Psikolog yang Tertipu
Oleh:
Aftina Nurul Husna
Katakanlah, “Apakah akan Kami
Beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?”
Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini,
sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu
orang-orang yang kufur terhada Ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap)
perjumpaan dengan Dia... [QS Al Kahf (18): 103-105]
Tulisan ini tidak hanya tentang
psikolog, tetapi juga tentang kita, mahasiswa yang belajar psikologi, terkhusus
yang berniat atau tengah menekuni psikologi Islami dan berharap mampu
mengembangkannya di masa depan. Tulisan ini sepenuhnya bersumber dari salah
satu bab dalam buku Manusia yang Tertipu, Al-Kaysf
wa al-Tabyin fi Ghurur al-Khalq Ajma’in, karya Imam al-Ghazali tentang
manusia yang tertipu dari golongan ulama.
***
Tujuan mulia yang diusung usaha
islamisasi psikologi adalah penyempurnaan psikologi itu sendiri. Dengan
dikembangkan sesuai dengan nilai-nilai Islam, psikologi yang muncul, dalam
teori dan prakteknya. diharapkan menjadi ilmu yang mendekatkan manusia pada
Tuhan-Nya, membantu manusia mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Perkembangan
ilmu pengetahuan sepenuhnya tergantung pada diri ilmuwannya dan jelas bagi
ilmuwan muslim bahwa yang diharapkan pada diri mereka tidak hanya berupa kedalaman
ilmu (baik ilmu agama maupun ilmu dunia), tetapi juga keluhuran budi karena
iman dan takwa. Namun, dalam usaha untuk mencapainya, ada satu ancaman yang nyata.
Sering tanpa kita sadari, kita termasuk golongan manusia yang tertipu.
Orang
berilmu yang tertipu dapat dilihat dari dua sisi, yaitu:
Pertama, dari segi perbuatan. Mereka
seperti orang-orang sakit yang mempelajari obat-obatan dari orang-orang pandai,
tetapi tidak mengajarkan atau mengamalkannya. Mereka orang berilmu yang
memiliki sifat buruk. Mereka mendaki kehancuran diri mereka sendiri karena
enggan menyucikan jiwa.
Kedua, dari segi keilmuan. Mereka
mengira bahwa hanya ilmu yang mereka tekunilah yang benar dan merupakan sarana
efektif untuk mencapai keselamatan padahal sarana untuk mencapai keselamatan
adalah cinta kepada Allah. Mereka seperti orang-orang yang hanya mencukupkan
diri dengan persiapan bekal perjalanan haji, namun tidak mengerti bahwa yang dimaksud
fiqih adalah mengenal Allah dan sifat-sifat-Nya yang ditakuti dan sangat keras,
agar hati mereka senantiasa takut dan bertakwa kepada Allah.
“Seandainya
mereka lebih menyibukkan diri mereka dengan membersihkan jiwa mereka, tentu
akan lebih baik bagi mereka daripada mempelajari ilmu yang tidak ada manfaatnya
selain untuk kepentingan dunia dan kesombongan.”
1.
Mereka berusaha mendalami dan sibuk mempelajari ilmu,
namun tidak mempedulikan anggota tubuhnya, tidak memeliharanya dari perbuatan
maksiat dan tidak mengarahkannya untuk bertaat.
2.
Mereka sungguh tertipu oleh ilmu yang dimiliki; mengira
bahwa dirinya memiliki posisi di sisi Allah dan telah mencapai puncak ilmu
sehingga Allah tidak akan menjatuhkan siksa pada mereka.
3.
Mereka layaknya seperti seorang dokter yang dapat
mengobati orang lain dan dirinya sendiri, namun ketika ia sendiri yang sakit,
ia tidak melakukannya [mengobati dirinya sendiri].
4.
Hidup mereka dikuasai oleh kesenangan terhadap dunia,
terhadap ego mereka dan kenikmatan sesaat. Mereka mengira bahwa ilmu yang
dimiliki dapat menyelamatkan mereka di akhirat kelak meski tanpa disertai amal.
5.
Di antara mereka ada kelompok yang menguasai ilmu,
beramal dan meninggalkan maksiat, namun mereka melupakan hati mereka. Mereka
tidak berusaha menghilangkan sifat-sifat yang tercela, seperti sombong, riya’,
dengki, mencari pangkat dan kedudukan, berniat buruk terhadap kawan dan
sahabat, dan mencari popularitas di tengah-tengah masyarakat.
6.
Di antara mereka ada yang mengetahui tabiat nafsu dan
mengetahui bahwa ia secara syar’i tergolong sesuatu yang tercela. Hanya saja,
karena terlalu kagum pada diri sendiri, mereka menduga bahwa diri mereka
terhindar dari hal-hal yang tercela. Mereka merasa lebih tinggi kedudukannya di
sisi Allah. Mereka mengira tidak akan diberi ujian seperti itu dan yang berhak
diuji demikian hanyalah orang-orang awam, bukan mereka.
7.
Dalam perilaku mereka selalu tampak sikap sombong dan
merasa tinggi diri. Mereka mengira sikap mereka bukanlah sombong, melainkan
demi menegakkan agama, menampakkan keagungan ilmu dan demi menolong agama
Allah.
***
Orang
yang tertipu adalah mereka yang mengira bahwa sesuatu hal sudah cukup padahal
itu masih jauh. Mereka mengira akan selamat padahal belum beramal. Mereka sibuk
mencari keutamaan duniawi, mengira telah taat padahal durhaka. Mereka selalu
mengharap ampunan dan mengira perbuatan baik mereka lebih domiman padahal
justru yang lebih banyak adalah perbuatan maksiat. Mereka tidak pernah
mengoreksi diri, memikirkan kesalahan dan mengusahakan perbaikan diri.
Beragam
tipu daya merintangi jalan menuju Allah dan tidak terhitung jumlahnya. Kesempatan
belajar dan mendapatkan ilmu pengetahuan adalah nikmat yang sungguh besar dari
Allah. Namun demikian, nikmat tersebut dapat berubah menjadi siksa jika kita
tidak waspada; terlena dengan ilmu yang kita miliki, tenggelam dalam keunggulan
diri kita, dibutakan oleh asumsi pasti selamat, merasa benar padahal salah, menolak
koreksi dari orang lain, dan tidak mau belajar lebih jauh.
Hanya Allah-lah yang memberi
petunjuk dan cukuplah Dia yang memberi kita kebahagiaan dan kesejahteraan.
Tiada daya dan upaya selain atas kehendak-Nya. Semoga kita terhindar dari
menjadi manusia, orang berilmu, yang tertipu. Wallahu’alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar