Laman

Selamat Datang...

Berbagi isi hati dan pemikiran...
Berbagi asa untuk mencapainya bersama untuk sebuah kemajuan...

Jumat, 07 Agustus 2009

Puasa Batin di Bulan Ramadhan

Kita semua merasakan bahwa Ramadhan selalu menjadi bulan yang berbeda dengan bulan-bulan yang lain. “Lebih mudah” beribadah pada bulan Ramadhan dibandingkan pada bulan-bulan lainnya. Tidak ada suasana yang lebih religius dimana Islam dikumandangkan di mana-mana selain di bulan Ramadhan. Tidakkah disadari ada pergerakan umat yang luar biasa? Umat Islam bersama-sama bangun di malam hari, stasiun televisi menyiarkan banyak acara keagamaan, masjid dan musola disemarakkan dengan bacaan Quran dan orang-orang yang salat, orang bersedekah di mana-mana dengan jumlah yang luar biasa, kegiatan-kegiatan amal digalakkan, majilis-majilis dzikir diadakan, keluarga-keluarga yang bekerja sama menyiapkan hidangan berbuka, orang menjadi murah hati kepada sesama, dan kesimpulanku, itulah Islam. Tidak ada bulan yang seperti itu selain Ramadhan.


Apakah Ramadhan menimbulkan semangat keagamaan tertentu? Pahala-pahala dilipatgandakan, dosa-dosa diampuni, pintu surga dibuka, sedang setan-setan dibelenggu. Ramadhan adalah bulan yang dipenuhi curahan rahmat dan ampunan, itulah yang memotivasi kita beribadah jauh lebih. Ramadhan menjadi bulan dimana diri kita dididik secara fisik dan psikis untuk menjadi insan yang menjalankan Islam dengan sebaik-baiknya. Dari situlah muncul pengembangan diri sebagai seorang muslim. Inilah yang sesungguhnya ingin kita capai.


Idealnya, pengalaman Ramadhan akan mewarnai kehidupan kita di sebelas bulan berikutnya. Idealnya, karena kita seakan-akan kembali seperti “bayi yang baru lahir”, kita akan menjadi insan yang lebih baik. Tapi kenyataannya, apakah kita benar-benar mengembangkan diri kita selama Ramadhan?


Rasulullah SAW pernah bersabda, “Banyak sekali orang yang berpuasa itu, tetapi tidak ada yang diperolehnya dari puasanya itu kecuali hanya lapar dan haus saja (yakni pahalanya lenyap sama sekali),” (HR Nasa’i dan Ibn Majah).


Kegagalan kita mengembangkan diri bisa jadi dikarenakan kita melalaikan bahwa puasa itu bukan hanya ibadah fisik, tetapi juga ibadah batin.


Al Ghazali dalam Ihya ‘Ulumuddin-nya menjelaskan tiga tingkatan orang berpuasa. Pembagian tingkatan ini dapat menjadi bahan renungan bagi diri kita.




  1. Puasa orang umum, orang yang berpuasa dengan cara menahan nafsu makan, minum, seks, dan kewajiban-kewajiban lahiriahnya.



  2. Puasa orang khusus, orang yang berpuasa fisiknya, ditambah pula dengan menahan pendengaran, penglihatan, lidah, kaki, tangan, dan anggota badan lain dari perbuatan dosa.



  3. Puasa orang khususnya khusus, orang yang selain berpuasa fisik dan menjaga diri dari perbuatan dosa, juga berpuasa hatinya, yaitu menahan diri dari pikiran-pikiran yang rendah, pemikiran keduniawian, dan menahan dirinya dari segala sesuatu yang untuk selain Allah secara keseluruhannya.




Banyak dari kita yang berhasil memenuhi syarat lahiriah saja, tetapi tidak untuk syarat batin. Bahkan, tidak banyak pula yang tahu syarat batin itu apa saja. Selanjutnya, Al Ghazali juga mengemukakan enam syarat batin berpuasa.


Pertama, memejamkan mata dan menahan dari leluasanya pandangan pada sesuatu yang tercela dan dibenci atau pada sesuatu yang menyebabkan kelalaian hati serta melengahkan diri untuk berdzikir kepada Allah. Maka, kita perlu hati-hati terhadap tayangan-tayangan di televisi, misalnya terhadap sinetron-sinetron yang tidak baik itu atau mencegah diri dari melihat hal-hal yang tidak baik.


Kedua, menjaga lidah dari senda gurau yang tidak berguna, berdusta, mengumpat, mengadu domba, berkata kotor, mencaci maki, bermusuhan dengan orang lain atau pamer kebaikan yang dilakukan. Maka, selama Ramadhan kita perlu menjaga obrolan yang kita lakukan dengan teman atau siapa pun, menjauhi hal-hal yang tidak berguna bisa dengan memperbanyak dzikir atau membaca Quran.


Ketiga, menahan pendengaran dari mendengar segala sesuatu yang dibenci, yang haram diucapkan dan haram didengarkan. Maka, selama Ramadhan kita perlu hati-hati pada tontonan yang kita tonton, musik yang kita dengarkan, perkataan buruk yang bisa kita dengarkan, dan sebagainya.


Keempat, menahan anggota tubuh dari segala perbuatan dosa. Tidak mencuri, memukul, menyiksa hewan, mengganggu orang lain, membuang sampah sembarangan, dan sebagainya.


Kelima, tidak terlalu banyak makan ketika berbuka. Puasa, dimana kita seharian menahan makan dan minum, tentu menambah nafsu makan kita ketika berbuka, tetapi inilah ujian kesabaran kita untuk tidak makan berlebihan (jenis maupun jumlah). Allah tidak menyukai orang yang perutnya terlalu kenyang, sekalipun ia memakan makanan yang halal. Perut yang terlalu kenyang biasa membuat kita malas beraktivitas dan beribadah.


Keenam, hendaknya setelah berbuka, di dalam hati masih ada perasaan antara takut dan berharap mengenai diterimanya amalan sepanjang hari kita atau tidak oleh Allah. Kita tidak tahu apakah puasa kita seharian disukai Allah atau tidak. Perasaan ini membuat kita lebih berhati-hati menjalani puasa di hari selanjutnya.




Pengembangan diri membutuhkan latihan menghadapi tantangan dan ujian dalam hidup. Puasa di bulan Ramadhan tidak hanya merupakan ibadah ritual, tetapi merupakan sarana mengembangkan diri bagi setiap muslim. Banyak yang berpikiran puasa adalah penderitaan hidup, tetapi sesungguhnya, banyak sekali manfaat yang dapat kita peroleh. Dari “penderitaan” puasa kita belajar memahami penderitaan saudara-saudara kita yang lapar, kita menjadi hidup bersyukur dan bersabar, membangun kontrol diri dan kehati-hatian, hidup berbuat baik terhadap orang lain, dan masih banyak lagi. Ayo, semangat menjalani Ramadhan tahun ini!




Referensi:


Mu’izatul Mukminin, ringkasan dari Ihya ‘Ulumuddin Al Ghazali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar