Laman

Selamat Datang...

Berbagi isi hati dan pemikiran...
Berbagi asa untuk mencapainya bersama untuk sebuah kemajuan...

Sabtu, 15 November 2008

Depresi, Homicide dan Suicide

Oleh: Aftina Nurul Husna

Sama-sama –cide.Belum tahukah apa arti kedua kata itu? Berdasarkan kamus bahasa Inggris, homicide berarti pembunuhan, sedangkan suicide berarti bunuh diri. Sama-sama membunuh yang disengaja hanya saja yang dibunuh berbeda. Homicide adalah membunuh orang lain, sedangkan suicide adalah membunuh diri sendiri.

Adalah mengerikan sekali membayangkan aksi bunuh diri yang bahkan dilakukan pula oleh anak-anak yang sering kita pikir mereka belum mengenal kata susah. Lebih mengerikan lagi ketika ibu yang bunuh diri turut membawa anak mereka “ikut” dengan mereka dengan membunuh mereka. Atau yang lebih-lebih mengerikan lagi, ibu yang membunuh anak-anaknya karena takut anak-anaknya tidak memiliki masa depan sementara.

Para ahli psikologi mengatakan bahwa bunuh diri bukanlah suatu gangguan psikologis, tetapi sering merupakan ciri dari gangguan psikologis yang mendasarinya. Tentu saja, salah satu ciri gangguan psikologis yang mendasarinya adalah depresi, yaitu bentuk unipolar dari gangguan mood. Depresi terjadi ketika kutub emosional mengarah ke bawah, dicirikan sebagai berikut:

  1. Perubahan pada Kondisi Emosional

Perubahan mood, terus-menerus merasa terpuruk, sedih, muram, menangis, mudah tersinggung, gelisah atau kehilanga kesabaran.

  1. Perubahan dalam Motivasi

Perasaan tidak memiliki motivasi hidup, menurunnya partisipasi sosial, hilangnya minat pada aktivitas yang menyenangkan, dan gagal merespon pujian.

  1. Perubahan dalam Fungsi dan Perilaku Motorik

Begarak atau berbicara perlahan (tidak bersemangat), perubahan kebiasaan tidur, perubahan selera makan, perubahan berat badan (berambah maupun berkurang) dan kurang efektif dalam beraktivitas.

  1. Perubahan Kognitif

Sulit berpikir jernih, berpikiran negatif mengenai diri dan masa depan, merasa bersalah atau menyesal karena kesalahan di masa lalu, berkurangnya harga diri, dan berpikir akan kematian dan bunuh diri.

Jelas sekali depresi mengubah pola pikir seseorang sehingga ia berkeinginan mengakhiri hidupnya. Tetapi, mengapa seseorang menjadi depresi? Mengapa orang depresi membunuh dirinya sendiri? Mengapa selain membunuh dirinya, orang itu juga membunuh orang-orang yang dicintainya seperti anak?

Mengapa seseorang menjadi depresi?

Jawabannya ada di sekitar kita, kita saksikan, dan mungkin juga kita alami. Kesulitan hidup. Peristiwa hidup yang penuh tekanan yang mengakibatkan orang tersebut mengalami stress. Tetapi tidak semua kesulitan hidup, peristiwa hidup yang penuh tekanan dan stress berimplikasi pada depresi. Ada faktor-faktor seperti keterampilan mengatasi stress, bawaan genetis, dan ketersediaan dukungan sosial yang mempengaruhi terjadinya depresi.

Ada pula jawaban yang diberikan oleh para ahli psikologi humanisme, yaitu depresi dipicu oleh ketidakmampuan mengisi keberadaannya hidup di dunia dengan makna sehingga dunia dianggap sebagai tempat yang menjemukan. Ada pula peran hilangnya self-esteem ketika kita mengalami peristiwa-peristiwa menyakitkan atau kehilangan.

Sementara itu, jawaban yang diberikan para ahli psikologi kognitif adalah depresi diakibatkan oleh pikiran-pikiran negatif yang ditujukan pada diri, lingkungan, dunia, dan masa depan, serta pesimisme.

Mengapa orang yang depresi membunuh dirinya sendiri?.

Jawaban adalah mereka yang depresi kehilangan harapan mengenai masalah-masalah mereka dan tidak melihat jalan keluar lain bagi masalah itu selain bunuh diri. Orang yang memikirkan bunuh diri ketika stres mungkin memiliki keterampilan memecahkan masalah dan kurang dapat menemukan cara-cara alternatif untuk menanggulangi stres yang menyebabkan mereka depresi.

Dan yang terakhir, mengapa orang yang bunuh diri itu juga membunuh orang-orang yang dicintainya, seperti anak-anak mereka?

Adalah kemiskinan yang menjadi penyebab seseorang ibu selain membunuh dirinya juga membunuh anak-anaknya. Tidak mampu saya menguraikan kasus demi kasus itu di sini, tetapi silakan cari artikel-artikel tentang itu di mana saja. Hati kita tentu teriris-iris menyaksikan betapa kemiskinan begitu membuat seseorang putus asa. Ada yang terjun ke sumur, membakar diri, menenggak racun, sambil turut membawa anak tersayang mereka.

Inilah kejahatan ganda. Tidak hanya menzalimi diri sendiri, tetapi juga menzalimi orang lain. Mulai dari titik ini (sebenarnya dari titik-titik yang lebih awal juga), kita harus meluaskan pandangan kita sebagai orang yang beriman kepada Allah SWT. Kita perlu membuka kitab suci perdoman hidup kita yang universal, Al Quran, di samping kita juga mengkaji buku-buku psikologi.

Fenomena homicide dan suicide ini dapat ditelaah lewat sudut pandang psikologi perkembangan manusia dewasa. Adalah peristiwa normatif (dialami sebagian besar orang pada waktu kehidupan tertentu) sebagai tugas perkembangan bagi orang dewasa untuk mandiri secara ekonomi, memiliki pekerjaan, menikah, menghidupi keluarga, memiliki anak dan mengasuhnya baik-baik. Kita mengharapkan kebahagiaan hidup, hanya saja tidak semua itu terjadi pada kehidupan manusia. Tugas-tugas perkembangan ini adalah krisis yang harus dihadapi untuk menjadi orang dewasa yang berhasil. Keberhasilan dalam pekerjaan, pernikahan dan mampu membesarkan anak dengan baik adalah harapan setiap orang dewasa (Bacalah Model Krisis Normatif dari Vaillant dan Levinson dalam teori-teori perkembangan psikososial manusia dewasa).

Namun, harapan-harapan ini tidak berhasil dipenuhi oleh semua orang dewasa yang berkeluarga. Tidak mampu bekerja secara layak membuat keluarga dihimpit masalah ekonomi dan kemiskinan. Kemiskinan adalah masalah yang berat di mana seseorang tidak mampu menghidupi dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya. Tak dapat dipungkiri, kemiskinan dan himpitan ekonomi adalah faktor utama terjadinya depresi di Indonesia. Ditambah oleh kesenjangan sosial yang begitu besar antara yang kaya dan yang miskin dan minimnya solidaritas sosial, semua itu memperparah stres, depresi dan keputusasaan yang dialami keluarga miskin.

Krisis ini seharusnya mampu dihadapi dengan mekanisme adaptasi yang baik. Namun, yang mengarahkan orang memutuskan bunuh diri adalah mekanisme adaptasi yang neurotis di mana seseorang menekan kecemasannya dan membangun ketakutan-ketakutan yang irasional. Hal ini dapat dilihat pada kasus yang pernah terjadi beberapa waktu lalu di mana seorang ibu membunuh anak-anaknya karena takut anaknya tak punya masa depan padahal keadaan keluarga tergolong mampu.

Mengapa seorang ibu bunuh diri juga membawa mati anaknya juga dapat ditinjau dari Teori Perkembangan Moral Wanita dari Carol Gilligan. Berdasarkan penelitiannya, Gilligan menyimpulkan bahwa wanita cenderung untuk lebih memikirkan tanggung jawab mereka pada orang-orang tertentu yang dalam kasus homicide dan suicide ini adalah anak-anak mereka. Berdasarkan teori ini, pembunuhan terhadap anak mencerminkan rasa tanggung jawab yang salah seorang ibu pada anaknya. Orang tua adalah yang bertanggung jawab mendidik anak dan mempersiapkan hari depan anak yang cerah. Ketika seorang ibu putus asa dengan keadaan ekonomi keluarga dan khawatir masa depan sang anak, ia mungkin merasa ketakutan menjadi seseorang yang tidak bertanggung jawab membuat anaknya tidak bahagia. Penyelesaiannya cukup tidak “mementingkan diri sendiri” dengan tidak hanya “mengeluarkan” diri sendiri dari tanggung jawab, tetapi juga mengeluarkan objek tanggung jawab mereka dari dunia yang kejam ini.

Fenomena homicide dan suicide ini, juga dapat dijelaskan lewat teori Psikologi Sosial. Tindakan bunuh diri merupakan agresi yang mengarah ke dalam, seperti yang dijelaskan dalam Teori Psikodinamika Klasik. Perilaku agresif bunuh diri ini terjadi karena adanya rangsangan tertentu, menurut Teori Transfer Eksitasi dari Zillman. Sedangkan agresifitas itu sendiri berasal dari rasa frustasi berdasarkan hipotesis frustasi-agresi dari Dollard dan Miller. Dinamikanya demikian:

Kemiskinan dan himpitan ekonomi adalah faktor-faktor yang memicu frustasi di mana kemiskinan dan himpitan ekonomi menghambat seseorang meraih kehidupan yang ideal, keluarga yang mapan dan mampu membesarkan anak dengan baik. Frustasi ini dipendam begitu lama sepanjang kemiskinan berlangsung, menjadi stres dan jika tidak ditanggulangi mengakibatkan orang tersebut mengalami depresi. Namun, ada suatu peristiwa yang memicu frustasi atau depresi ini untuk dilampiaskan dalam wujud perilaku agresif membunuh diri. Peristiwa ini seperti peristiwa-peristiwa yang membuat kemiskinan semakin berat ditanggulangi oleh orang tersebut, contohnya saat ini adalah kenaikan harga-harga kebutuhan pokok dan bahan bakar. Keputusasaan menjadi semakin berat, harapan seolah tidak ada lagi.

Dalam fenomena homicide dan suicide, kedua sudut pandang psikologi perkembangan maupun sosial berhubungan satu sama lain. Dapat ditambahkan pula teori belajar sosial di mana individu membunuh diri karena meniru perilaku bunuh diri individu lainnya yang telah bunuh diri. Tugas kita lah, para ahli psikologi, mahasiswa psikologi, psikolog profesional, para pemuka agama, pemerintah dan siapa saja yang memiliki kepedulian untuk mencegah jangan sampai bunuh diri menjadi tren masyarakat untuk keluar dari masalah yang dihadapi.

Ucapan Martin Seligman, ahli psikologi dari Universitas Pennsylvania, yang dikutip dalam buku Emotinal Intelligence karya Daniel Goleman sangat mempengaruhi saya jauh-jauh hari sebelum tulisan ini ditulis.

“Selama 30 atau 40 tahun terakhir ini, kita menyaksikan meningkatnya individualisme dan lenyapnya keyakinan yang lebih luas terhadap agama, serta terhadap dukungan masyarakat dan keluarga besar. Ini berarti hilangnya sumber yang dapat menopang Anda dari kekalahan dan kegagalan. Sejauh Anda memandang kegagalan sebagai sesuatu yang yang berlangsung terus dan yang Anda perbesar hingga mewarnai apa saja dalam kehidupan Anda, Anda menjadi lebih gampang membiarkan kekalahan-sementara menjadi sumber keputusasaan abadi. Tetapi, seandainya jika Anda memiliki sudut pandang yang lebih luas, lalu Anda kehilangan pekerjaan, Anda hanya akan menganggapnya sebagai kekalahan sementara.”

Ini adalah pernyataan yang baru saja lahir di abad 20. Sejak abad ke-6 ada pernyataan yang universal, yaitu Al Quran yang merupakan pedoman universal hidup manusia yang juga mengungkapkan hal demikian dan sangat relevan dengan kondisi zaman ini.

Lebih jauh lagi sebelum saya membaca pernyataan Martin Seligman, saya membaca ayat berikut:

“Sesungguhnya Tuhan-mu Melapangkan Rezeki kepada siapa yang Dia Kehendaki dan Menyempitkannya; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui dan Maha Melihat akan Hamba-hamba-Nya. Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang Memberi Rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” (QS Al Isra’: 30 – 31).

Sesungguhnya Allah SWT telah memperingatkan manusia akan bahaya kemiskinan dan betapa buruknya perilaku membunuh anak-anak disebabkan kekhawatiran akan kemiskinan dan ketidakmampuan menghidupi mereka karena sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Memberi Rezeki kepada hamba-hamba-Nya.

Ayat ini juga menjelaskan kepada kita bahwa segala peristiwa kehidupan yang berpotensi sebagai stressor adalah telah digariskan. Sebagaimana yang telah ditulis dalam Al Quran:

“Dan sesungguhnya akan Kami Berikan Cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mungucapkan, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un’” (QS Al Baqarah: 155 – 156).

Teori Atribusi yang menjelaskan penyebab depresi sejalan dengan apa yang tertulis dalam Al Quran. Banyak faktor yang berperan dalam depresi, salah satunya adalah kecenderungan pola atribusi untuk menyalahkan diri sendiri (self-defeating) atas peristiwa-peristiwa negatif atau keyataan pahit yang mereka alami. Islam mengajarkan umatnya untuk sabar dalam menghadapi kesulitan hidup, menyerahkan diri hanya kepada Allah SWT, dan tetap menjaga ibadah, terutama shalat.

“Wahai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat, sesungguhnya Allah berserta orang-orang yang sabar.” (QS Al Baqarah: 153).

Pernyataan Seligman sejalan dengan apa yang telah dituliskan dalam Al Quran, betapa pentingnya keyakinan terhadap agama sebagai tempat kita bersandar ketika mengalami kehidupan yang berat. Hanya kepada Allah-lah kita meminta pertolongan (QS Al Fatihah: 5), dan Allah-lah tempat kita bergantung. Keimanan adalah hal penting yang harus kita pegang teguh dan sesungguhnya, ujian kehidupan yang kita alami adalah cara Allah Mengetahui mana hamba-Nya yang tetap menjaga iman dan mana yang menyerah pada godaan setan yang terkutuk, sebagai mana yang dituliskan dalam Al Quran:

“Apakah manusia mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah Menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah Mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia Mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS Al Ankabut: 2 – 3).

Pernyataan tentang pentingnya solidaritas sosial dan dukungan sosial dari masyarakat dan keluarga oleh Seligman, ternyata juga telah dituliskan dalam Al Quran:

“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya menetapi kebenaran dan nasihat-menasihati sepaya menetapi kesabaran.” (QS Al ‘Ashr: 1 – 3).

Manusia memiliki tanggung jawab untuk menjaga memelihara kehidupan, baik dirinya sendiri maupun sesamanya. Waktu hidup di dunia begitu singkat dan sangatlah merugi orang-orang yang membunuh dirinya sendiri, sementara di dunia ia memiliki kesempatan untuk memperbanyak amal untuk akhiratnya. Semua yang dituliskan Al Quran mengajak manusia tidak hanya mengejar kebahagiaan hidup di dunia, tetapi juga kebahagiaan hidup di akhirat karena akhirat adalah tujuan hidup yang sebenarnya. Islam mengajarkan manusia untuk mencari makna kehidupan lewat proses-proses yang dijalaninya baik susah maupun senang, tidak semata mengharapkan hasil di dunia karena hasil yang sebenarnya kita petik di akhirat.

Obat bagi kita yang sedang mengalami hidup yang sulit adalah dengan membangun optimisme. Para pakar psikologi di Barat, seperti Goleman, mengakui pentingnya optimisme, sungguh-sungguhan, motivasi, empati, dan kompetensi sosial dalam menentukan kebahagiaan dan kesuksesan hidup yang tercermin dalam kecerdasan emotional. Jika kita merujuk pada ayat yang menyatakan:

“… sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS Al Insyirah: 6).

Apakah kita masih tetap tidak bersyukur atas nikmat iman yang diberikan Allah pada kita? Apakah kita masih tidak optimis pada kehidupan yang kita jalani? Apakah kita masih hobi mengeluh dan berputus asa? Betapa dengan iman yang kita pegang teguh, Allah menjanjikan kehidupan yang baik di dunia dan akhirat, terbebas dari kesedihan yang mengarahkan kita pada perilaku-perilaku kufur nikmat, karena kita hanya menjadikan Allah tempat memohon pertolongan. Maha Benar Allah atas segala Firman-Nya. Betapa kayanya Al Quran dalam membimbing kita untuk menjalani kehidupan dan perilaku yang diridhai Allah. Seolah dikatakan pada kita lewat Al Quran agar kita menjadi pribadi-pribadi muslim yang bersemangat dan optimis dalam menghadapi kehidupan.(af/6/11/08)

NB: Sangat direkomendasikan bagi pembaca untuk juga membaca referensi.


Referensi:

Al Quran Al Karim

Alwisol. 2007. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press.

Ausyarie, Sukmadjaja dan Rosy Yusuf. 1984. Indeks Al Qur’an. Bandung: Pustaka.

Baron, Robert dan Donn Byrne. 2004. Psikologi Sosial Jilid 1. Jakarta: Erlangga.

_________________________. 2005. Psikologi Sosial Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Echols, John dan Hassan Shadily. 1996. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Goleman, Daniel. 2004. Emotional Intelligence. Jakarta: Gramedia.

Nevid, Jeffrey, Spencer Rathus, dan Beverly Greene. 2005. Psikologi Abnormal Jilid 1. Jakarta: Erlangga.

Papalia, Diane, Sally Olds, dan Ruth Feldman. 2001. Human Development. Boston: McGrawHill.

Santrock, John. 2002. Life-Span Development/ Perkembangan Masa Hidup. Jakarta: Erlangga.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar