Laman

Selamat Datang...

Berbagi isi hati dan pemikiran...
Berbagi asa untuk mencapainya bersama untuk sebuah kemajuan...

Minggu, 03 Oktober 2010

Yuk, Menulis Essai

Menulis adalah aktivitas yang menyenangkan. Dengan menulis, kita dapat mengekspresikan diri kita. Menulis adalah bagian dari aktifitas intelektual. Pada kenyataannya, menulis ternyata sangat dibutuhkan, misalnya dalam proses belajar di sekolah atau bangku kuliah. Menulis menjadi kemampuan yang sangat berharga sehingga perlu dilatih.

Ada banyak macam tulisan yang dapat dibuat orang, salah satunya adalah essai. Menulis essai sesungguhnya mudah untuk dilakukan jika tahu kuncinya. Jika sebagian orang merasa menulis essai itu sulit, ada baiknya jika kita berbagi kiat-kiat menulis di sini. Berikut ini adalah sekelumit tentang cara membuat essai. Semoga bermanfaat ^^.

Apa Itu Essai?

Akan sulit bagi kita jika ingin menulis essai tanpa mengetahui terlebih dahulu essai itu apa. Betul? Tetapi, ada yang mudah di sini. Essai secara mudah diartikan sebagai tulisan pendek yang mengekspresikan pendapat kita tentang topik tertentu. Apapun pendapat yang kita tuliskan, itulah essai.

Kata “essay” berasal dari bahasa Prancis, essayer, artinya mencoba atau berusaha (a try or attempt). Esai adalah sebuah upaya mengkomunikasikan informasi, opini, atau perasaan, dan biasanya menyajikan argumen tentang sebuah topik. Dalam konteks jurnalistik, essai adalah tulisan yang berisi tinjauan atau bahasan suatu topik yang sama sekali mungkin tidak ada hubungan dengan berita atau peristiwa.

Di perkuliahan, kita cukup sering menulis essai, lho. Nah, itu dia jawaban-jawaban di lembar ujian kita (soal essai). Di kuliah, essai yang kita buat adalah essai yang sifatnya ilmiah. Bisa dikatakan bahwa inilah essai formal, sifatnya serius, berbobot, dan logis alias tidak mengawur. Inilah essai akademik yang sering juga disebut papers.

***

Macam-Macam Essai

Dalam menulis essai, ada macam-macam pilihannya nih. Mari kita lihat!

Essai Naratif

Essai Naratif menceritakan sebuah kisah atau cerita, misalnya tentang pengalaman atau peristiwa masa lalu, kejadian atau peristiwa yang baru saja terjadi/ sedang terjadi, bisa juga tentang sesuatu yang terjadi kepada orang lain. Essai naratif menggambarkan suatu ide dengan cara bertutur. Kejadian yang diceritakan biasanya disajikan sesuai urutan waktu (kronologis).

Essai Deskriptif

Essai Deskriptif menggambarkan sesuatu sejelas dan sedetil mungkin sehingga pembaca dengan mudah membentuk “gambar mental” (mental picture) tentang apa yang ditulis. Essai deskriptif biasanya bertujuan menciptakan kesan tentang seseorang, tempat, atau benda bahkan gagasan.

Essai Persuasif

Essai Persuasif meyakinkan pembaca untuk menyetujui sudut pandang penulis tentang sesuatu atau menerima rekomendasi penulisnya untuk melakukan sesuatu. Ringkasnya, essai jenis ketiga ini berisi ajakan atau seruan. Essai ini berusaha mengubah perilaku pembaca atau memotivasi pembaca untuk ikut serta dalam suatu aksi/ tindakan. Essai ini dapat menyatakan suatu emosi atau tampak emosional.

Sebelum menulis, kita dapat memilih mau jenis essai yang mana. Misalnya, kalau kita punya ide tentang trik-trik mengajarkan anak agar suka ibadah, kita bisa mencoba essai deskriptif. Kita jelaskan sebaik mungkin ide-ide kita.

***

Cara Membuat

Menulis essai itu mudah. Rumusnya cuma satu, yaitu paham bahwa essai pasti terdiri atas: pendahuluan, isi, dan penutup.

Pendahuluan

Bagian ini berisi latar belakang mengapa essai dibuat, pengantar, atau gambaran masalah yang ingin dibahas dalam essai.

Isi

Bagian ini berisi seluruh informasi tentang topik dari essai yang kita tulis, dari A sampai Z. Dapat dilengkapi dengan teori, fakta, gambar, bagan, dan sebagainya.

Penutup

Bagian ini berisi kesimpulan dari seluruh essai kita. Penutupan tulisan dapat dilakukan dengan menyebutkan kembali ide pokok, ringkasannya, atau dapat ditambah kalimat-kalimat persuasif.

***

Simple Steps for Writing an Essay

Lets Get Started!!!

Putuskan topikmu.

Buatlah outline atau kerangka essai tentang ide-idemu.

Tulislah hal-hal inti yang ingin kamu sampaikan dalam essai.

