Laman

Selamat Datang...

Berbagi isi hati dan pemikiran...
Berbagi asa untuk mencapainya bersama untuk sebuah kemajuan...

Sabtu, 28 Maret 2009

Who am I ?


Salah satu buku yang mempengaruhi hidup saya adalah “Seven Habits for Highly Effective Teens” karya Sean Covey. Walaupun buku itu terlambat saya baca mengingat saya bukan lagi tergolong remaja, membaca buku itu cukup membuat saya menyesali banyak hal di masa “muda”. Tetapi ini bukan penyesalan yang menyedihkan, menyenangkan malah. Akhirnya, saya tahu apa yang seharusnya saya lakukan saat ini.
Topik “who I am” menurut saya selalu tidak pernah sepi untuk dibicarakan. Dalam pelatihan-pelatihan yang pernah saya ikuti, beberapa kali “who I am” menjadi salah satu materinya. Pembahasan mengenai “who I am” tidak pernah lepas dari apa kebaikan, keburukan, kelebihan dan kekurangan diri kita. Pencarian yang sulit…
Suatu hari ketika kuliah, sembari menunggu dosen datang, saya asyik mendengarkan obrolan dua teman saya yang tampak frustasi. Mereka duduk di belakang saya, jadi mereka tidak sadar saya yang sangat berminat pada pembicaraan itu. Pembicaraan mereka pada intinya adalah tentang “who I am”. Satu kalimat yang saya ingat… “Tidak bangga apa lagi ibuku?” Oh….
Di kelas tentu ada beberapa teman yang membuatmu terkagum-kagum. Seumur hidup saya belum pernah bertemu selebriti atau orang terkenal lainnya, dan menurut saya teman saya itu orang terkenal. Ia sudah bekerja, punya penghasilan, jago bahasa Inggris, pernah ke luar negeri, temannya banyak dan oke-oke… Sedikit banyak sedikit membuat saya ingin. “Tidak bangga apa lagi ibuku punya anak yang sudah bekerja dan jago bahasa Inggris?”
Saya jadi memikirkan hidup saya sendiri dan merasakan begitu banyak perbedaan. Setiap ibu punya harapan yang berbeda-beda sebagai syarat kebanggaan mereka pada anak mereka. Setiap orang juga punya harapan yang berbeda-beda terhadap orang lain. Tetapi satu hal yang tidak pernah saya tanyakan pada mereka adalah sebenarnya apa yang membuat mereka bangga? Apakah saya apa adanya? Tanpa perlu embel-embel sudah bekerja, jago bahasa Inggris, juara kelas, dan sebagainya, bagaimana atau apakah mereka akan menghargai kita?
Kalimat indah yang saya dapatkan dari buku “Seven Habits for Highly Effective Teens” adalah: kalau siapa saya tergantung pada apa yang saya punya, dan apa yang saya punya sudah hilang, lalu saya ini siapa?
Siapakah kita? Identitas kita tergantung pada apa? Memang tak salah jika kita mengungkapkan apa-apa yang kita miliki sebagai identitas kita, seperti prestasi, teman, keluarga, barang-barang yang kita punya, bakat dan kemampuan kita. Yang salah jika kita memikirkan diri kita seperti yang orang lain pikirkan tentang diri kita.
Orang lain mengenal diri kita adalah dari apa yang terlihat dari diri kita. Orang lain menghargai kita dari apa yang tampak dari diri kita dan yang dari kita tampakkan, tetapi bukan berarti kita harus menghargai diri kita dengan cara yang sama. Ada kalanya yang tampak termasuk mengecewakan bagi orang lain. Jika demikian, apakah kita harus ikut kecewa pada diri kita sendiri? Tentu tidak.
Ada hal-hal yang tidak orang lain tahu tentang diri kita dan hanya kita yang tahu. Yang tidak terlihat itu mungkin mewarnai perilaku-perilaku kita yang paling sederhana. Yang tidak terlihat itu adalah hal-hal yang mendasari hidup kita, prinsip-prinsip dan keyakinan kita sebagai manusia. Saya jadi teringat apa yang dikatakan seorang dosen saya bahwa kebahagiaan itu ada di dalam diri kita sendiri. Sumber dari kebahagiaan itu bukan dari orang lain, tetapi dari Tuhan, lewat apa-apa yang Ia Berikan pada diri kita.
Lagi-lagi saya teringat pada hal indah yang pernah saya saksikan. Saat itu saya berada di pasar, ada di dalam kendaraan menanti lampu hijau menyala. Sepanjang jalan dipenuhi pertokoan, salah satunya menjual tas. Saya tersentak di dalam kendaraan ketika salah satu gantungan tas putus dan tas-tasnya terjatuh. Lalu muncul pemuda penjual koran, ia berjalan dengan langkah tidak bersemangat, mungkin karena kelelahan. Sementara orang lain hanya berlalu, ia menyempatkan diri membungkuk dan memungut tas-tas itu untuk digantung lagi di tempatnya.
Saya bangga melihat pemuda itu. Tampak luarnya tak akan membuat dia dihargai dan dihormati, tetapi ia punya hati yang membuat ia dihargai karenanya. Itulah dirinya.
Ada pula contoh fiktif yang saya ciptakan sendiri. Mungkin saja di dunia ini benar-benar ada orang yang pantang putus asa. Walaupun nilai-nilainya di sekolah jelek, ia tetap berusaha, belajar keras, dan tidak terpeleset ke dalam jurang kehinaan perilaku menyontek. Yang terlihat dari luar adalah nilainya yang jelek, yang membuat orang tidak perlu repot-repot bangga pada dirinya, tetapi yang ada dalam diri orang itu sangat membanggakan karena ia memegang prinsip untuk tetap bekerja keras dan pantang menyontek. Manusia memang tidak bisa menghargai, tetapi Tuhan Maha Menghargai perbuatan baik sekecil apapun.
Sudah saatnya bagi kita untuk meneliti kembali diri, apa saja yang kita miliki yang tidak akan hilang. Itulah yang seharusnya membuat kita bangga dan menghargai diri kita. Rasanya dengan begitu, kita tidak perlu menggantungkan diri pada penilaian dan penghargaan orang lain atas diri kita juga pada hal-hal yang tidak tetap selalu ada di tangan kita.
Memang tidak baik jika kita menggantungkan diri pada apa yang kita punya, hal-hal yang sementara saja ada di tangan kita, tetapi sebenarnya ada jenis orang yang menurut saya lebih parah lagi. Mereka adalah orang-orang yang menghargai dan membanggakan diri karena hal-hal yang bahkan tidak mereka miliki, artinya tidak ada dalam diri mereka atau tidak ada hubungannya dengan diri mereka. Kebetulan Indonesia sedang semarak dengan kampanye para calon legislatif, jadi saya punya banyak contoh yang dapat dengan mudah ditemukan.
Pernah lihat spanduk atau baliho kampanye para calon legislatif? Memang aneh, tetapi jadinya dimaklumi sekarang ini ketika mereka membawa-bawa nama ayah atau keluarga mereka yang terkenal atau nama kyai atau pemimpin mereka. Dengan harapan apakah mereka melakukan itu? Ada pula yang aneh, ada yang membawa nama sekolah mereka bahwa mereka adalah alumni dari sekolah ini. Bukankah kita jadi pantas bertanya, “Siapakah mereka sebenarnya?” atau “Sebenarnya mereka ingin dipilih karena apa?”
Oh, please…
Sudah saatnya kita menghargai diri kita karena diri kita sendiri. Jadilah dirimu sendiri sehingga ada jawaban untuk pertanyaan “who are you”.

28 Maret 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar