita saksikan dan kita interpretasi sehingga tidak disadari mereka menjadi model bagi perilaku kita. Kita tahu betapa berharganya teladan yang mereka berikan dan kita kagum pada perilaku-perilaku mereka yang luar biasa. Rasa kagum itu menumbuhkan niat dalam diri bahwa kita ingin seperti mereka dan muncul pertanyaan apakah kita bisa seperi mereka? Dari sini muncul motivasi sehingga kita secara sadar memilih hidup sebagaimana sosok yang kita kagumi dan senantiasa mengembangkan potensi diri untuk mencapainya.

Batang Idealisme

Apa arti suatu motivasi tanpa keberanian untuk mewujudkannya dalam perilaku nyata. Berani adalah berhati mantap dan rasa percaya diri yang besar dalam menghadapi kesulitan.

Mewujudkan idealisme bukan hal sesederhana membalik telapak tangan. Banyak hal yang menggoda kita untuk meninggalkan idealisme, banyak hal yang menghambat pencapaian kita, tantangan dari orang lain yang meremehkan kita, kondisi diri dan lingkungan yang serba kekurangan, dan tidak adanya rekan untuk mewujudkan cita-cita besar, semua itu cukup dapat membuat kita berhenti. Keberanian ada karena kita sadar dalam menentukan apa yang akan kita ambil sebagai tujuan hidup. Keberanianlah yang membuat kita terus maju karena kita sadar bahwa cita-cita besar dibeli dengan harga yang tidak sedikit.

Keberanian perlu ditemani dengan kesabaran yang besar. Keberanian akan membuat kita maju, tetapi kesabaran itulah yang akan membuat kita tetap ada dalam keberanian itu. Sabarlah yang membuat kita tahan dalam menghadapi semua hambatan yang kita peroleh sepanjang jalan mewujudkan idealisme.

Menyuburkan Idealisme

Indonesia membutuhkan idealisme dalam perilaku setiap rakyatnya, perilaku kita semua. Perilaku mulia dan cita-cita yang sempurna pantas untuk diperjuangkan dengan yakin, semangat dan optimis. Mungkin satu-satunya pertanyaan kita kali ini adalah bisakah tujuan mulia itu diwujudkan oleh manusia yang serba kekurangan di dunia yang sama serba kekurangan ini?

Dari mana kita tahu sesuatu itu buruk jika kita belum pernah mengetahui yang baik? Sesungguhnya keadaan yang baik itu ada di dunia ini. Kebanyakan dari kita yang menganggap yang baik-baik itu hanya terjadi di masa lalu dimana dunia belum terlalu rusak dan menganggap yang baik-baik itu hanya milik orang-orang di masa lalu (hari ini tidak banyak lagi).

Apa yang yang kebanyakan kita terima dari lingkungan melemahkan idealisme tersebut. Dari dunia hiburan, bisa kita saksikan apa yang disajikan di televisi dan bacaan-bacaan. Banyak sekali hiburan yang tidak mendidik dan menginspirasi cita-cita besar. Dari dunia politik, tidak banyak para politisi yang memberika teladan perilaku berpolitik yang baik. Dari dunia pendidikan, peran guru sebagai tokoh kunci pembangunan bangsa semakin luntur karena motif-motif pragmatis dan keuntungan materi. Dan masih banyak lagi informasi-informasi negatif yang kita terima. Hanya sedikit hal yang mampu menginspirasi kita dan yang sedikit itu sangat berharga.

Sebagaimana tidak semua orang masuk surga, tidak semua orang pula memegang idealisme. Perjuangan mencapai cita-cita mulia hanya dilakukan oleh segelintir orang. Tetapi ada sebuah nasihat indah bahwa kekuatan itu tidak terletak pada jumlah. Kekuatan itu ada pada keyakinan. Ketika kita yakin pada apa yang kita perjuangkan, Tuhanlah yang akan menguatkan kita.