Tulislah bagian “isi” dari essaimu (poin utama, subpoin, dan elaborasikan).

Tulislah pembukaannya (pengantar bagi pembaca, sesuatu yang menarik).

Tulislah kesimpulannya (penutup dan rangkuman akhir essai).

Tambahkan sentuhan terakhir.

***

Any Troubleshooting?

Bingung menemukan topik?

Jalan-jalan, baca buku, atau mengobrol lah dengan orang-orang di sekitarmu. Insya Allah akan mendapatkan insight.

Tidak tahu caranya menulis?

Gunakan cara yang mudah! Pertama, buat daftar hal-hal apa saja yang kamu ingin pembaca tahu dari membaca essaimu. Kedua, coba buat outline atau kerangka sepoin demi poin berdasarkan hal-hal inti, tuliskan secara runtut dari pembukaan sampai penutup. Ketiga, kembangkan kerangka tersebut dalam bentuk kalimat-kalimat paragraf.

Tidak ada ide?

Carilah informasi seluas-luasnya tentang topik yang kamu pilih. Manfaatkan internet, perpustakaan, atau orang-orang di sekitarmu. Informasi ini yang akan menolongmu keluar dari kebuntuan ide.

Stres?

Sepertinya perlu rehat sejenak. Alihkan perhatian dari layar komputer Anda untuk minum segelas teh atau menonton televisi

***

Menulis memang butuh latihan dan kesungguhan. Pada akhirnya, keberhasilan ditentukan oleh kedua hal itu. Namun, jangan lupa. Isilah motivasi menulis dengan niat-niat yang baik, insya Allah, Allah Maha Menolong.

Peace! Selamat berkarya.

Selasa, 31 Agustus 2010

Menolong Itu (Memang) Menyenangkan

Tidak salah jika salah satu slogan untuk menggiatkan zakat di negeri ini adalah "menolong itu menyenangkan". Pada dasarnya, aktivitas menolong itu memang menyenangkan. Perasaan senang karena aktivitas positif ini tidak saja hanya melanda si penolong, tetapi juga yang menerima pertolongan. Akhirnya, kesimpulan kita adalah ditolong itu juga menyenangkan.

Mengapa aktivitas menolong itu membuahkan rasa senang atau bahagia? Hoho... mungkin ini rahasia langit. Entah mengapa, Allah punya cara agar manusia memelihara rasa peduli, memupuk jiwa sosial, dan saling mengasihi satu sama lain. Dari penderitaan kita semua belajar bahwa menderita itu tidak enak, makanya kita berusaha keluar dari penderitaan ini. Dari kebahagiaan kita juga belajar bahwa semua orang, juga diri kita, sama-sama ingin mencapainya. Banyak hal dalam hidup ini yang kita semua sama-sama mencapainya. Jadi, mengapa tidak kita mengusahakannya secara bersama-sama lewat program hidup "saling tolong-menolong"? Rasanya dunia akan menjadi semakin mudah dengan cara begini.

Tetapi, kalimat indah biasanya ada "tapi"-nya... Mengapa, mengapa, dan mengapa? Karena menolong ternyata tidak mudah, paling tidak, tidak semudah ditolong. Memberi tidak pernah sama dengan menerima. Orang yang memberi pasti memiliki sesuatu yang "lebih" dan dapat mengisi ruang kosong yang dimiliki orang yang menerima. Dan, untuk memiliki sesuatu yang "lebih", tidak semua orang mampu mengusahakannya. Adalah normal bagi orang yang benar-benar berlebih untuk menjadi penolong. Tetapi bagi orang-orang yang pas-pasan atau kekurangan, perbuatan memberi adalah suatu pengorbanan "besar".

Bagi orang yang lebih harta, lebih tenaga, dan lebih ide... mampu menolong adalah suatu nikmat jika diiringi dengan niat dan semangat beramal saleh. Namun, ada orang yang meskipun harta, tenaga, dan idenya lebih, karena niat dan semangatnya tidak ada... perbuatan menolong layaknya menjadi penderitaan. Menolong bukan lagi menjadi aktivitas memberi, tetapi aktivitas diambilnya apa yang dimiliki.

Jika menolong menjadi aktivitas yang penuh keterpaksaan begini... apa jadinya perasaan orang yang ditolong? Banyak orang yang mampu menolong untuk memenuhi kekurangan harta, tenaga, dan ide bagi orang lain, tetapi sedikit sekali orang yang mampu mengisi kehidupan orang lain dengan perasaan bahagia, bebas dari kesedihan. Bahkan ada orang yang malah menjadi sedih karena ditolong karena penolongnya... mengungkit-ungkit pemberian, memberi dengan wajah masam, memberi dengan diiringi kata-kata yang tidak sedap, memberi barang-barang yang kurang baik... yang itu semua disebabkan tidak adanya niat baik dan semangat untuk beramal.

Pada akhirnya, menolong itu akan benar-benar dan memang menyenangkan hanya kalau hati kita senang, bukan? Apakah pemberian kita besar, kecil, atau mungkin tak berharga bagi si penerima, menolong akan sangat menyenangkan kalau hati kita tergerak oleh semangat beramal dengan ikhlas. Ini PR bagi kita semua... menanamkan kesukaan beramal, semangat, jiwa sosial, kepedulian, dan keikhlasan bagi sesama manusia untuk mau saling tolong-menolong. Dan ini, sulit dan tantangannya... tidak main-main.

Sabtu, 28 Agustus 2010

Orang-Orang yang Berubah

Orang-orang berubah dari masa ke masa. Sering kita sulit percaya bahwa masa lalu sudah berlalu dan masa depan memunculkan orang-orang dengan jiwa baru... Sering pula kita bertanya apa yang membuat ini terjadi.

Salah satu jawaban yang sempat kupikirkan adalah kedewasaan. Ada orang yang berkata bahwa menjadi tua adalah suatu kepastian, tetapi menjadi dewasa adalah suatu pilihan. Apa sebetulnya yang tengah dilakukan orang-orang dalam perjalannya menjadi dewasa?

Bekal untuk menjadi dewasa sesungguhnya adalah sesuatu yang sederhana. Manusia sudah berpotensi menjadi sosok yang penuh kedewasaan ketika Tuhan menciptakannya dengan seperangkat alat untuk mengambil keputusan: akal, perasaan, dan hati nurani. Seperangat alat ini sudah kita semua miliki sejak kita masih kanak-kanak, tetapi penggunaannya semakin penting ketika kita menginjak usia remaja atau dewasa. Pada usia remaja sampai dewasa ini, kita dihadapkan pada masalah-masalah yang semakin kompleks sehingga kita perlu secara aktif dalam menggunakan kemampuan diri untuk mengatasi masalah tersebut.

Bekal selanjutnya adalah keberadaan suatu masalah. Masalah dalam hidup diciptakan bukan tanpa mengandung suatu manfaat. Secara memudahkan, jenis masalah dapat dibagi menjadi dua, yaitu masalah yang berdampak positif dan masalah yang berdampak negatif. Tetapi, sebaiknya dipertimbangkan bahwa apa yang membuat suatu masalah bernilai positif atau negatif adalah diri kita sendiri. Bagaimanakah respon kita dalam menghadapi masalah... apakah kita berani menghadapinya atau malah melarikan diri dari masalah? Seperti apakah respon kita memberi kita kesempatan untuk memanfaatkan kemampuan yang sudah diberikan Tuhan kepada kita.

Kedua bekal tersebut telah ada dalam diri kita. Tinggal, bagaimana kita mengolah keduanya sehingga berbuah kedewasaan dan memunculkan perubahan dalam diri kita.

Manusia diciptakan bermacam-macam, ada yang hidup dengan kondisi yang baik, ada yang tidak. Cukuplah itu menjadi jawaban untuk pertanyaan mengapa tidak semua orang mencapai kedewasaan dalam waktu yang dini. Kita akan kagum pada remaja yang sudah bertindak dewasa, tetapi mencela orang dewasa yang tidak dapat mengambil keputusan secara bijak. Kita tidak salah berpendapat demikian, tetapi ada baiknya jika kita belajar memahami bahwa orang butuh waktu untuk berubah menjadi lebih dewasa, menjadi lebih baik.

Kedewasaan membutuhkan proses belajar. Beruntung orang yang hidup dalam keluarga atau lingkungan yang melatihnya untuk menjadi dewasa. Tetapi, tidak sedikit orang yang beruntung itu tidak dapat memetik hikmah dari kelas kedewasaan yang diterimanya sehingga sepanjang waktu bergelut dengan ketidakpuasan dan cemoohan orang-orang di sekitarnya. Sebaliknya, ada orang yang memiliki riwayat masa lalu yang buruk mampu bangkit menjadi lebih baik di usianya yang lanjut.

Apa yang kemudian kupikirkan sebagai penyebabnya?

Kesadaran untuk memilih keputusan "Ini saatnya menjadi dewasa" dan bertindak untuk berubah. Kesadaran bahwa hidup ini butuh perbaikan penting dan tidak sekadar hanya ingin menjadi lebih baik. Sadar ada kebutuhan yang harus dipenuhi, ada amanah yang harus dilaksanakan, ada hidup yang harus diisi dengan baik... Menjadi dewasa membutuhkan suatu kesadaran... Dan kapan kesadaran ini muncul, sepertinya rahasia Tuhan.


Kamis, 08 Juli 2010

Tribut for the World Match: Semuanya (Bukan) Pahlawan

Ada baiknya kita memahami apa arti kata pahlawan. Pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. Sedangkan pahlawan kesiangan adalah orang yang baru mau bekerja setelah masa sulit berakhir atau orang yang ketika masa perjuangan tidak melakukan apa-apa, tetapi setelah peperangan selesai menyatakan diri pejuang.

Kalau bicara tentang sepakbola, kita sedang bicara tentang orang-orang yang menjadi pahlawan, bukan? Pahlawan bagi negaranya, bagi keluarganya, bagi klubnya, dan bagi diri pemain itu sendiri. Tidak aneh jika diberitakan para klub yang kalah, pulang lalu disambut bagaikan pahlawan oleh masyarakat di negaranya. Mereka itu bukannya "bagaikan" lagi, tetapi memang sudah pahlawan. Kalau dipikir-pikir, yang diusung mereka bukan kebenaran yang bertele-tele, tetapi yang diperjuangkan adalah asa banyak orang. Nah, ini perlu menjadi perhatian: ASA BANYAK ORANG.

Setiap perjuangan sejati dalam hidup adalah perjuangan yang memperjuangkan asa banyak orang, tidak hanya asa pribadi. Namun demikian, asa yang sejati muncul dari asa pribadi yang teguh dan mantap. Contohnya, banyak orang yang kini melecehkan pemain sepakbola X atau pelatih Y. Orang-orang mengatakan bahwa yang telah mereka lakukan adalah "sampah" karena kurang pengalaman, terlalu arogan, dan sebagainya. Lewat kacamata lain yang lebih bijak, bolehlah kita mengatakan pula bahwa mereka pahlawan.

Setidaknya mereka yang tengah dilanda berita tidak sedap adalah orang-orang yang memperjuangkan asa pribadi mereka, dari masa kecil yang tidak menyenangkan sampai bertanding di ajang bergengsi. Mereka memperjuangkan asa keluarga mereka, dari yang berasal dari keluarga miskin, sampai akhirnya mereka menjadi bintang yang juga bertabur bintang. Mereka juga memperjuangkan asa klub dengan mati-matian bertanding di berbagai laga, sampai mempertandingkan asa negara yang jutaan warga mengelu-elukan mereka dan mendukung mereka sampai akhir. Sekalipun mereka gagal, masih ada wajah yang berani menengadah. Poin kedua: USAHA KERAS DAN MORAL TANPA AKHIR.

Tidak banyak orang yang menyadari bahwa pertandingan olahraga adalah permainan moral, tidak hanya bagi pemain, tetapi juga penontonnya bahkan pengurus institusi yang mengurus olahraga tersebut. Dengan memiliki asa yang sama demi sebuah kemajuan, dengan penuh usaha dan kekuatan moral, setiap orang yang berkecimpung, apakah itu hanya bermodal suara menyemangati, mereka yang berpikir tentang strategi dan menerapkan strategi itu... Poin ketiga: SEMUANYA PAHLAWAN, karena mereka sudah berani menempatkan diri sebagai posisi itu dan berkorban sesuai kemampuan masing-masing.

Nah, pertanyaan besar selanjutnya: status apa yang bisa kita berikan pada semua orang yang berkaitan dengan olahraga di negara kita Indonesia? Dengarkah berita terakhir bahwa pengurus PSSI pergi ke Afrika Selatan dengan biaya besar untuk menyaksikan "detik-detik terakhir" piala dunia? Tahukah fenomena "komentator olahraga" yang asyik-masyuk mengomentari jalannya pertandingan? Tahukah fenomena "nonton bareng" mulai dari rakyat yang paling miskin sampai yang elite di tempat-tempat mewah? Atau "banjir hadiah" yang menyertai acara pertandingan untuk menarik minat penonton di rumah?

Di mana mata mereka sehingga tidak sadar bahwa ada mata yang tidak senang melihat kelakuan mereka. Ada sesuatu yang sakit dan menyakitkan. Kesenangan orang Indonesia menghadapi piala dunia kok seakan-akan mereka pahlawannya, ya? Boleh saja senang menonton pertandingan, tetapi mengapa sampai begitu booming-nya "Mana pendukung kesebelasan X??? Mana pendukung kesebelasan Y???" Pertanyaan bodoh. Kita mendukung atau tidak kesenangannya hanya mampir sebentar selama 90 menit lalu selesai. Jika negara X menang, artinya kemenangan pendukungnya di Indonesia, senangnya bukan main seakan-akan X itu negara kita sendiri.

Lihatlah kondisi negara kita... Supporter-nya hooligan, pemainnya buruk, wasitnya pilih kasih, orientasinya materi, materi, dan materi, kesejahteraannya buruk, lapangannya becek tak terawat, tidak ada kaderisasi, pengurus olahraganya mementingkan diri sendiri... Menangis: di mana keberanian dan pengorbanan yang selama ini diharapkan untuk menjawab asa negeri. Selama ini kita asyik menjadi pahlawan kesiangan, sok sudah berbuat banyak, tetapi hasilnya tidak ada. Tidak pantas kita senang berlebih-lebih atau bereksklusif ria dalam menonton sepakbola kalau perilaku kita itu tidak mewakili asa berjuta rakyat yang ingin negaranya (kembali) punya nama yang harum di mata negara lain.

Jika dipertandingan yang sebenarnya semua orang adalah pahlawan, nah, kita? Kita penonton para pahlawan yang tidak pernah menjadi pahlawan. Kita baru bisa menyerap kesenangan, belum menyerap pelajaran atau sentilan yang ditimpakan situasi kepada kita. Setelah piala dunia ini selesai, negara-negara lain sibuk memikirkan strategi untuk empat tahun ke depan, tetapi Indonesia... "Euh, tidur dulu ah... semalam begadang, nih. Sial, jagoku kalah..."

Kita adalah "sampah" dari peristiwa-peristiwa besar dunia, kalau begitu... Nah, kapan kita akan memulai gerak demi peristiwa-peristiwa besar hidup negara kita sendiri? Saat itulah kita menjadi pahlawan bagi bangsa dan negara. Jika tidak juga mau bergerak, kita semua butuh lebih banyak komentar sarkastik, kalau begitu... Orang yang baru bisa bergerak kalau dipecut rasa malu dan kesempitan hidup, mereka tidak belajar dari kehidupan yang menyediakan banyak kesempatan besar untuk bangga dan sejahtera.

Jumat, 04 Juni 2010

Inspire The World with Words

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhan Yang menciptakan, Dia telah Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Paling Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Al ‘Alaq: 1 – 5

Surat Al ‘Alaq sering dijadikan motivator utama bagi umat Islam untuk gemar membaca. Namun, bacalah secara lengkap dan cermati maknanya bahwa kita juga diperintahkan untuk menulis. Manusia belajar dengan membaca di mana perantaranya adalah kalam (baca: pena). Membaca dan menulis seakan-akan merupakan dua sahabat yang tak terpisahkan. Kita bisa membaca karena ada gagasan yang dituliskan, sedangkan tulisan ada karena kita pernah membaca sehingga kita memiliki pengetahuan yang bisa dituliskan. Inilah proses yang membentuk sebuah siklus yang tidak ada hentinya.

Disadari atau tidak, apakah benar ada lebih banyak orang yang suka membaca daripada menulis? Jika ditanya apa hobi kamu, jawaban “membaca” tampak lumrah. Namun, berapa banyak dari kita yang juga menjadikan “menulis” sebagai pelengkap “membaca”? Nah, ini perlu direnungkan. Bayangkan jika orang-orang yang punya pengetahuan malas menuliskan pengetahuannya, bayangkan jika orang-orang yang punya fantasi malas menuliskan ceritanya. Bayangkan jika kebenaran tidak diawetkan dalam tulisan. Jika hal yang demikian terjadi, saat ini mungkin kita masih menjadi manusia primitif. Zaman memulai sejarahnya sejak ada tulisan, bukan?

Berbeda dengan membaca yang dapat dilakukan jika kita bisa membaca, menulis memang merupakan aktivitas yang jauh lebih kompleks. Jika membaca kita hanya menerima dan memahami suatu ide, menulis membutuhkan lebih dari sekadar memiliki sebuah ide. Bagaimana suatu ide dituliskan, inilah persoalan yang membuat banyak orang mengatakan menulis itu susah. Bagaimana mengungkapkan ide lewat kata-kata, inilah tantangan yang tidak semua orang mau dan mampu menjawabnya. Kedudukan orang yang membaca lalu menulis menjadi lebih tinggi daripada orang yang cuma bisa membaca. Maka dari itu, penulis biasanya lebih “kaya” daripada pembacanya.

Menulis itu lebih kompleks karena menulis membutuhkan keterampilan menulis. Sama seperti belajar membaca, matematika atau bahasa Inggris, belajar menulis butuh proses, usaha, tenaga, kesabaran, dan latihan. Kita akan semakin mahir menulis jika kita terus berlatih meneruskan ide. Untungnya, keterampilan menulis tidak membutuhkan guru atau sekolah khusus karena pengalaman adalah guru terbaiknya. Pengalaman dari membaca, pengalaman belajar, pengalaman menyaksikan fenomena, pengalaman mengalami suatu kejadian, dan banyak pengalaman lainnya.

Karena keterampilan menulis membutuhkan proses, kita tidak dapat secara instan menjadi penulis yang ahli, terkenal, dan handal. Kita akan mengawalinya dengan suatu ketidakmahiran dan tulisan-tulisan yang jelek, tetapi semua itu akan terpoles jika kita terus berusaha, terus mencoba, terus mencipta, dan juga, terus membaca tulisan orang lain. Apakah kita berani menerima tantangan ini? Bagi yang termotivasi menulis, yakinilah… Saat ini mungkin kita baru bisa membaca dan terinspirasi oleh orang lain, tetapi kelak kita pasti bisa menulis dan mengembangkan pemikiran sendiri. Saat ini kita belajar dan berlatih, kelak hasilnya akan kita lihat ketika kita menjadikan diri inspirator bagi orang lain.

Islamisasi Psikologi: Apa dan Bagaimana?


Dan Dia Mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya…
“Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau Ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkau-lah yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
(QS Al Baqarah (2): 31 – 32)

Psikologi atau ilmu jiwa adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang banyak menuai kontroversi. Kontroversi yang terjadi seputar teori dan aplikasinya terkait dengan cara pandangnya terhadap manusia yang tidak sesuai dengan apa yang diyakini dalam Islam. Jika hal ini tetap diteruskan tanpa tindakan tertentu, maka psikologi dapat menjadi ilmu yang membawa kerugian bagi perkembangan jiwa dan perilaku umat Islam. Bagaimana menyelaraskan psikologi dengan akidah Islam kini menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua, baik mahasiswa maupun ilmuwan muslim.

Agenda islamisasi ilmu pengetahuan tidak hanya terjadi pada psikologi, tetapi juga bagi ilmu-ilmu yang lain. Segala macam ilmu bersumber dari Allah, namun dalam penggunaannya oleh manusia, ilmu dapat menjadi sesuatu yang bermanfaat atau yang merugikan. Sebagai contoh, sains (ilmu eksakta) akan merugikan jika sifatnya yang seharusnya netral disusupi oleh ideologi tertentu, seperti yang terjadi pada teori evolusi yang dapat menggiring seseorang pada atheism. Contoh yang lain adalah jika ilmu yang coraknya dipengaruhi oleh budaya, kondisi sosial, dan ideologi masyarakat tertentu diuniversalkan bagi seluruh masyarakat dunia.

Penerapan psikologi bagi seluruh masyarakat dunia menjadi tidak mungkin tanpa terlebih dahulu disesuaikan dengan konteks. Psikologi tidak sama seperti ilmu eksak yang pasti karena diri manusia yang menjadi objek pembahasannya begitu beragam dan dipengaruhi oleh konteks sosial, budaya, agama, dan cara pandang yang ada. Bagi masyarakat Islam, tentu psikologi yang diterapkan adalah psikologi yang sesuai dengan Islam. Psikologi islami yang hadir adalah psikologi yang didasarkan pada Al Quran dan Hadist, pedoman hidup umat Islam.

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana islamisasi ini dilakukan. Berbagai tokoh ilmuwan muslim telah menyimpulkan setidaknya dua cara mengislamisasikan psikologi. Cara pertama adalah dengan membangun psikologi melalui sumbernya langsung, yaitu Al Quran dan Hadist, dan kedua adalah dengan memanfaatkan ilmu yang sudah ada dan menyaringnya, mana yang sesuai dengan Islam, mana yang tidak.

Kedua cara tersebut tampak sederhana, tetapi sesungguhnya tidaklah mudah. Ada satu hal yang harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum islamisasi dilakukan. Hal tersebut adalah pemahaman Islam yang benar yang harus dimiliki para psikolog muslim. Islam adalah pengetahuan fundamental yang harus dipahami sebelum kita mempelajari ilmu lain. Dengan memahami Islam, kita mengetahui tolok ukur tertentu sebagai filter untuk mengetahui mana yang benar dan mana yang salah dalam psikologi saat ini. Dengan memahami Islam pula lah kita tahu dari mana seharusnya kita berangkat untuk mengembangkan psikologi islami. Karena itu, pengembangan psikologi islami tidak dapat dilakukan secara terpisah-pisah. Banyak pihak yang dapat diajak bekerja sama, seperti ahli tafsir, ulama, budayawan, dan sosiolog, dalam hal meneliti, mengkaji, dan menerapkannya.

Jika kemudian ditanya manakah cara yang paling tepat, jawabannya adalah keduanya. Cara yang tepat bagi seseorang disesuaikan dengan kemampuannya. Ilmuwan yang sangat memahami kandungan Al Quran dan Hadist, ia dapat mengembangkan psikologi dari sumbernya langsung. Ilmuwan yang memiliki pemahaman Islam yang terbatas dapat mengembangkan psikologi islami sambil mendalami Islam, membandingkan psikologi yang ada dengan konsep-konsep yang islami, mengevaluasi, memperbaiki, dan menyimpulkan suatu teori yang lebih baik lagi.

Apa yang dapat dilakukan mahasiswa psikologi? Inilah pertanyaan besar yang perlu dijawab.

Mahasiswa sering dipandang sebagai sosok yang belum matang secara intelektual. Kita sebagai mahasiswa baru saja mengenal psikologi. Ketika yang banyak dipelajari di bangku kuliah adalah psikologi Barat, maka yang harus secara mandiri kita lakukan adalah mempelajari Islam untuk meningkatkan kapasitas diri untuk mempersiapkan masa selanjutnya. “Ilmu tanpa agama, buta. Agama tanpa ilmu, lumpuh.” Inilah yang menjadi penyemangat bagi kita. Ada kesempatan yang begitu besar bagi psikologi islami untuk berkembang lebih jauh lagi. Karena Islam adalah agama yang universal, dengan berusaha keras tentu dapat dikembangkan psikologi yang sesuai dengan fitrah manusia yang sebenarnya, yang dapat dipahami semua orang, dan diterapkan tanpa menciderai jiwa.

Bersabar Menuntut Ilmu


Rasulullah bersabda: “Amat mengagumkan keadaan orang mukmin. Semua yang dilakukan selalu baik, dan itu ada hanya pada orang mukmin. Jika memperoleh kesenangan, dia bersyukur. Sedangkan jika menghadapi cobaan dia bersabar, dan itu baik pula bagi dirinya.” (HR Muslim).

Sabar adalah akhlak mulia yang menjadi kekuatan orang-orang beriman. Sabar adalah penolong ketika kita mendapatkan cobaan. Dengan bersabar, setiap mukmin akan menjadi sosok yang tegar, tahan banting, tidak putus asa, dan terus berusaha. Kehidupan adalah tempat yang tepat untuk mempraktikkan kesabaran. Tentu saja, setiap dari kita tidak akan lepas dari kesulitan-kesulitan hidup. Salah satunya adalah kesulitan-kesulitan dalam usaha kita mendapatkan ilmu pengetahuan.

Kesempatan belajar adalah nikmat yang luar biasa yang Allah Berikan. Di samping kita harus bersyukur bisa menjadi mahasiswa, kita juga perlu bersabar. Kenapa? Karena proses belajar mengandung cobaan-cobaan yang bisa membuat kita “gila”. Ada saja emosi-emosi negatif yang dapat hadir dalam diri dan di sekeliling kita, mulai dari yang disebabkan oleh cuaca yang panas, lapar, tidak ada semangat belajar sampai bolos kuliah, malas belajar, “kantong kering”, konflik dengan teman atau dosen, tugas yang seabrek, amanah organisasi yang segunung, sampai stres berkepanjangan lantaran prestasi belajar tidak naik-naik. Mereka yang tidak sabar akan cenderung berperilaku tidak terpuji bahkan memunculkan masalah lain yang lebih besar.

Nah, jelas bukan bahwa sabar itu penting sebagai pendorong kita untuk bertahan menempuh cobaan hidup yang namanya “kuliah”. Sayang, akhlak ini sering dilalaikan oleh kita semua. Banyak orang yang berpikir sabar adalah milik orang-orang susah yang hidup tanpa harta. Tidak demikian tentunya. Bagaimana kita mengembangkan diri tergantung sejauh mana kita mengelola diri untuk menghadapi cobaan dan melaksanakan apa yang Allah Perintahkan pada orang yang beriman.

Bagaimanakah caranya bersabar? Sabar adalah buah dari keimanan. Ketika ingin bersabar, kita perlu memupuk keimanan dan optimisme, misalnya lewat pengetahuan tentang keutamaan ibadah. Tahukah teman-teman betapa Allah Menyukai orang-orang yang menuntut ilmu (QS 58: 11)? Menempuh jalan untuk menuntut ilmu adalah wujud takwa kepada Allah Swt. Perjuangan kita untuk mendapatkannya tergolong jihad. Jika hikmah menuntut ilmu sedemikian besarnya, bagaimana kita tidak lebih memilih bersabar ketimbang sibuk berkeluh kesah atau “gila” saking stresnya dan memperturutkan emosi sesaat?

Sabar adalah teguh dan tahan untuk mengendalikan hawa nafsu. Dengan bersabar, kita tidak dikendalikan oleh kehendak yang buruk yang muncul karena kesulitan dan cobaan. Keteguhan ini membuat kita mampu mengalahkan perasaan lemah, tidak semangat, kesedihan, dan kekecewaan selama menuntut ilmu. Hal ini menunjukkan bahwa sabar itu tidak hanya terkait masalah fisik. Kesabaran juga terkait dengan moralitas lewat upaya mengesampingkan nafsu-nafsu yang buruk yang mengganggu tujuan kita dalam menuntut ilmu yang bermanfaat.

Nah, apa sajakah indikator sabar sepertinya perlu kita ketahui. Mari kita cek apakah sudah kita lakukan, antara lain: tidak memperturutkan nafsu (contoh: makan-minum dan bersenang-senang berlebihan), tidak berkeluh kesah ketika terkena musibah, tidak sombong ketika berkecukupan, tidak menjadi pengecut ketika diandalkan, menahan emosi ketika marah, menjaga lidah, dan tidak serakah atas keinginan-keinginan.

Sudahkah kita bersabar?

Karena bersabar itu butuh perjuangan, yuk, kita kontrol diri baik-baik dari sekarang. Sudah ada banyak mahasiswa berprestasi atau menjadi aktivis. Tetapi, menjadi mahasiswa sabar dan tetap bersemangat menghadapi segala masalah? Itu dia tantangan besar kita sebagai mahasiswa muslim.

Akhir kata, semoga usaha kita untuk menuntut ilmu sebagai mahasiswa senantiasa bernilai ibadah. Semoga kita senantiasa Dirahmati Allah dengan curahan taufik dan hidayah-Nya agar dapat terus bersabar. Wallahu a’lam…(ANH).

Referensi:
Al Quran al-Karim
Addimasyqi, M. J. A. (1983). Mau’izhatul Mukmin: Ringkasan Ihya Ulumuddin Al Ghazali. Bandung: CV Diponegoro.
Qardhawi, Y. (2005). Merasakan Kehadiran Tuhan. Yogyakarta: Mitra Pustaka.

Rabu, 05 Mei 2010

Religiusitas Muslim Abad 21

Implikasi dari keyakinan atas Tuhan adalah diyakininya pula agama. Keyakinan akan adanya Tuhan serta dianutnya agama tidak dapat disangkal sangat mempengaruhi perilaku manusia dari masa ke masa. Beribu-ribu tahun manusia menganut agama, mulai dari agama yang primitif dan dibuat-buat manusia sampai yang berdasarkan pada wahyu. Agama yang menjadi pedoman hidup manusia melahirkan perilaku-perilaku yang menuntun terciptanya peradaban-peradaban di dunia. Salah satunya adalah peradaban besar Islam sejak abad ke-7 yang muncul dari masyarakat yang ber-Islam. Masa kejayaan peradaban Islam berlangsung 700 tahun lamanya dan setelah itu mengalami kemunduran yang sayangnya masih kita rasakan sampai saat ini. Selain faktor eksternal yang mempengaruhi, sebagian orang berkeyakinan kelemahan internal umat Islamlah yang menyebabkan kemunduran tersebut.

Semakin jauh dari masa Nabi Muhammad, keimanan dan ketakwaan umat tampak semakin lemah. Hal tersebut termanifestasikan dari munculnya perilaku-perilaku yang semakin tidak sesuai dengan apa Islam pedomankan. Telah jelas kebenaran Islam dalam membentuk suatu masyarakat yang madani, tetapi yang terjadi saat ini adalah besarnya jumlah penganut Islam tidak berbanding lurus dengan kehidupan madani yang menjadi tujuan. Maka, apa yang terjadi dengan penghayatan (religiusitas) umat Islam terhadap agamanya di abad ini?

Glock dan Stark (dalam Paloutzian, 1996) mengemukakan lima dimensi yang menjelaskan religiusitas seseorang. Kelima dimensi tersebut adalah dimensi ideologis, intelektual, ritualistik, ekperiensial, dan konsekuensial. Dimensi ideologis meliputi keimanan yang diharapkan dimiliki oleh penganut agama. Dimensi intelektual meliputi pengetahuan dan informasi dasar tentang ajaran-ajaran agama dan ayat-ayat suci yang diharapkan diketahui oleh penganut agama. Dimensi ritualistik meliputi praktik-praktik peribadahan yang diharapkan dilakukan oleh penganut agama. Dimensi eksperiensial mengacu pada perasaan, persepsi dan sensasi dari berkomunikasi dengan Tuhan. Dimensi konsekuensial meliputi pengaruh dari keyakinan pada agama, ibadah, pengetahuan, dan pengalaman pada kehidupan sehari-hari penganut agama. Pertanyaan yang kemudian diajukan adalah apa indikator rendah atau tingginya religiusitas seseorang.

Pernah seorang gadis muslim ditanya mengapa pada usianya yang sudah dewasa ia belum mengenakan jilbab padahal ia tahu anjuran berjilbab dalam Islam. Jawaban yang dikemukakannya adalah bahwa ia belum siap berjilbab. Pada kasus lainnya, banyak orang yang shalat dan berpuasa, tetapi masih berperilaku buruk di tempat kerja atau dalam keluarganya. Banyak orang yang membaca Al Quran, tetapi tidak mengamalkan perintah dan menjauhi larangan di dalamnya. Banyak orang memiliki pengetahuan agama yang luas, menjalankan ibadah yang diperintahkan dengan begitu rajinnya, dan meyakini kebenaran ajaran agamanya, tetapi perilaku kesehariannya tidak sesuai dengan tingginya dimensi intelektual, ritualistik, atau ideologis yang dimiliki.

Kita simpulkan bahwa dimensi konsekuensial seseorang sebagai hasil pengaruh keempat dimensi lainnya memiliki posisi yang sangat istimewa dalam menentukan religiusitas seseorang. Tidak semua orang mampu konsisten dengan ajaran agama sesuai dengan pengetahuan, ritual yang dijalankan, pengalaman, dan keyakinan yang dianutnya, bukan? Konsistensi inilah yang menjadi indikator religiusitas seseorang. Maka, tinggi rendahnya religiusitas muslim dipengaruhi konsistensi pengamalan sesuai apa yang diketahui, dipahami, dan diyakini tentang Islam yang dianutnya.

Mengapa seseorang tidak mampu konsisten? Hal tersebut mungkin saja disebabkan oleh tarik-menarik antara hitam dan putih dalam kehidupan yang penuh ujian dan cobaan ini. Lagi-lagi, semuanya kembali pada pilihan masing-masing individu. Allah Swt telah menunjukkan kepada kita semua dua Jalan, yaitu jalan kebaikan dan jalan kejahatan (QS Al Balad 90: 10). Manakah yang kita pilih jika kita ingin menjadi muslim yang konsisten (memiliki religiusitas yang tinggi)? Kunci perbaikan hidup ada pada pilihan kita sendiri, bukan?

Allah Swt berfirman, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat…” (QS Al Baqarah: 256).

Referensi:

Al Quran dan terjemahannya.

Paloutzian, R.F. (1996). Invitation to the psychology of religion. Boston: Allyn and Bacon.