Laman

Selamat Datang...

Berbagi isi hati dan pemikiran...
Berbagi asa untuk mencapainya bersama untuk sebuah kemajuan...

Sabtu, 07 Maret 2009

Maaf...

“Maaf, masalahnya kurang jelas: Ini menangis yang diharapkan karena apa? Apa tidak bisa menangisi hal-hal yang seharusnya ditangisi?

“Menangis itu alasannya banyak. Karena kehilangan sesuatu yang berharga dan terancam tidak dapat memperolehnya lagi, karena disakiti orang lain, karena tidak mampu melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan, karena nasib yang dirasa selalu buruk atau takut akan sesuatu?

“Menangis adalah ekspresi kelemahan diri yang menimbulkan kesedihan. Semakin mendalam perasaan itu, menangis jadi semakin mungkin dan setiap orang mempunyai ambang batas menangisnya sendiri-sendiri. Ada orang yang karena hal yang sepele bisa langsung menangis, ada pula yang sedemikian berat masalahnya ia bisa tidak menangis. Jadi, tidak bisa menagis mungkin bisa jadi tidak perlu dipermasalahkan. Orang yang terbiasa tegar bisa jadi tidak mudah menangis.

“Menangis juga bisa menjadi wujud empati kita terhadap permasalahan orang lain atau suatu tragedi. Ketika suatu peristiwa sedih terjadi, menangis menjadi hal yang sangat wajar. Maka, di sini seperti ada kesepakatan sosial “kalau peristiwanya ini (misalnya ada yang meninggal)” yang “harus dilakukan ini (menangis)”. Yang mungkin salah adalah jika kita berbeda dari kebanyakan orang, ketika semua orang menangis, kita tidak menangis sendiri (semoga saja bukan malah tertawa).

“Kalau tidak bisa menangis, kenalilah diri sendiri dengan mencari hal-hal apa saja yang pernah membuat kita menangis dan hal-hal apa saja yang seharusnya dapat membuat kita menangis. Kenali lagi perasaan terhadap peristiwa-peristiwa itu. Jika masih biasa-biasa saja, mungkin hati kita sudah membatu. Jika hati membatu, lunakkanlah dengan banyak-banyak menyaksikan kepedihan hidup orang lain, seperti oreang miskin, orang yang hidupnya tidak seberuntung kita, yang cacat, yang kehilangan sesuatu dan sebagainya. Juga, berdoalah... Karena Tuhan yang Maha Melunakkan hati.”

***

Kenapa aku tidak bisa menangis?”

Melihat pertanyaan itu menjadi bagian dari pertanyaan dalam salah satu situs tanya jawab di internet sebenarnya tumbuh dari dalam diri saya rasa kasihan. Rasa kasihan bukan hanya pada penanya, tetapi juga pada diri sendiri. Pada saat-saat tertentu dahulu, saya memang pernah tak bisa menangis, padahal ingin sekali menangis seperti yang dilakukan orang lain pada umumnya ketika mereka kehilangan sesuatu yang berharga. Saya tahu rasanya membuat diri menangis sulitnya bukan main, karena perasaanlah yang banyak bermain di sini.

Tulisan ini sebenarnya adalah ekspresi rasa kecewa saya karena jawaban yang sudah saya siapkan dengan harapan dapat membantu penanya tidak dapat tersampaikan. Alasannya bukan karena koneksi internet yang terputus, tetapi karena penanya tiba-tiba memutuskan menghapus pertanyaannya. Dalam hati saya bertanya, “Apa yang terjadi padanya?”

Saya teringat, sebelum saya menjawab sudah ada satu jawaban untuk pertanyaan ini. Sepenangkapan saya, jika saya mendapatkan jawaban yang seperti itu untuk pertanyaan yang sedemikian seriusnya ditanyakan, saya juga akan memutuskan menarik pertanyaan saya dan tak membiarkan ada orang yang menjawabnya.

Saya tak tahu apakah penanya tadi sudah mendapatkan jawabannya atas pertanyaan yang sebenarnya kurang jelas. Semoga sudah…

***

Lingkaran Abadi Pertanyaan-Jawaban-Pengetahuan

Bertanya adalah ekspresi jiwa seseorang yang ingin tahu. Rasa ingin tahu adalah anugrah berharga yang Tuhan berikan kepada manusia. Setiap manusia ingin mengetahui jawaban misteri-misteri yang ia hadapi, karena itulah setiap manusia bertanya. Ada rasa puas ketika ia mendapatkan apa yang ia inginkan. Bahkan, untuk mendapatkannya, ia dapat melakukan apa saja.

