Laman

Selamat Datang...

Berbagi isi hati dan pemikiran...
Berbagi asa untuk mencapainya bersama untuk sebuah kemajuan...

Sabtu, 15 November 2008

Social Loafing?

Oleh: Aftina Nurul Husna

Digariskannya manusia sebagai makhluk sosial memunculkan konsekuensi terbentuknya kelompok-kelompok manusia. Dalam kelompok-kelompoknya, manusia berinteraksi satu sama lain di mana didalamnya ada hubungan saling tergantung atau interdependency untuk memenuhi kebutuhan pribadinya sendiri. Maka, manusia tidak dapat murni sebagai makhluk sosial karena manusia juga digariskan sebagai makhluk individual.

Selama perjalanan hidup kita, kita merupakan individu yang menjadi anggota dari banyak kelompok, mulai dari yang sederhana sampai yang kompleks, dari yang formal samapi yang informal, dari yang jangka pendek sampai yang jangka panjang, dari yang kohesif sampai yang tidak kohesif dan sebagainya (Sarwono, 1999). Kelompok-kelompok tersebut ternyata memiliki dampak yang kuat terhadap bagaimana kita berpikir dan bertindak. Sebenarnya, cara berpikir dan bertingkah laku inilah yang menjadi acuan kita menggolongkan individu-individu sebagai in-group atau out-group. Persepsi terhadap in-group dan out-group inilah yang pula menentukan pola perilaku kita. Sebagai contoh adalah pola perilaku individualistik atau kolektivistik (Triandis, 1994).

Mengenai individualistik atau kolektivistik, saya jadi teringat kuliah Psikologi Lintas Budaya terakhir di bulan Oktober. Saat itu kami mengukur diri kami sendiri: individualis atau kolektivis, dan hasilnya cukup mencengangkan. Kami yang kebanyakan orang Jawa ternyata banyak yang berjiwa individualistik. Zaman rupanya telah berubah.

Kemudian dosen kami menanyakan bagaimana kami membangun kelompok selama ini (banyak tugas kami yang dikerjakan berkelompok). Memang, ada kesulitan mengorganisasi orang-orang, tetapi metode bagi-bagi tugas (jatah mencari bahan) menurutku cukup kolektivistik daripada tugas itu hanya dikerjakan satu atau dua orang sendirian. Apa jawab dosenku? Sama saja, itu individualistik juga. Karena setiap orang hanya akan memikirkan jatahnya sendiri. Memikirkan tugasku sudah selesai dan kalau ada masalah, asal itu bukan di bagian di mana ia mengerjakan itu, itu bukan masalahnya.

Di luar pembahasan individualistik-kolektivistik itu, kalau membicarakan suka duka membangun kelompok, ada banyak sekali carita yang intinya kelompok kerja ideal memang sukar diraih.

Yang pertama, masalah kepemimpinan yang tidak jelas; tidak ada yang berinisiatif memulai di awal dengan mengumpulkan kelompok ketika tugas baru saja diberikan.

Yang kedua, kesan “tugas tidak penting” sehingga pengerjaan berlarut-larut. Biasanya, dekat-dekat hari H baru mulai “sibuk”.

Yang ketiga, ada saja anggota yang pasif, tidak datang di pertemuan, dan beberapa waktu setelahnya bertanya, “Tugasku apa?” Apakah ini individualistik?

Yang keempat, ada saja anggota yang tidak berjalan berdasarkan instruksi yang diberikan. Pada akhirnya, ada saja orang yang harus berkorban bekerja lebih banyak.

Yang kelima, ada juga yang merasa tidak adil ketika bagiannya “diserobot” yang lain. Karena dia bekerja sampai lembur, tapi hasil kerjanya kurang memuaskan dan diperbaiki yang lain.

Yang keenam, masalah gender Entah kenapa, laki-laki suka sekali mengandalkan rekannya yang perempuan dalam pengerjaan tugas. Aku senyum-senyum saja ketika pernah mendengar cerita tentang ini. “Waktu ada tugas, aku nggak ngapa-ngapain, lho. Kalau sama “X”, “Y”, “Z” (mereka perempuan) tugas tahu-tahu sudah selesai.” Apa laki-laki memang begitu?

Yang terakhir, kenapa, selalu saja, ada orang yang “tidak bekerja” atau bekerja di bawah level yang sebenarnya bisa ia lampaui.

Ada teori dalam psikologi sosial yang membuat mataku terbelalak dan tiba-tiba ada jawaban untuk semua pertanyaan tentang kelompok ini. Jadi, ini sebenarnya yang terjadi dalam kelompok: Social Loafing (Baron dan Byrne, 2005).

Ternyata, cara kerja bagi-bagi tugas dan menggabungkannya menjadi satu di akhir adalah cukup umum terjadi. Pola ini disebut additive task. Seperti yang telah diungkapkan di atas, dalam tugas-tugas seperti ini memang terjadi beberapa orang yang bekerja lebih keras sedangkan yang lainnya masa bodoh, melakukan lebih sedikit dari bagian mereka dan lebih sedikit dari bagian yang mungkin akan mereka kerjakan kalau bekerka sendiri. Yang seperti ini disebut social loafing, pengurangan motivasi dan usaha ketika individu bekerja secara kolektif dalam kelompok dibandingkan ketika bekerja secara individual.

Social loafing ternyata tidak tampak terjadi dalam budaya kolektivitas, seperti yang ada di banyak negara Asia, budaya di mana kebaikan-kebaikan kolektif lebih dihargai daripada prestasi atau keberhasilan individual. Faktor budaya ternyata sangat mempengaruhi perilaku kita. Ketika kita sebagai orang Jawa, atau orang dari budaya timur, seperti kasus di kelas lintas budaya tadi, ternyata tidak lagi kolektivistik, social loafing akan menjadi makanan sehari-hari suatu kelompok.

Social loafing tentu saja sangat merugikan kinerja suatu kelompok. Bekerja bersama-sama belum tentu berhasil maksimal. Maka, bagaimana mengatasinya? Namun sebelum kita membahas bagaimana mengatasinya, kita perlu mengetahui bagaimana social loafing dapat terjadi.

Karau dan Williams mengemukakan model usaha kolektif (collective effort model/CEM). Social loafing dapat dipahami lewat teori motivasi individual (expectance-valence theory) pada situasi yang melibatkan kelompok. Teori ini menyebutkan bahwa individu akan bekerja keras pada tugas yang diberikan hanya pada kondisi-kondisi berikut:

  1. Mereka percaya bahwa kerja keras akan menghasilkan kinerja yang lebih baik (pengharapan/expectancy).

  2. Mereka percaya bahwa kinerja yang lebih baik akan diakui dan dihargai (instrumentalis/instrumentality).

  3. Penghargaan yang diperoleh adalah sesuatu yang mereka anggap berharga dan diinginkan (valensi/valence).

Namun, dalam kelompok, hubungan tersebut tampak lebih lemah daripada kalau bekerja sendiri. Pertimbangannya demikian:

  1. Faktor pengharapan. Keyakinan bahwa usaha yang meningkat akan menghasilkan kinerja yang lebih baik. Dalam kelompok, seseorang mungkin menyadari bahwa ada faktor-faktor lain di samping usaha mereka sendiri yang menentukan kenerja kelompok, seperti besar usaha yang dikerahkan anggota lain.

  2. Faktor instrumentalis.Keyakinan bahwa kinerja yang baik akan diakui dan dihargai. Dalam kelompok, seseorang mungkin menyadari bahwa hasil baik akan dibagi kesemua anggota kelompok dan bahwa, sebagai konsekuensinya, mereka mungkin tidak mendapatkan pembagian yang adil sesuai usaha mereka.

Lebih banyak terdapat ketidakpastian antara seberapa keras orang bekerja dan hasil yang mereka terima yang membuat orang tersebut mengalami social loafing.

CEM memperkirakan bahwa social loafing paling lemah ketika:

  1. Individu bekerja dalam kelompok kecil daripada kelompok besar.

  2. Individu bekerja dalam tugas yang secara intrinsik menarik atau penting bagi mereka.

  3. Individu bekerja dengan orang-orang yang dihargai (teman-teman, rekan tim, saudara, dsb).

  4. Individu mempersepsikan bahwa kontribusi mereka pada kelompok adalah unik dan penting.

  5. Individu memperkirakan rekan mereka bekerja secara buruk.

  6. Individu datang dari budaya yang menekankan pada usaha dan hasil individual daripada kelompok.

Social loafing paling mungkin terjadi dalam kondisi di mana kontribusi individual tidak dapat dievaluasi, ketika orang-orang mengerjakan tugas yang mereka anggap membosankan atau tidak memberi aspirasi, atau bekerja dengan orang-orang yang tidak terlalu mereka hargai atau mereka kenal.

Cara nyata mengurangi social loafing adalah dengan membuat hasil akhir atau usaha dari setiap anggota dapat diidentifikasi. Dalam kondisi ini, orang-orang tidak dapat bersantai dan membiarkan orang lain bekerja.

Kedua, dengan meningkatkan komitmen anggota kelompok pada kinerja tugas yang sukses. Tekanan untuk bekerja keras kemudian akan membatasi social loafing.

Ketiga, dengan meningkatkan kejelasan akan arti penting atau nilai dari suatu tugas.

Keempat, social loafing menurun ketika individu memandang kontribusi mereka pada tugas adalah unil, bukan sekadar meramainkan kontribusi orang lain.

Selalu ada solusi untuk masalah-masalah keseharian kita. Ketika kita tahu bahwa fenomena “Kelompok Tidak Efektif” ternyata punya pemecahannya... Ayo, sikapi ketidakefektifan kelompok kita selama ini dengan kepala dingin. Jangan jadi panas karena ulah rekan-rekan kita. Buang-buang energi saja. Semoga pemaparan Social Loafing ini bermanfaat.


Referensi:

Baron, Robert dan Donn Byrne. 2005. Psikologi Sosial Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Sarwono, Sarlito. 1999. Psikologi Sosial: Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan. Jakarta: Balai Pustaka.


Triandis, Harry. 1994. Culture and Social Behavior. NewYork: McGraw-Hill, Inc.


1 komentar:

  1. bagaimana memotivasi diri di tengah kefuturan berjangkit, Na?

    BalasHapus