Laman

Selamat Datang...

Berbagi isi hati dan pemikiran...
Berbagi asa untuk mencapainya bersama untuk sebuah kemajuan...

Senin, 29 Juni 2009

Indahnya Hidup dalam Komunitasmu


Sejauh mana kita menghargai di mana kita berada?

Tulisan berikut ini adalah kenang-kenangan dari kelas terakhir Psikologi Komunitas yang saya ikuti semester ini. Apa yang dikatakan dosen saya membekas dengan cara yang unik.

Perdebatan hari itu cukup menarik. Kelas terakhir Psikologi Komunitas memang agak kacau dalam ruang yang sempit. AC yang menyala tidak mendinginkan ruangan, sementara kipas angin yang ada di atas kami berputar dengan bunyi yang menakutkan. Fokus kami adalah menyelesaikan diskusi tiga kelompok, dan saya ada di salah satu kelompok itu. Yang paling seru adalah ketika kami membahas tentang motif-motif mengapa seseorang memberi. Kesimpulanku di akhir kuliah: Allah Mahakaya. Benar bukan? Ketika kita melakukan ”perniagaan” dengan Allah, kita tidak akan pernah merugi. Allah akan membalas berlipat-lipat kali keikhlasan dalam pemberian kita. Ketika kita menolong agama Allah, Allah-lah yang akan menolong kita dengan malaikat-malaikat-Nya.

Mengutamakan ”perniagaan” dengan Allah mungkin akan membuat kita mengorbankan kepentingan-kepentingan duniawi kita. Ketika kita berpikir lebih jauh tentang akhirat kita, tampaknya, kita benar-benar harus memegang teguh prinsip: tidak menjual diri, tidak menjual agama. Tidak menjual diri dan agama demi keuntungan duniawi semata. Tampak berat, tetapi sangat pantas untuk diperjuangkan bagi seorang muslim.

Apa hubungannya dengan ”hidup dalam komunitas”?

Mudahnya, kita mengartikan komunitas sebagai sekelompok orang yang hidup dan saling berinteraksi dalam suatu daerah tertentu. Batasan yang rigid, batasan wilayah, tampak tidak tempat lagi bagi kita yang hidup di mana dunia seoah-olah tanpa batas ruang dan waktu ini lagi. Yang mungkin sama sepanjang waktu adalah kesamaan itu sendiri. Apa yang membuat kita sama dan kita menyadarinya bersama akan hak dan kewajiban kita di dalamnya, itulah komunitas.

Bila kita menggunakannya untuk memaknai apakah komunitas muslim itu, maka apakah masih relevan jika kita membatasi siapa diri kita sebagai muslim Indonesia, Malaysia, Amerika atau muslim dari Timur Tengah? Keuniversalan pengakuan tiada tuhan selain Allah dan Muhammad rasul-Nya adalah pengikat kita sepanjang masa tanpa ada batas ruang dan waktu. Karena sepanjang masa pengakuan itu tidak akan pernah berubah.

Sejauh mana kita menghargai di mana kita berada?

Sepanjang kita mempelajari bahwa manusia adalah baik makhluk individual maupun makhluk sosial, sering sekali kita mendapatkan pengetahuan tentang hanya seputar pemenuhan kebutuhan. Manusia memiliki kebutuhan yang tidak bisa ia penuhi sendirian, dia butuh manusia yang lain. Kemudian, kita akan mudah mengasosiasikannya dengan kebutuhan materi duniawi di mana sebagai manusia, kita harus bekerja sama. Kemudian juga kita semakin memahami kebutuhan sosial psikologis duniawi di mana kita sebagai manusia juga harus saling memberi dan karena itulah kita menerima.

Nah, bagaimana dengan kebutuhan akhirat kita? Bukankah itu juga kebutuhan?

Apakah keagamaan seseorang adalah benar-benar urusan pribadi orang itu? Prinsip sekuler yang banyak dianut manusia zaman ini, sekalipun ia memiliki agama, benar-benar menjadi bumerang bagi diri manusia itu sendiri. Prinsip itu mengingkari hukum perilaku yang dirumuskan sendiri oleh para pemikir psikologi zaman ini. Ketika kita meyakini dunia tempat tinggal kita sebagai suatu sistem raksasa, bukankah sesederhana apapun perilaku beragama kita akan mempengaruhi sistem tersebut. Bukankah perilaku kurang terpuji kita yang kita bela-bela sebagai hak kita sebagai individu akan mempengaruhi juga sistem di mana kita berada?

Karena itulah sebagai muslim, kehidupan adalah sesuatu yang terpadu di mana agama adalah penopang hidup komunitas atau masyarakat yang lebih besar. Selebihnya pula, cahaya Islam tidak hanya bagi penganutnya, tetapi juga mereka yang tidak meyakini Islam. Islam adalah rahmat bagi seluruh alam.

Ketika kita benar-benar menyadari pentingnya kebutuhan akhirat bahkan lebih besar daripada kebutuhan dunia, komunitas di mana kita berada adalah kekuatan yang besar bagi diri kita untuk memenuhi kebutuhan itu. Tetapi kekuatan itu tidak lepas dari sejauh mana kita memahami apa peran kita, apa kewajiban dan hak kita dalam komunitas sebagai muslim.

Dari sinilah kita berbagi beberapa ayat Al Quran yang mungkin dapat menentramkan hati kita bersama.

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS Al Imran (3) ayat 110)

Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (QS Al Balad (90) ayat 12). Dan dia termasuk orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang (ayat 17).

Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nesihati-menasihati sepaya menetapi kesabaran (QS Al ”Ashr (103) ayat 2 dan 3).

Demikianlah yang seharusnya kita lakukan dalam komunitas, terutama komunitas muslim kita. Beriman kepada Allah ternyata tidak cukup hanya beriman dan mengerjakan amal saleh bagi diri sendiri, tetapi kita juga hendaknya mau menyuruh kepada yang makruf (benar) dan mencegah dari yang munkar (salah), mau saling menasihat-menasihati untuk bersabar, berkasih sayang dan menaati kebenaran. Untuk tidak menukar dunia dengan akhirat, untuk tidak menjual diri dan menjual agama, kita sangat membutuhkan dukungan dari manusia yang lain. Ada kalanya kita khilaf, tetapi siapa yang akan menolong kita kecuali saudara-saudara kita, yang karena izin Allah, menyadarkan kita lewat nasihat-nasihatnya?

Sejauh mana kita menghargai di mana kita berada? Di mana kita berada bersama saudara-saudara kita sesama muslim, yang juga mengakui syahadat yang sama? Apakah kita sama halnya orang-orang yang melewati suatu jalan tanpa bertegur sapa ”satu kata” saja, yang memandang orang lain sebagai ”orang lain”? Jika begitu, sungguh kita sudah tenggelam dalam lumpur individualitas (juga sekuler, mungkin) yang menjijikkan.

Doa kita bersama, Ya Allah, kuatkanlah hati saudara-saudara kita yang berada jauh dari saudara-saudara muslimnya. Baik yang jauh karena jarak, maupun jauh karena sesuatu di dalam hatinya...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar