Laman

Selamat Datang...

Berbagi isi hati dan pemikiran...
Berbagi asa untuk mencapainya bersama untuk sebuah kemajuan...

Minggu, 07 Desember 2008

“Friends, I (don’t) trust you all…”

Anda orang yang bersemangat. Anda memiliki need of achievement tinggi. Anda hidup dalam persaingan dan kedisiplinan. Anda dibesarkan dalam perjuangan meraih posisi yang tinggi di atas orang lain. Anda pun sadar bahwa berorientasi pada tujuan adalah salah satu ciri orang yang memiliki “masa depan”. Anda ingin semuanya berjalan sesuai rencana yang Anda buat. Semua yang “baik” ada dalam diri Anda. Anda begitu percaya diri. Ketika orang lain salut dan mengatakan bahwa Anda lah si nomor satu, dalam hati terbesit, “Ya, itulah hasil dari kerja keras saya.”

Namun, jangan lupa bahwa yang kita inginkan belum tentu terjadi. Juga, yang kita tidak inginkan, mungkin saja terjadi.

Melanjutkan bahasan tentang kelompok pada artikel sebelumnya mengenai social loafing, social loafing adalah penyakit yang menggerogoti efektivitas kelompok kita secara internal dan dengan cara kerja yang sangat mungkin untuk tidak disadari. Pada bahasan itu, kita menekankan pada sosok anggota kelompok dengan motivasi kerja rendah berdasarkan Collective Effort Model (CEM) karena beberapa hal, seperti: 1) tidak percaya bahwa kerja keras mereka akan menghasilkan kinerja lebih, 2) tidak percaya bahwa hasil kerja mereka akan diakui dan dihargai, dan 3) tidak merasa bahwa penghargaan yang mereka peroleh benar-benar berharga dan diinginkan. Orang yang demikian berpotensi memiliki social loafing tinggi, sehingga mereka mengalami pengurangan motivasi dan usaha ketika bekerja secara kolektif dalam kelompok. Mereka tampak bekerja keras, tetapi yang sebenarnya mereka mengeluarkan usaha yang lebih sedikit dan menggantungkan diri pada orang lain yang mereka anggap lebih berkompeten.

CEM hanyalah salah satu teori yang berusaha menjelaskan perilaku social loafing. Jika kita cermati, teori ini tampak mengatribusikan secara internal perilaku social loafing. Padahal, ada banyak hal yang mempengaruhi terbentuknya suatu perilaku, salah satunya adalah sebab eksternal. Akhirnya, teori ini mengarahkan kita pada bagaimana cara mengurangi social loafingsocial loafing akan paling lemah terjadi, salah satunya, adalah ketika kita memperkirakan teman sekerja kita bekerja buruk. yang tinggi dalam kelompok. CEM juga memperkirakan bahwa

Jika kita berpikir dengan sudut pandang yang bertolak belakang, mungkinkah social loafing akan paling tinggi terjadi ketika kita memperkirakan teman sekerja kita bekerja baik, bahkan sangat baik? Sangat baik sampai tidak mempedulikan rekannya? Secara teori, itu mungkin sekali.

Inilah susahnya menjadi orang yang terlalu “sempurna” seperti yang telah disebutkan di awal tulisan. Orang yang terlalu “bekerja keras”, terlalu, terlalu, terlalu, dan terlalu. Ia ingin berprestasi, juga mengetahui bahwa ia memiliki kemampuan lebih di atas rekan-rekannya. Karena ia lah orang yang (mungkin) akan menjadi sandaran dan tempat bergantung rekan-rekannya yang biasa-biasa saja serta sebagai perencana gerak kelompok untuk mencapai tujuan(nya). Maka, kemungkinan besar, ia yang akan menjadi pemimpin dalam kelompok itu. Menurut French dan Raven (dalam Sarlito, 1999), orang yang demikianlah yang akan menjadi pemimpin karena sifat-sifat pribadinya, yaitu memiliki kemampuan lebih dibandingkan orang lain.

Jika kita berpikir lebih jauh lagi, orang-orang dengan karakter seperti ini, yang memungkinkan memiliki social loafing yang sangat rendah, mungkin saja dapat menyebabkan kinerja kelompok sangat tidak efektif. Perpaduan antara orang yang sangat tinggi dan sangat rendah social loafing-nya akan menghancurkan kelompok. Maka, perpaduan antara orang yang sangat tinggi kemampuan dan sangat rendah kemampuan juga dapat menghancurkan kelompok. Kecuali jika satu hal terjadi.

Memiliki kemampuan lebih daripada orang lain bukan bencana bagi diri kita. Hanya, bagaimanakah kita menggunakan kemampuan itu untuk mencapai tujuan bersama sebagai kelompok. Perkiraan akan kinerja rekan yang buruk dan kesangsian kita atas mereka adalah wajar sebagai hal yang akan merendahkan tingkat social loafing kita sehingga motivasi kita untuk sedikit berkorban usaha yang lebih keras demi tercapainya tujuan. Namun, keharmonisan dalam kelompok hanya dapat terjadi jika kita dengan kemampuan kita mampu mempercayai teman kita dengan kemampuan personalnya sendiri.

Jika kita mampu mempercayai teman kita dengan segala kekurangan dan kemampuannya, maukah kita sedikit mengalah? Maukah kita memberi mereka kesempatan berkarya dan sedikit mengesampingkan kepentingan berambisi kita? Mahatma Gandhi berkata, “Jika Anda tidak memiliki karakter untuk kalah, orang-orang tidak akan menaruh kepercayaan pada Anda.

Kalah berarti tidak menang; tidak melebihi (orang lain). Memiliki karakter kalah adalah keterampilan sosial yang sulit dimiliki sebagian besar dari kita yang memiliki kemampuan lebih daripada orang lain. Mengapa? Karena kita sebagai manusia memiliki kebutuhan untuk menghargai diri dan dihargai oleh orang lain berdasarkan kemampuan yang dimiliki sebagai modal untuk mengaktualisasikan diri.

Abraham Maslow mengemukakan bahwa manusia berperilaku karena suatu kebutuhan yang dapat digambarkan secara hierarkis, yang kemudian dikenal sebagai teori hierarki kebutuhan. Kebutuhan akan self-esteem (menghargai diri dan dihargai orang lain) ada pada hierarki yang keempat sebagai kebutuhan karena kekurangan, sedangkan kebutuhan aktualisasi diri (menjadi seseorang yang seharusnya sesuai dengan potensinya) ada pada hierarki puncak sebagai kebutuhan berkembang.

Berdasarkan teori tersebut, ketika kita masih dihinggapi perasaan bangga diri dan kesombongan (menghargai diri terlalu tinggi) dalam mengaktualisasikan diri, sebenarnya kita belumlah sampai pada puncak prestasi. Ketika kita masih membutuhkan penghargaan orang lain, maka kita belum mampu mewujudkan (secara maksimal) potensi diri kita. Untuk mengalahkan kebutuhan akan self-esteem ini, yang kita butuhkan adalah keikhlasan memiliki karakter untuk kalah. Dengan cara inilah kita mampu menyelaraskan diri secara sosial di dalam kelompok.

Kemampuan menyelaraskan diri, mengasumsikan diri setara dengan orang lain, akan membuat suatu kelompok menjadi amat berbakat, produktif, dan sukses. Robert Sternberg (dalam Goleman, 2004) mengemukakan bahwa apabila orang bersatu untuk bekerja dalam suatu kelompok, masing-masing membawa bakatnya sendiri-sendiri. Sebuah kelompok “tidak mungkin” lebih cerdas daripada jumlah keseluruhan kelebihan individual ini, tetapi kelompok dapat lebih bodoh apa bila proses internal tidak memungkinkan orang untuk saling mengisi bakat-bakatnya. Hasil penelitiannya yang mengejutkan adalah orang yang terlampau berhasrat untuk ambil bagian justru menjadi penghambat kelompoknya, sehingga menurunkan kinerja kelompok secara keseluruhan; mereka yang amat bernafsu itu terlampau mengurusi ini itu atau menguasai. Orang yang demikian agaknya kurang memiliki kemampuan untuk mengenali apa yang pas dan apa yang tidak dalam hubungan saling memberi-dan-menerima.

Kemampuan kita bukanlah hambatan. Kemampuan kita yang lebih dari orang lain merupakan sumber bantuan yang sangat berharga, hanya dalam kelompok yang harmonis. Untuk mencapai kelompok yang harmonis, maukah kita sedikit merendah, menerima dan mempercayai rekan-rekan kita? Kemampuan orang lain yang kita sadari, cukup di dalam hati saja, lebih rendah daripada kita yakinlah bukan merupakan ancaman bagi tercapainya tujuan dan kesuksesan kita. Ketika yakin, ucapkanlah, “Friends, I trust you all.” (af/16-11-08/01.30)

Referensi:

Alwisol. 2007. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press.

Baron, Robert dan Donn Byrne. 2005. Psikologi Sosial Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Goleman, Daniel. 2004. Emotional Intelligence. Jakarta: Gramedia.

Sarwono, Sarlito. 1999. Psikologi Sosial: Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan. Jakarta: Balai Pustaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar