Laman

Selamat Datang...

Berbagi isi hati dan pemikiran...
Berbagi asa untuk mencapainya bersama untuk sebuah kemajuan...

Rabu, 16 Maret 2011

INTEGRASI TAWAKAL DALAM COGNITIVE BEHAVIORAL THERAPY

Makalah ini dipresentasikan dalam Temu Ilmiah Nasional Psikologi Islami "Peran Psikoterapi Islam dalam Meningkatkan Kesehatan Mental Masyarakat" yang diaselenggarakan oleh Asosiasi Psikologi Islami (API) dan Fak. Psikologi UIN Sunan Gunung Jati Bandung pada 24-25 Desember 2009.

***

INTEGRASI TAWAKAL DALAM COGNITIVE BEHAVIORAL THERAPY

Aftina Nurul Husna1)

1)Fak. Psikologi Universitas Diponegoro

Abstrak

Cognitive behavioral therapy adalah jenis psikoterapi yang luas penggunaannya dan efektif dalam menyelesaikan berbagai permasalahan psikologis. Cognitive behavioral therapy merupakan suatu treatment psikologis yang memusatkan perhatiannya pada interaksi antara bagaimana seseorang berpikir, merasa dan berperilaku. Dalam perkembangannya, terbuka kesempatan bagi dimensi religius untuk berperan dalam aktivitas psikoterapi.

Islam sebagai agama menyajikan ajaran-ajaran yang mendukung kesehatan mental manusia. Salah satunya adalah ajaran untuk bertawakal yang merupakan penyerahan diri kepada Allah dengan kepercayaan yang sepenuh hati dalam menjalani kehidupan. Tawakal adalah wujud ketahanan diri seseorang dalam menghadapi berbagai tekanan hidup dan merupakan ciri keimanan seseorang.

Pada dasarnya, tawakal mengandung suatu rekonstruksi kognitif. Seseorang yang bertawakal akan meyakini tiga hal bahwa: 1) Tawakal adalah berserah diri kepada Allah setelah berusaha maksimal, 2) segala daya dan upaya adalah atas kuasa Allah, dan 3) hanya Allah yang mengetahui baik dan buruknya sesuatu bagi manusia. Jika demikian, maka konsep-konsep pengembangan diri muslim yang berusaha dibentuk melalui tawakal dapat melengkapi cognitive behavioral therapy, terutama untuk diterapkan dalam masyarakat muslim. Mengintegrasikan tawakal ke dalam cognitive behavioral therapy diharapkan tidak hanya meningkatkan kualitas terapi agar sesuai dengan nilai-nilai Islam, tetapi juga membantu orang-orang yang menjalani terapi untuk meningkatkan keimanan ketakwaan (berakhlak mulia) kepada Allah.

Kata kunci: tawakal, terapi kognitif behavioral

Pendahuluan

Tidak ada manusia yang tidak memiliki masalah dalam hidupnya. Berbagai permasalahan datang silih berganti mulai dari yang ringan sampai yang berat. Pada awalnya manusia bertahan dan menyelesaikan masalahnya dengan mengandalkan kemampuannya sendiri. Jika ia tidak mampu menyelesaikan masalahnya sendirian, ia akan meminta bantuan orang lain yang lebih mampu. Jika orang lain tersebut juga tidak berhasil membantu, siapa lagi yang akan dimintai bantuan kecuali orang lain lagi yang lebih mampu. Pada titik inilah manusia sering dihinggapi keputusasaan dan rasa tidak berdaya jika ia tidak dapat menemukan pertolongan yang dibutuhkannya. Inilah mengapa manusia pada abad ini mudah terkena berbagai gangguan psikologis yang menjadi akar berbagai permasalahan lainnya.

Ketika manusia merasa tidak berdaya, ia akan kembali kepada agama dan Tuhannya. Fenomena inilah yang kemudian diejek oleh Freud (dalam Pargament, 1997) berdasarkan pandangannya bahwa agama adalah respon yang kekanak-kanakan terhadap perasaan ketidakamanan dan ketidakberdayaan. Jika dihubungkan dengan keimanan yang mantap, sesungguhnya kembalinya seseorang kepada agama dan Tuhannya bukanlah suatu defense, tetapi sesuatu yang diperintahkan untuk dilaksanakan sebagai bukti keimanan kepada Tuhan. Manusia diciptakan dengan kapasitas untuk berusaha yang terbatas di mana di luar batas itu ada kekuasaan yang lebih besar yang dimiliki oleh Tuhan yang Mahakuasa. Inilah realita yang mungkin tidak disadari bahkan oleh Robert Ellis, pencipta rational-emotive therapy, yang mengatakan bahwa agama mendukung setiap bentuk-bentuk utama irasionalitas (dalam Pargament, 1997). Ketidaksadaran akan batas inilah yang sesungguhnya mengantarkan manusia pada berbagai masalah psikologis.

Kembalinya manusia pada agama dan Tuhan sebagai tempat bergantung ketika sadar atas ketidakberdayaan diri digambarkan Islam melalui tawakal. Tawakal adalah tuntutan iman sehingga siapa yang beriman dia harus menyerahkan semua persoalannya kepada siapa yang dia imani, yakni Allah Swt. Tawakal adalah penyerahan secara mutlak kepada Allah, tetapi harus didahului dengan usaha manusiawi.

Bukan hal yang tidak mungkin mengintegrasikan aspek spiritualitas dalam praktik psikoterapi. Hal tersebut terutama didasari oleh hakikat perilaku manusia bahwa perilaku manusia adalah interaksi dari aspek biologis, psikologi dan sosiospiritualnya. Dalam mengintegrasikan tawakal dalam cognitive behavioral therapy (CBT), diharapkan komponen rekonstruksi kognitif tidak hanya berkisar pada pengubahan kognisi negatif, maladaptif dan disfungsional menjadi kognisi positif dan adaptif menyangkut masalah yang sedang dihadapi, tetapi juga menjadi positif dan adaptif menyangkut Tuhan yang Mahakuasa dalam Menetapkan sesuatu, Maha Mengetahui, dan Mahabijaksana beserta pengaruh-pengaruh psikologis yang muncul karena tawakal.

Konsep Tawakal dalam Al Quran

Tawakal merupakan bentuk akhlak terhadap Allah Swt (Shihab, 1999). Akhlak memiliki makna yang luas, baik yang bersifat lahiriah maupun yang tidak. Akhlak yang bersifat lahiriah diwujudkan dalam bentuk perbuatan, sedangkan akhlak yang bersifat tidak lahirian berupa sikap batin maupun pikiran. Dapat disimpulkan bahwa tawakal sebagai akhlak memiliki dua aspek, yakni aspek lahiriah dan aspek nonlahiriah.

Titik tolak akhlak terhadap Allah adalah pengakuan dan kesadaran bahwa tiada Tuhan selain Allah. Allah Memiliki sifat-sifat terpuji yang demikian agung sehingga tidak ada satu makhluk pun yang mampu menjangkau hakikat-Nya. Allah memiliki kesempurnaan yang karena kesempurnaan itulah segala makhluk bergantung dan berserah diri kepada-Nya. Al Quran memerintahkan manusia untuk berserah diri kepada Allah dengan menjadikannya sebagai wakil atau pelindung (QS Al Muzzamil [73]: 9 “(Dialah) Tuhan masyrik dan maghrib, tiada Tuhan melainkan Dia, maka jadikanlah Allah sebagai wakil (pelindung)”) sebagai wujud keimanan manusia terhadap Allah berserta sifat-sifat-Nya.

Kata tawakal memiliki akar kata yang sama dengan wakil, yakni wakala yang pada dasarnya bermakna pengandalan pihak lain dalam hal urusan yang seharusnya ditangani oleh satu pihak (Shihab, 2009b). Akar kata wakalu juga diartikan sebagai “menyerahkan, membiarkan serta merasa cukup” (Shihab, 2009a). Pihak yang menjadi wakil tentu adalah pihak yang mampu, dapat diandalkan dan diharapkan. Maka dari itu, Al Quran memerintahkan agar bertawakal hanya kepada Allah (QS Yunus [10]: 84 “ … jika kamu beriman kepada Allah, maka bertawakallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah diri.”) dengan berlandaskan keimanan kepada-Nya.

Yusuf Qardhawi (2005) mengartikan tawakal sebagai bekerja dan mengusahakan sebab-sebab yang wajar, setelah itu menyerahkan hasilnya kepada Allah. Pendapat tersebut berdasar pada fakta bahwa ayat-ayat Al Quran yang mengandung perintah tawakal kepada Allah selalu didahului dengan perintah melakukan sesuatu. Bertawakal bukan anjuran untuk tidak berusaha atau mengabaikan hukum-hukum sebab akibat. Hal tersebut dikarenakan manusia hidup dalam realita yang menunjukkan bahwa tanpa usaha harapan tak mungkin terpenuhi.

Jika manusia mengimani kesempurnaan Allah, maka ia juga perlu meyakini bahwa Allah telah memberinya kemampuan untuk berusaha sesuai dengan kemampuannya (Shihab, 1999). Dalam bertawakal, hendaknya manusia menggunakan segala daya dan kemampuan yang Allah nikmatkan kepadanya, yaitu akal pikiran, hati nurani, dan kemampuan fisik, sesuai kesanggupannya. Hal-hal yang ada di luar kesanggupan itulah yang diserahkan kepada Allah.

Tawakal: Usaha dan Keimanan kepada Allah

Tawakal kepada Allah secara ringkas didefinisikan sebagai berserah diri kepada Allah setelah usaha maksimal (Shihab, 2009a). Penyerahan diri secara total kepada Allah atas segala persoalan yang dimiliki membutuhkan keimanan yang kuat bahwa tiada Tuhan selain Allah dengan segala sifat-sifat dan kesempurnaan-Nya. Sementara itu, usaha yang menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan penyerahan diri merupakan penggunaan segala daya dan kemampuan dalam batas kemampuan untuk menyelesaikan suatu persoalan (ikhtiar). Hal-hal yang masih dapat dilakukan dalam batas kesanggupan menjadi tanggung jawab manusia, sedangkan hal-hal yang berada di luar itu menjadi urusan Allah Swt.

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan terdapat dua aspek tawakal kepada Allah, yaitu: 1) Aspek lahiriah, berupa perilaku berusaha manusiawi yang maksimal, dan 2) Aspek nonlahiriah, berupa penyerahan total kepada Allah berdasarkan keimanan (Lihat Tabel 1).

Tawakal adalah tuntutan iman sehingga orang-orang yang mengaku dirinya beriman kepada Allah diperintahkan tawakal kepada-Nya. Dengan keimanan kepada Allah, seorang mukmin memperoleh kekuatan jiwa yang membuatnya menjadi manusia yang kuat dalam menghadapi berbagai tekanan dalam hidup. Kekuatan itu bersumber dari kepercayaan kepada Allah yang senantiasa menyertai hamba-Nya, memberikan pertolongan dan membelanya dari keburukan orang lain.

Tawakal juga merupakan buah dari iman karena orang yang beriman pasti akan bertawakal. Tawakal yang benar tidak menimbulkan kepasrahan, tetapi daya juang, gairah kerja, ketekunan, dan semangat untuk hidup (Qardhawi, 2005). Orang yang bertawakal tidak akan berputus asa, tetapi ketenangan hidup karena urusannya ia serahkan kepada Allah yang memiliki kesempurnaan, yang mengetahui yang maslahat, dan memberikan balasan yang baik atas usaha hamba-Nya.

Religiusitas dalam Cognitive Behavioral Therapy (CBT)

Cognitive behavioral therapy (CBT) adalah suatu treatment psikologis yang memperhatikan interaksi-interaksi antara bagaimana seseorang berpikir, merasakan dan berperilaku. CBT adalah proses mengajarkan, melatih dan menguatkan perilaku-perilaku positif serta membantu seseorang untuk mengidentifikasi pola-pola kognitif atau pikiran dan emosi yang dihubungkan dengan perilaku (Somers & Querée, 2007).

Kognisi manusia terdiri atas pikiran-pikiran yang terdiri atas keyakinan, asumsi, ekspektasi, atribusi dan sikap-sikap. Fokus CBT adalah proses berpikir seseorang yang diwujudkan dalam bentuk percakapan batin (inner speech) (Spiegler & Guevremont, 2003). CBT berusaha membantu seseorang untuk menyadari inner speech yang maladaptif sebelum, selama dan sesudah suatu perilaku dan mengubah kognisi yang maladaptif itu menjadi kognisi yang adaptif.

Tabel 1. Aspek lahiriah dan nonlahiriah tawakal kepada Allah Swt.

Aspek Lahiriah

Aspek Nonlahiriah

- Merencanakan (QS 5: 23)

- Mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan pertimbangan tindakan orang lain (QS 5: 23; 8: 61)

- Berdoa (QS 10: 85)

- Bersabar atas masalah(QS 14: 12)

- Membulatkan tekad (QS 3: 159)

- Berpaling dari masalah yang sudah berada di luar pengetahuan dan kemampuan manusia (QS 8: 41)

- Bertaubat kepada Allah (QS 13: 30)

- Tidak mempersekutukan Allah (QS 16: 99 – 100)

- Yakin pada pilihan yang benar dan kembali pada Al Quran (QS 27: 77, 79)

- Bekerja/berusaha sesuai kemampuan/ keadaan diri (QS 39: 39)

- Bersyukur (QS 42: 36)

- Menegaskan kembali pengakuan keimanan (QS 13: 30)

- Menyadari diri adalah manusia (QS 14: 11)

- Tidak berputus asa dari rahmat Allah (QS 39: 53)

- Allah Mahaperkasa dan Bijaksana (QS 8: 49)

- Allah Memegang ubun-ubun (menguasai) setiap makhluk (QS 11: 56)

- Allah tempat kembali dan meminta pertolongan (QS 11: 88; 3: 160)

- Allah Maha Mengetahui dan Pemberi keputusan yang terbaik (QS 7: 89; 42: 10)

- Allah Menyukai orang-orang yang bertawakal (QS 3: 159)

- Allah Memiliki rencana dan Maha Melindungi (QS 4: 81)

- Allah Maha Menetapkan (QS 9: 51)

- Allah Maha Memiliki, tempat segala urusan kembali, dan tidak lalai atas usaha hamba-Nya (QS 11: 123)

- Allah Maha Berkehendak atas kemudharatan dan rahmat (QS 39: 38)

- Kemudharatan terjadi atas izin Allah (QS 58: 10)

- Balasan sabar dan tawakal adalah surga (QS 29: 58 – 59)

CBT menekankan pula tentang perubahan perilaku. Apa yang dilakukan seseorang mempengaruhi bagaimana ia merasakan dan berpikir.CBT berusaha membantu seseorang untuk mempelajari perilaku baru dan cara baru melakukan coping terhadap suatu peristiwa, misalnya dengan mengajari kemampuan atau keterampilan baru (Somers & Querée, 2007).

Pengaruh religiusitas terhadap keefektifan terapi, terutama CBT, mengandung pro dan kontra. Berdasarkan beberapa penelitian mengenai dimensi religi dalam praktik CBT, diketahui bahwa religiusitas dapat meningkatkan keefektifan terapi (Spiegler & Guevremont, 2003). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nielsen (2001) dan Robb (2001), keyakinan agama dapat meningkatkan pendirian untuk menantang keyakinan irasional dan meningkatkan penggunaan pikiran yang adaptif (dalam Spiegler & Guevremont, 2003). Keyakinan agama juga dapat menjadi bahan berargumen melawan keyakinan irasional yang dimiliki seseorang (Propst, dalam Spiegler & Guevremont, 2003).

Penelitian lain yang membandingkan antara terapi yang mengakomodasi agama dengan yang tidak, sebaliknya menemukan bahwa tidak ada perbedaan dalam hal efektifitas (dalam Pargament, 2007). Pargament (2007) menanggapi perbedaan hasil ini dengan mengatakan bahwa ada banyak faktor yang mempengaruhi keefektifan terapi yang menganduk aspek spiritual. Faktor pertama ada pada konsep penelitian dan kedua ada pada kenyataan bahwa secara umum terapi yang mengandung aspek spiritual tidak lebih efektif dibandingkan terapi “sekuler”.

Keefektifan CBT yang menfasilitasi aspek spiritual religius kembali pada siapa yang menjadi terapis dan siapa kliennya. Terapis yang religius belum tentu bekerja lebih efektif daripada terapis yang tidak religius, bahkan yang terjadi bisa kebalikannya (Propst, dalam Pargament, 2007). Pargament (2007) menekankan bahwa:

“… personal religiousness or spirituality does not necessarily equip a therapist to conduct spiritually integrated psychotherapy. Evon more important are the therapist’s openess, sensitivity, and willingness to learn about the part that spirituality plays in the life of client.”

Disimpulkan bahwa keefektifan terapi mengintegrasikan spiritualitas dipengaruhi oleh kemampuan terapis untuk peka terhadap spiritualitas atau religiusitas kliennya. CBT tampak kurang efektif bagi klien yang sangat teguh (bahkan kaku) memegang keyakinan budaya atau agamanya dan ingin dimengerti bahwa memang begitulah keyakinannya sehingga tidak dapat diubah lagi sekalipun keyakinan itu mengganggunya. CBT dilakukan bukan untuk menantang keyakinan budaya atau agama seseorang, tetapi mengenai memahami perspektif untuk meringankan distres yang berhubungan dengan gangguan psikologis. (Turkington et al, 2009).

Mengintegrasikan Tawakal dalam Cognitive Behavioral Therapy

Setiap orang membawa aspek spiritual dan religiusnya dalam setiap gerak kehidupannya. Hal tersebut yang mendasari mengapa dimensi agama perlu diperhatikan dalam proses psikoterapi. Agama telah jauh lebih lama daripada psikologi dalam upaya menjaga kesejahteraan jiwa umat manusia. Agama sebagai pedoman hidup mempengaruhi manusia, salah satunya dengan menganjurkan cara-cara menghadapi dan mengatasi permasalahan hidup (Pargament, 1997). Pelaksanaan psikoterapi tentu perlu memperhatikan latar belakang dari pengguna jasa psikoterapi. Latar belakang agama menjadi sangat penting terutama karena agama yang dianut seseorang mempengaruhi pembentukan kepribadian, cara berpikir dan berperilaku.

Psikoterapi yang diterapkan pada masyarakat muslim perlu memperhatikan kesesuaian antara dasar teori dan metode dengan ajaran Islam. Islam mengajarkan bahwa kekuatan jiwa seorang muslim tergantung pada kekuatan keimanannya (Qardhawi, 2005). Berdasarkan hal ini, diharapkan pelaksanaan psikoterapi secara islami tidak hanya bertujuan menyembuhkan masalah psikologis, tetapi meningkatkan keimanan seorang klien muslim kepada Tuhannya. Seorang terapis juga perlu menyadari bahwa keimanan yang benar kepada Allah selalu berpangkal kepada jiwa yang sehat.

Mengintegrasikan tawakal dalam CBT merupakan upaya membaurkan konsep tawakal dalam CBT menjadi suatu kesatuan yang utuh dan dapat diterapkan bagi masyarakat muslim. CBT berangkat dari asumsi bahwa kognisi seseorang mempengaruhi bagaimana ia berperasaan dan bertindak, dan sebaliknya sehingga kontrol terhadap pikiran menjadi sangat penting. Kontrol pikiran inilah yang diharapkan dapat diarahkan menuju tawakal kepada Allah.

CBT yang berlandaskan psikologi sekuler menekankan pada perubahan kognisi yang maladaptif menjadi adaptif berkaitan yang menyebabkan masalah. Ketika tawakal menjadi bagian dari proses terapi, penekanan terapi tidak hanya pada pikiran-pikiran yang menyebabkan masalah dan solusi perilakunya, tetapi juga pada pemahaman hakikat masalah (sebab, tujuan, dan hikmah), pembentukan kognisi positif terhadap kemutlakan dan kesempurnaan Allah dan keterbatasan kemampuan manusia dalam berusaha.

Al Quran mengenalkan tiga konsep dalam bertawakal, yaitu:

  1. Tawakal adalah berserah diri kepada Allah setelah usaha maksimal. Tawakal adalah tindakan rasional yang dilakukan setelah seseorang berusaha maksimal. Pada hal ini, seseorang diharap mampu mengenal keterbatasan kemampuannya dan berkata “cukup, saya sudah melakukan yang terbaik yang bisa saya lakukan” dalam hal usaha lahiriah. Hal-hal di luar pengetahuan dan kemampuan manusia adalah urusan Allah dan tak ada gunanya manusia memaksakan diri melampaui batas dirinya karena akan merugikan diri sendiri. Manusia memang diciptakan dengan keterbatasan.
  2. Segala daya dan upaya adalah atas kuasa Allah. Dalam hal berusaha, kapasitas diri manusia untuk mampu mengetahui dan mengatasi masalah adalah anugrah dari Allah. Anugrah ini perlu disyukuri apapun bentuknya. Manusia sesungguhnya tidak berdaya apa-apa dan selalu meminta pertolongan pada yang mampu menolong. Allah adalah tempat meminta pertolongan. Meminta pertolongan di saat-saat sulit bukanlah sesuatu yang aneh (seperti yang diungkapkan Freud), tetapi merupakan tindakan yang Allah Sukai, terutama jika diiringi dengan meningkatkan ketaatan kepada-Nya.
  3. Hanya Allah yang mengetahui baik dan buruknya sesuatu bagi manusia. Allah dengan segala kesempurnaan-Nya mengetahui keadaan setiap manusia. Apa yang Allah putuskan kepada manusia berdasar bahwa Allah mengetahui sesuatu yang baik dan yang buruk bagi hamba-Nya. Setiap keputusan Allah atas usaha kita, yang baik maupun buruk semuanya mengandung hikmah. Seseorang perlu didorong untuk menemukan hikmah tersebut. Sekalipun hikmah suatu kejadian tersembunyi, seseorang diharapkan tetap yakin bahwa yang diputuskan adalah yang terbaik dan bermanfaat bagi dirinya.

Dalam pelaksanaan terapi, konsep tawakal kepada Allah dapat dijalankan dengan menggunakan metode-metode dalam CBT. Konsep tawakal, baik dalam hal aspek lahiriah dan nonlahiriah (Lihat Tabel 1) dapat diintegrasikan dalam CBT dengan proses rekonstruksi kognitif (metode thought stopping, rational-emotive behavior therapy, dan cognitive therapy) dan menjadi bagian dalam terapi coping skill (Spiegler & Guevremont, 2003) Konsep tawakal yang diintegrasikan dalam terapi dapat berperan sebagai peneguh pendirian dan bahan argumen untuk melawan kognisi irasional atas suatu masalah.

Seorang terapis perlu mengakomodasi dimensi religi dan spiritual dalam praktik psikoterapi. Dimensi religi dan spiritual adalah dimensi yang sama terintegrasinya dalam diri seseorang seperti dimensi biologis, psikologis dan sosiokultural. Dalam hal penyembuhan masalah kejiwaan atau dalam menghadapi masalah yang sulit, kebanyakan orang menemukan bahwa dukungan yang diperoleh dari keimanan sangat bermanfaat, terutama dalam menghadapi masalah-masalah yang signifikan, seperti sakit, kecelakaan, konflik interpersonal, perceraian, pemecatan kerja, dan kematian (Pargament, 2007). Di samping itu, penerimaan dimensi religi dan spiritual dalam psikoterapi memungkinkan hubungan kemitraan antara seorang psikoterapist dengan rohaniawan (Hawari, 2005).

Optimisme pengintegrasian tawakal dalam CBT berdasar pada berbagai penelitian psikologi (Pargament, 2007). Disimpulkan bahwa keyakinan, ibadah, hubungan ketuhanan, dan pengalaman religius dan spiritual berkorelasi dengan:

- Kesejahteraan mental, kebahagiaan, dan kepuasan hidup

- Harapan dan optimisme

- Tujuan dan makna kehidupan

- Self-esteem yang lebih tinggi

- Dukungan sosial yang lebih tinggi dan kesepian yang lebih rendah

- Tingkat depresi, bunuh diri, kecemasan, penggunaan alkohol dan obat, delikuensi, perilaku kriminal,dan psikosis yang lebih rendah

- Stabilitas dan kepuasan pernikahan yang lebih tinggi

Rejeksionisme Agama dalam CBT

Rejeksionisme agama dalam CBT terjadi berdasarkan perspektif searah (dari sisi negatif) bahwa keyakinan agama juga memiliki andil dalam terbentuknya kognisi yang irasional (Ellis, dalam Pargament, 1997). Hal itu ada benarnya karena dimensi agama dan spiritual, sama seperti dimensi-dimensi yang lain dalam diri manusia, juga dapat manimbulkan masalah psikologis karena kualitas keagamaan dan spiritualitas seseorang tak selalu berkembang dengan baik.

Pargament (2007) membedakan kualitas spiritual menjadi dua, yaitu yang terintegrasi dengan baik dan yang terintegrasi dengan buruk. Spiritualitas yang terintegrasi dengan baik tampak dari diri seseorang yang secara spiritual didukung oleh sistem sosialnya, menggunakan spiritual coping method yang sesuai dengan masalahnya, dan mencari keseimbangan dalam pencapaian tujuan (contoh, bertawakal). Sebaliknya, spiritualitas yang terintegrasi dengan buruk tampak pada orang yang menghadapi konflik spiritual dengan sistem sosialnya, menggunakan spiritual coping method yang malah memperburuk masalah, dan mencari tujuan-tujuan yang sakral dan sekuler yang di luar keseimbangan (contoh, berserah diri pada Tuhan, tetapi tidak mau berusaha).

Berbagai masalah psikologis yang berkaitan dengan spiritualitas juga dingungkapkan oleh Pargament (2007). Terdapat dua macam disintegrasi spiritualitas, yaitu problems of spiritual destinations dan problems of spiritual pathways. Masalah-masalah ini mengandung kognisi-kognisi irasional yang mengakibatkan suatu masalah psikologis. Jika kognisi spiritual yang terdisintegrasi ini tidak disadari dan diubah agar menjadi terintegrasi, tentu CBT tidak efektif dilakukan.

Tabel 2. Disintegrasi Spiritual (Pargament, 2007)

Problems of Spiritual Destinations

Problems of Spiritual Pathways

- Masalah small gods

- Masalah false gods

- Masalah pertentangan hal yang sakral: 1) ambivalensi, 2) self-degradation dalam berhubugan dengan hal yang sakral, 3) demonization diri dan orang lain, dan 4) konflik internal.

- Masalah kedalaman dan keluasan pengetahuan dan pengalaman

- Masalah kesesuaian: 1) antara tujuan dengan pedoman, seperti ekstremisme dan hipokrisi, 2) antara pedoman dengan situasi, dan 3) antara individu dan konteks sosial.

- Masalah dalam kontinuitas dan perubahan.

Masalah psikologis yang bersumber pada masalah agama dan spiritualitas memiliki dasar kognisi yang maladaptif. CBT dapat berperan dalam hal ini dengan tidak mengabaikan dimensi religius-spiritual dalam praktek, tetapi mengakomodasikannya. Proses akomodasi membutuhkan terapis yang mampu mengarahkan kliennya pada kognisi yang benar mengenai agama dan spiritualitas untuk membantunya mengatasi distres psikologis yang ada dengan pengetahuan agama yang tepat.

Penutup

Mengislamisasikan psikoterapi dapat dilakukan dengan mengintegrasikan ajaran Islam ke dalam praktik psikoterapi. Salah satunya adalah mengintegrasikan tawakal kepada Allah dalam CBT yang merupakan psikoterapi sekuler. Tujuan mengintegrasikan dimensi religius-spiritual dalam CBT adalah agar psikoterapi yang diterapkan sesuai dengan kepribadian masyarakat Islam yang beriman kepada Allah Swt.

Tawakal sebagai tuntutan keimanan kepada Allah sesungguhnya memiliki efek psikoterapis. Tawakal adalah cara yang diperintahkan dilakukan oleh orang-orang yang beriman dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan. Tawakal merupakan bentuk spiritualitas yang menyeimbangkan konsep makhluk dan Pencipta; sesuatu yang berada dalam kontrol manusia dan tidak, keterbatasan manusia dan kemutlakan kekuasaan Tuhan.

Integrasi tawakal dalam CBT dilakukan berdasarkan konsep tawakal dalam Al Quran. Pelaksanaannya bertujuan menyadari kognisi maladaptif (khususnya berkaitan dengan keyakinan agama dan spiritual yang salah) dan mengubahnya menjadi adaptif dalam upaya mengatasi masalah psikologis. Keyakinan pada Allah yang ditumbuhkan akan membantu meneguhkan pendirian untuk berpikir positif dan argumen untuk melawan pikiran yang negatif.

Pelaksanaan CBT yang mengintegrasikan tawakal di dalamnya perlu memperhatikan beberapa hal: 1) terapis tidak hanya perlu memiliki religiusitas dan spiritualitas personal yang baik, tetapi juga mampu memahami cara berpikir, agama dan spiritualitas kliennya, 2) penggunaan terapi disesuaikan dengan masalah yang dialami klien, dan 3) dimensi religi, sama seperti dimensi-dimensi manusia yang lain, mampu menjadi baik solusi maupun sebab dari masalah psikologis.

Keyakinan agama yang terdisintegrasi menunjukkan bahwa seseorang memiliki kognisi yang tidak tepat atas agamanya. Kesalahan kognisi ini perlu disadari dan kemudian diubah menjadi kognisi yang tepat melalui metode-metode CBT yang berlandaskan ajaran Islam, terutama tentang tawakal yang dibahas dalam tulisan ini.

Daftar Pustaka

Al Quran Al Karim.

Hawari, D. 2005. Dimensi Religi dalam Praktek Psikiatri dan Psikologi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Pergament, K.I. 1997. The Psychology of Religion and Coping: Theory, Research and Practice. New York: The Guilford Press.

____________. 2007. Spiritually Integrated Psychotherapy. New York: The Guilford Press.

Shihab, M. Q. 2009a. Tafsir Al-Mishbah Vol. 5. Jakarta: Lentera Hati.

___________. 2009b. Tafsir Al-Mishbah Vol. 9. Jakarta: Lentera Hati.

___________. 1999. Wawasan Al Quran. Bandung: Penerbit Mizan.

Somers, J. & Querée, M. 2007. Cognitive Behavioral Therapy (CBT)-Core Information Document. Vancouver: Centre of Applied Research in Mental Health and Addictions (CARMHA) Simon Fraser University.

Spiegler, M.D. & Guevremont, D.C. 2003. Contemporary Behavior Therapy. Victoria: Thomson Wadsworth.

Turkington, D., Kingdon, D., Rathod, S., Wilcock, S.K.J., Brabban, A., Cromarty, P., Dudley, R., Gray, R., Perton, J., Siddle, R., & Weiden, P. 2009. Back to Life, Back to Normality: Cognitive Therapy, Recovery, and Psychosis. Cambridge: Cambridge University Press.

Qardhawi, Y. 2005. Merasakan Kehadiran Tuhan. Yogyakarta: Mitra Pustaka.

Talkshow Islamic Psychology

Talkshow Islamic Psychology

IMAMUPSI* presents:

Jangan lewatkan! Untuk mahasiswa dan umum, terutama yang ada di Jateng dan DIY.

TALKSHOW ISLAMIC PSYCHOLOGY
"Membuka paradigma psikologi Islami"

Pembicara:
1. Drs. Fuad Nashori, M.Si
Ketua Asosiasi Psikologi Islami (API), pakar dan pelopor psikologi Islami di Indonesia
2. Haening Ratna Sumiar
Ketua Imamupsi Regional Jateng-DIY

Hari, tanggal Ahad, 20 Maret 2011
Waktu 08.30 - selesai
Tempat Auditorium Kampus 1
Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Jogjakarta
Kontibusi Rp10.000
Fasilitas Sertfikat, stiker, & snack

Insya Allah bermanfaat, dapat banyak pengalaman, ilmu, sekaligus teman-teman baru!
Karena kapasitas terbatas, segera daftar ke:

Nahl: 085292730293
Bryan: 085643220286

*IMAMUPSI adalah singkatan dari Ikatan Mahasiswa Muslim Psikologi Indonesia

Berminat kawan-kawan?