Pasangan abadi pertanyaan adalah jawaban, sebagaimana pasangan bagi penanya adalah penjawab. Sama halnya seorang pria yang mencari satu istri di antara berjuta wanita yang ada di dunia. Setiap orang dapat menjawab, sekalipun itu hanyalah diam. Diam di sini adalah jawaban yang artinya “saya tidak dapat menjawabnya”, sehingga penanya diharapkan untuk mengalihkan perhatiannya kepada penjawab yang lain. Jika diam adalah emas, maka jika tak tahu jawaban apa yang harus diberikan, tak perlulah seseorang mengacungkan tangannya untuk mendapat perhatian penanya. Ketika ia sudah mengajukan dirinya untuk menjawab, ia tak lepas dari suatu tanggung jawab karena mendapatkan kepercayaan untuk memberikan hal-hal yang memuaskan hati penanya. Ketika ia sudah dipercayai, sebaiknya ia bertingkah selayaknya orang yang diberi kepercayaan dengan tidak sembarangan memberikan jawaban.

Pasangan abadi bagi jawaban adalah pengetahuan. Ketika seseorang tidak tahu, ia tak akan bisa memberi jawaban. Seseorang akan dapat menjawab sepanjang ia mengetahui sesuatu. Pengetahuan bertaburan, ada di seluruh dunia. Dibandingkan dengan yang ada di luar diri, apa yang kita miliki tidak ada apa-apanya. Karena itulah manusia bertanya pada dunia dengan belajar, salah satunya pada orang lain. Mengapa seseorang memutuskan bertanya pada orang lain? Karena ia tidak bisa menjawab pertanyaan itu sendirian sehingga ia membutuhkan pertolongan dari orang lain.

Dukungan Sosial dalam Bertanya dan Menjawab

Bertanya dan menjawab esensinya sama dengan apa yang terjadi antara peminta-minta dan penderma, sehingga etika moral yang ada di dalam keduannya adalah sama. Perbedaannya, antara peminta-minta dan penderma bantuan yang umumnya diberikan berupa barang, sedangkan antara penanya dan penjawab bantuan yang umumnya dibiarkan berupa informasi. Walaupun bentuknya berbeda, keduanya ada dalam satu atap yang sama, yaitu dukungan sosial.

Dukungan sosial adalah kenyataan hidup yang dibutuhkan manusia karena kodratnya sebagai makhluk sosial, makhluk yang tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Sejak kanak-kanak, kita semua telah banyak diajarkan tentang indahnya hubungan ini. Betapa dahulu kita diajari memberi pada pengemis, memberikan tempat duduk di bis kepada orang tua, membantu ibu yang keberatan membawa barang, tersenyum pada orang yang kita temui di jalan, memberi salam kepada orang lain. Betapa kita diajarkan untuk memberi sesuatu, tidak hanya yang menyangkut pada materi yang tampak, tetapi juga hal-hal yang tidak tampak dan hanya dapat dirasakan oleh perasaan. Sebagai intinya, dalam memberi tidak lengkap jika hanya menekankan pemberian pada aspek material instrumental informasional, tetapi juga sangat dibutuhkan pemberian dalam aspek emosional.

Sebagaimana yang disebutkan dalam Al Quran surat Al Baqarah: 263 yaitu: “Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Mahakaya lagi Maha Penyantun.

Dan dilanjutkan pada ayat 264:

Wahai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima)…

Berdasarkan ayat di atas, kita mengetahui betapa pentingnya kita menjaga perasaan si penerima. Seberapa besar pemberian kita, seberapa penting jawaban yang kita berikan, jika cara kita memberikannya menyakiti hati, diwarnai dengan hal-hal yang menyakiti hati penanya, maka nilai jawaban itu akan sia-sia di mata Tuhan. Bukankah kita manusia yang meyakini kehidupan akhirat dan pembalasan yang akan Tuhan Berikan kelak? Maka, janganlah kita menyia-nyiakan usaha kita hidup di dunia karena kesalahan yang kita perbuat pada manusia.

Tuhan sudah mengajari kita dalam Al Quran hal terbaik yang bisa kita perbuat bagi sesama manusia. Hal ini cukup untuk membuat kita bertanya lagi tentang peran kita di hadapan manusia sebagai penjawab pertanyaan yang mereka ajukan kepada kita, karena mereka mempercayai kita. Apakah selama ini jawaban yang kita berikan sudah disampaikan dengan cara yang baik? Yang tidak membuat penanya merasa diri mereka bodoh karena bertanya? Ataukah masih ada dalam hati kita perasaan merendahkan pertanyaan-pertanyaan mereka, padahal mungkin bagi mereka pertanyaan itu sangat penting? Ataukah kita memberi jawaban dengan malas-malasan yang disertai rasa sebar karena mereka terus-menerus tidak mengerti? Ataukah kita belum dapat menghargai keberanian mereka untuk bertanya?

Jika begitu… “Maaf, aku mungkin menyakiti hatimu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar