Laman

Selamat Datang...

Berbagi isi hati dan pemikiran...
Berbagi asa untuk mencapainya bersama untuk sebuah kemajuan...

Minggu, 22 April 2012

Psikolog yang Tertipu


Psikolog yang Tertipu
Oleh: Aftina Nurul Husna

            Katakanlah, “Apakah akan Kami Beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu orang-orang yang kufur terhada Ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia... [QS Al Kahf (18): 103-105]

            Tulisan ini tidak hanya tentang psikolog, tetapi juga tentang kita, mahasiswa yang belajar psikologi, terkhusus yang berniat atau tengah menekuni psikologi Islami dan berharap mampu mengembangkannya di masa depan. Tulisan ini sepenuhnya bersumber dari salah satu bab dalam buku Manusia yang Tertipu, Al-Kaysf wa al-Tabyin fi Ghurur al-Khalq Ajma’in, karya Imam al-Ghazali tentang manusia yang tertipu dari golongan ulama.
***
            Tujuan mulia yang diusung usaha islamisasi psikologi adalah penyempurnaan psikologi itu sendiri. Dengan dikembangkan sesuai dengan nilai-nilai Islam, psikologi yang muncul, dalam teori dan prakteknya. diharapkan menjadi ilmu yang mendekatkan manusia pada Tuhan-Nya, membantu manusia mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
            Perkembangan ilmu pengetahuan sepenuhnya tergantung pada diri ilmuwannya dan jelas bagi ilmuwan muslim bahwa yang diharapkan pada diri mereka tidak hanya berupa kedalaman ilmu (baik ilmu agama maupun ilmu dunia), tetapi juga keluhuran budi karena iman dan takwa. Namun, dalam usaha untuk mencapainya, ada satu ancaman yang nyata. Sering tanpa kita sadari, kita termasuk golongan manusia yang tertipu.
            Orang berilmu yang tertipu dapat dilihat dari dua sisi, yaitu:
            Pertama, dari segi perbuatan. Mereka seperti orang-orang sakit yang mempelajari obat-obatan dari orang-orang pandai, tetapi tidak mengajarkan atau mengamalkannya. Mereka orang berilmu yang memiliki sifat buruk. Mereka mendaki kehancuran diri mereka sendiri karena enggan menyucikan jiwa.
            Kedua, dari segi keilmuan. Mereka mengira bahwa hanya ilmu yang mereka tekunilah yang benar dan merupakan sarana efektif untuk mencapai keselamatan padahal sarana untuk mencapai keselamatan adalah cinta kepada Allah. Mereka seperti orang-orang yang hanya mencukupkan diri dengan persiapan bekal perjalanan haji, namun tidak mengerti bahwa yang dimaksud fiqih adalah mengenal Allah dan sifat-sifat-Nya yang ditakuti dan sangat keras, agar hati mereka senantiasa takut dan bertakwa kepada Allah.

“Seandainya mereka lebih menyibukkan diri mereka dengan membersihkan jiwa mereka, tentu akan lebih baik bagi mereka daripada mempelajari ilmu yang tidak ada manfaatnya selain untuk kepentingan dunia dan kesombongan.”

1.      Mereka berusaha mendalami dan sibuk mempelajari ilmu, namun tidak mempedulikan anggota tubuhnya, tidak memeliharanya dari perbuatan maksiat dan tidak mengarahkannya untuk bertaat.
2.      Mereka sungguh tertipu oleh ilmu yang dimiliki; mengira bahwa dirinya memiliki posisi di sisi Allah dan telah mencapai puncak ilmu sehingga Allah tidak akan menjatuhkan siksa pada mereka.
3.      Mereka layaknya seperti seorang dokter yang dapat mengobati orang lain dan dirinya sendiri, namun ketika ia sendiri yang sakit, ia tidak melakukannya [mengobati dirinya sendiri].
4.      Hidup mereka dikuasai oleh kesenangan terhadap dunia, terhadap ego mereka dan kenikmatan sesaat. Mereka mengira bahwa ilmu yang dimiliki dapat menyelamatkan mereka di akhirat kelak meski tanpa disertai amal.
5.      Di antara mereka ada kelompok yang menguasai ilmu, beramal dan meninggalkan maksiat, namun mereka melupakan hati mereka. Mereka tidak berusaha menghilangkan sifat-sifat yang tercela, seperti sombong, riya’, dengki, mencari pangkat dan kedudukan, berniat buruk terhadap kawan dan sahabat, dan mencari popularitas di tengah-tengah masyarakat.
6.      Di antara mereka ada yang mengetahui tabiat nafsu dan mengetahui bahwa ia secara syar’i tergolong sesuatu yang tercela. Hanya saja, karena terlalu kagum pada diri sendiri, mereka menduga bahwa diri mereka terhindar dari hal-hal yang tercela. Mereka merasa lebih tinggi kedudukannya di sisi Allah. Mereka mengira tidak akan diberi ujian seperti itu dan yang berhak diuji demikian hanyalah orang-orang awam, bukan mereka.
7.      Dalam perilaku mereka selalu tampak sikap sombong dan merasa tinggi diri. Mereka mengira sikap mereka bukanlah sombong, melainkan demi menegakkan agama, menampakkan keagungan ilmu dan demi menolong agama Allah.
***
            Orang yang tertipu adalah mereka yang mengira bahwa sesuatu hal sudah cukup padahal itu masih jauh. Mereka mengira akan selamat padahal belum beramal. Mereka sibuk mencari keutamaan duniawi, mengira telah taat padahal durhaka. Mereka selalu mengharap ampunan dan mengira perbuatan baik mereka lebih domiman padahal justru yang lebih banyak adalah perbuatan maksiat. Mereka tidak pernah mengoreksi diri, memikirkan kesalahan dan mengusahakan perbaikan diri.
            Beragam tipu daya merintangi jalan menuju Allah dan tidak terhitung jumlahnya. Kesempatan belajar dan mendapatkan ilmu pengetahuan adalah nikmat yang sungguh besar dari Allah. Namun demikian, nikmat tersebut dapat berubah menjadi siksa jika kita tidak waspada; terlena dengan ilmu yang kita miliki, tenggelam dalam keunggulan diri kita, dibutakan oleh asumsi pasti selamat, merasa benar padahal salah, menolak koreksi dari orang lain, dan tidak mau belajar lebih jauh.
            Hanya Allah-lah yang memberi petunjuk dan cukuplah Dia yang memberi kita kebahagiaan dan kesejahteraan. Tiada daya dan upaya selain atas kehendak-Nya. Semoga kita terhindar dari menjadi manusia, orang berilmu, yang tertipu. Wallahu’alam.