Laman

Selamat Datang...

Berbagi isi hati dan pemikiran...
Berbagi asa untuk mencapainya bersama untuk sebuah kemajuan...

Jumat, 04 Juni 2010

Inspire The World with Words

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhan Yang menciptakan, Dia telah Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Paling Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Al ‘Alaq: 1 – 5

Surat Al ‘Alaq sering dijadikan motivator utama bagi umat Islam untuk gemar membaca. Namun, bacalah secara lengkap dan cermati maknanya bahwa kita juga diperintahkan untuk menulis. Manusia belajar dengan membaca di mana perantaranya adalah kalam (baca: pena). Membaca dan menulis seakan-akan merupakan dua sahabat yang tak terpisahkan. Kita bisa membaca karena ada gagasan yang dituliskan, sedangkan tulisan ada karena kita pernah membaca sehingga kita memiliki pengetahuan yang bisa dituliskan. Inilah proses yang membentuk sebuah siklus yang tidak ada hentinya.

Disadari atau tidak, apakah benar ada lebih banyak orang yang suka membaca daripada menulis? Jika ditanya apa hobi kamu, jawaban “membaca” tampak lumrah. Namun, berapa banyak dari kita yang juga menjadikan “menulis” sebagai pelengkap “membaca”? Nah, ini perlu direnungkan. Bayangkan jika orang-orang yang punya pengetahuan malas menuliskan pengetahuannya, bayangkan jika orang-orang yang punya fantasi malas menuliskan ceritanya. Bayangkan jika kebenaran tidak diawetkan dalam tulisan. Jika hal yang demikian terjadi, saat ini mungkin kita masih menjadi manusia primitif. Zaman memulai sejarahnya sejak ada tulisan, bukan?

Berbeda dengan membaca yang dapat dilakukan jika kita bisa membaca, menulis memang merupakan aktivitas yang jauh lebih kompleks. Jika membaca kita hanya menerima dan memahami suatu ide, menulis membutuhkan lebih dari sekadar memiliki sebuah ide. Bagaimana suatu ide dituliskan, inilah persoalan yang membuat banyak orang mengatakan menulis itu susah. Bagaimana mengungkapkan ide lewat kata-kata, inilah tantangan yang tidak semua orang mau dan mampu menjawabnya. Kedudukan orang yang membaca lalu menulis menjadi lebih tinggi daripada orang yang cuma bisa membaca. Maka dari itu, penulis biasanya lebih “kaya” daripada pembacanya.

Menulis itu lebih kompleks karena menulis membutuhkan keterampilan menulis. Sama seperti belajar membaca, matematika atau bahasa Inggris, belajar menulis butuh proses, usaha, tenaga, kesabaran, dan latihan. Kita akan semakin mahir menulis jika kita terus berlatih meneruskan ide. Untungnya, keterampilan menulis tidak membutuhkan guru atau sekolah khusus karena pengalaman adalah guru terbaiknya. Pengalaman dari membaca, pengalaman belajar, pengalaman menyaksikan fenomena, pengalaman mengalami suatu kejadian, dan banyak pengalaman lainnya.

Karena keterampilan menulis membutuhkan proses, kita tidak dapat secara instan menjadi penulis yang ahli, terkenal, dan handal. Kita akan mengawalinya dengan suatu ketidakmahiran dan tulisan-tulisan yang jelek, tetapi semua itu akan terpoles jika kita terus berusaha, terus mencoba, terus mencipta, dan juga, terus membaca tulisan orang lain. Apakah kita berani menerima tantangan ini? Bagi yang termotivasi menulis, yakinilah… Saat ini mungkin kita baru bisa membaca dan terinspirasi oleh orang lain, tetapi kelak kita pasti bisa menulis dan mengembangkan pemikiran sendiri. Saat ini kita belajar dan berlatih, kelak hasilnya akan kita lihat ketika kita menjadikan diri inspirator bagi orang lain.

Islamisasi Psikologi: Apa dan Bagaimana?


Dan Dia Mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya…
“Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau Ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkau-lah yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
(QS Al Baqarah (2): 31 – 32)

Psikologi atau ilmu jiwa adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang banyak menuai kontroversi. Kontroversi yang terjadi seputar teori dan aplikasinya terkait dengan cara pandangnya terhadap manusia yang tidak sesuai dengan apa yang diyakini dalam Islam. Jika hal ini tetap diteruskan tanpa tindakan tertentu, maka psikologi dapat menjadi ilmu yang membawa kerugian bagi perkembangan jiwa dan perilaku umat Islam. Bagaimana menyelaraskan psikologi dengan akidah Islam kini menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua, baik mahasiswa maupun ilmuwan muslim.

Agenda islamisasi ilmu pengetahuan tidak hanya terjadi pada psikologi, tetapi juga bagi ilmu-ilmu yang lain. Segala macam ilmu bersumber dari Allah, namun dalam penggunaannya oleh manusia, ilmu dapat menjadi sesuatu yang bermanfaat atau yang merugikan. Sebagai contoh, sains (ilmu eksakta) akan merugikan jika sifatnya yang seharusnya netral disusupi oleh ideologi tertentu, seperti yang terjadi pada teori evolusi yang dapat menggiring seseorang pada atheism. Contoh yang lain adalah jika ilmu yang coraknya dipengaruhi oleh budaya, kondisi sosial, dan ideologi masyarakat tertentu diuniversalkan bagi seluruh masyarakat dunia.

Penerapan psikologi bagi seluruh masyarakat dunia menjadi tidak mungkin tanpa terlebih dahulu disesuaikan dengan konteks. Psikologi tidak sama seperti ilmu eksak yang pasti karena diri manusia yang menjadi objek pembahasannya begitu beragam dan dipengaruhi oleh konteks sosial, budaya, agama, dan cara pandang yang ada. Bagi masyarakat Islam, tentu psikologi yang diterapkan adalah psikologi yang sesuai dengan Islam. Psikologi islami yang hadir adalah psikologi yang didasarkan pada Al Quran dan Hadist, pedoman hidup umat Islam.

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana islamisasi ini dilakukan. Berbagai tokoh ilmuwan muslim telah menyimpulkan setidaknya dua cara mengislamisasikan psikologi. Cara pertama adalah dengan membangun psikologi melalui sumbernya langsung, yaitu Al Quran dan Hadist, dan kedua adalah dengan memanfaatkan ilmu yang sudah ada dan menyaringnya, mana yang sesuai dengan Islam, mana yang tidak.

Kedua cara tersebut tampak sederhana, tetapi sesungguhnya tidaklah mudah. Ada satu hal yang harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum islamisasi dilakukan. Hal tersebut adalah pemahaman Islam yang benar yang harus dimiliki para psikolog muslim. Islam adalah pengetahuan fundamental yang harus dipahami sebelum kita mempelajari ilmu lain. Dengan memahami Islam, kita mengetahui tolok ukur tertentu sebagai filter untuk mengetahui mana yang benar dan mana yang salah dalam psikologi saat ini. Dengan memahami Islam pula lah kita tahu dari mana seharusnya kita berangkat untuk mengembangkan psikologi islami. Karena itu, pengembangan psikologi islami tidak dapat dilakukan secara terpisah-pisah. Banyak pihak yang dapat diajak bekerja sama, seperti ahli tafsir, ulama, budayawan, dan sosiolog, dalam hal meneliti, mengkaji, dan menerapkannya.

Jika kemudian ditanya manakah cara yang paling tepat, jawabannya adalah keduanya. Cara yang tepat bagi seseorang disesuaikan dengan kemampuannya. Ilmuwan yang sangat memahami kandungan Al Quran dan Hadist, ia dapat mengembangkan psikologi dari sumbernya langsung. Ilmuwan yang memiliki pemahaman Islam yang terbatas dapat mengembangkan psikologi islami sambil mendalami Islam, membandingkan psikologi yang ada dengan konsep-konsep yang islami, mengevaluasi, memperbaiki, dan menyimpulkan suatu teori yang lebih baik lagi.

Apa yang dapat dilakukan mahasiswa psikologi? Inilah pertanyaan besar yang perlu dijawab.

Mahasiswa sering dipandang sebagai sosok yang belum matang secara intelektual. Kita sebagai mahasiswa baru saja mengenal psikologi. Ketika yang banyak dipelajari di bangku kuliah adalah psikologi Barat, maka yang harus secara mandiri kita lakukan adalah mempelajari Islam untuk meningkatkan kapasitas diri untuk mempersiapkan masa selanjutnya. “Ilmu tanpa agama, buta. Agama tanpa ilmu, lumpuh.” Inilah yang menjadi penyemangat bagi kita. Ada kesempatan yang begitu besar bagi psikologi islami untuk berkembang lebih jauh lagi. Karena Islam adalah agama yang universal, dengan berusaha keras tentu dapat dikembangkan psikologi yang sesuai dengan fitrah manusia yang sebenarnya, yang dapat dipahami semua orang, dan diterapkan tanpa menciderai jiwa.

Bersabar Menuntut Ilmu


Rasulullah bersabda: “Amat mengagumkan keadaan orang mukmin. Semua yang dilakukan selalu baik, dan itu ada hanya pada orang mukmin. Jika memperoleh kesenangan, dia bersyukur. Sedangkan jika menghadapi cobaan dia bersabar, dan itu baik pula bagi dirinya.” (HR Muslim).

Sabar adalah akhlak mulia yang menjadi kekuatan orang-orang beriman. Sabar adalah penolong ketika kita mendapatkan cobaan. Dengan bersabar, setiap mukmin akan menjadi sosok yang tegar, tahan banting, tidak putus asa, dan terus berusaha. Kehidupan adalah tempat yang tepat untuk mempraktikkan kesabaran. Tentu saja, setiap dari kita tidak akan lepas dari kesulitan-kesulitan hidup. Salah satunya adalah kesulitan-kesulitan dalam usaha kita mendapatkan ilmu pengetahuan.

Kesempatan belajar adalah nikmat yang luar biasa yang Allah Berikan. Di samping kita harus bersyukur bisa menjadi mahasiswa, kita juga perlu bersabar. Kenapa? Karena proses belajar mengandung cobaan-cobaan yang bisa membuat kita “gila”. Ada saja emosi-emosi negatif yang dapat hadir dalam diri dan di sekeliling kita, mulai dari yang disebabkan oleh cuaca yang panas, lapar, tidak ada semangat belajar sampai bolos kuliah, malas belajar, “kantong kering”, konflik dengan teman atau dosen, tugas yang seabrek, amanah organisasi yang segunung, sampai stres berkepanjangan lantaran prestasi belajar tidak naik-naik. Mereka yang tidak sabar akan cenderung berperilaku tidak terpuji bahkan memunculkan masalah lain yang lebih besar.

Nah, jelas bukan bahwa sabar itu penting sebagai pendorong kita untuk bertahan menempuh cobaan hidup yang namanya “kuliah”. Sayang, akhlak ini sering dilalaikan oleh kita semua. Banyak orang yang berpikir sabar adalah milik orang-orang susah yang hidup tanpa harta. Tidak demikian tentunya. Bagaimana kita mengembangkan diri tergantung sejauh mana kita mengelola diri untuk menghadapi cobaan dan melaksanakan apa yang Allah Perintahkan pada orang yang beriman.

Bagaimanakah caranya bersabar? Sabar adalah buah dari keimanan. Ketika ingin bersabar, kita perlu memupuk keimanan dan optimisme, misalnya lewat pengetahuan tentang keutamaan ibadah. Tahukah teman-teman betapa Allah Menyukai orang-orang yang menuntut ilmu (QS 58: 11)? Menempuh jalan untuk menuntut ilmu adalah wujud takwa kepada Allah Swt. Perjuangan kita untuk mendapatkannya tergolong jihad. Jika hikmah menuntut ilmu sedemikian besarnya, bagaimana kita tidak lebih memilih bersabar ketimbang sibuk berkeluh kesah atau “gila” saking stresnya dan memperturutkan emosi sesaat?

Sabar adalah teguh dan tahan untuk mengendalikan hawa nafsu. Dengan bersabar, kita tidak dikendalikan oleh kehendak yang buruk yang muncul karena kesulitan dan cobaan. Keteguhan ini membuat kita mampu mengalahkan perasaan lemah, tidak semangat, kesedihan, dan kekecewaan selama menuntut ilmu. Hal ini menunjukkan bahwa sabar itu tidak hanya terkait masalah fisik. Kesabaran juga terkait dengan moralitas lewat upaya mengesampingkan nafsu-nafsu yang buruk yang mengganggu tujuan kita dalam menuntut ilmu yang bermanfaat.

Nah, apa sajakah indikator sabar sepertinya perlu kita ketahui. Mari kita cek apakah sudah kita lakukan, antara lain: tidak memperturutkan nafsu (contoh: makan-minum dan bersenang-senang berlebihan), tidak berkeluh kesah ketika terkena musibah, tidak sombong ketika berkecukupan, tidak menjadi pengecut ketika diandalkan, menahan emosi ketika marah, menjaga lidah, dan tidak serakah atas keinginan-keinginan.

Sudahkah kita bersabar?

Karena bersabar itu butuh perjuangan, yuk, kita kontrol diri baik-baik dari sekarang. Sudah ada banyak mahasiswa berprestasi atau menjadi aktivis. Tetapi, menjadi mahasiswa sabar dan tetap bersemangat menghadapi segala masalah? Itu dia tantangan besar kita sebagai mahasiswa muslim.

Akhir kata, semoga usaha kita untuk menuntut ilmu sebagai mahasiswa senantiasa bernilai ibadah. Semoga kita senantiasa Dirahmati Allah dengan curahan taufik dan hidayah-Nya agar dapat terus bersabar. Wallahu a’lam…(ANH).

Referensi:
Al Quran al-Karim
Addimasyqi, M. J. A. (1983). Mau’izhatul Mukmin: Ringkasan Ihya Ulumuddin Al Ghazali. Bandung: CV Diponegoro.
Qardhawi, Y. (2005). Merasakan Kehadiran Tuhan. Yogyakarta: Mitra Pustaka.